8 Juni 2018.
Usai subuh aku mengendarai Taruna keluar dari rumah menuju Stasiun Hall utara. Kuparkir mobil dan langsung bergegas. Kang Abdy sudah menunggu. Setelah check ini, kami berdua memasuki peron dan langsung menuju kereta api Argo Gede jurusan Jakarta yang telah menunggu di jalur. Kamipun menaiki KA yang berangkat di pagi itu ke Jakarta melewati lembah bukit hutan kebun sawah sungai dan jurang. Tamasya yang indah.
Tiba di Stasiun Gambir sekitar pukul 08.00 kami segera menaiki taksi ke Jl. Cikini Raya menuju Kantor DPP Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Setelah sarapan pagi, bung Ahmad Basarah membuka Simposium Nasional Pancasila. Pesertanya para alumni dari seluruh pengurus tingkat provinsi di Indonesia.
Setelah upacara pembukaan, peserta dibagi ke dalam beberapa ruang seminar tergantung topiknya. Aku dan kang Abdy berpisah. Aku mengikuti seminar dengan topik Pancasila dan Globalisasi. Akupun menyampaikan makalah yang sudah kupersiapkan dari Bandung. Ada beberapa peserta lain menyampaikan makalah kemudian didiskusikan dan disimpulkan.
Menjelang ashar, semua kelompok peserta berkumpul di aula untuk menyampaikan laporan dan kemudian kesimpulan seminar dirumuskan bersama. Bung Basarah sudah meninggalkan tempat karena harus terbang ke Singapura menengok Bang Taufik Kiemas yang sedang dirawat karena sakit jantungnya.
Penutupan seminar direncanakan pada malam hari dan sebelum pulang
panitia memberiku sertifikat dan kenangan-kenangan berupa buku Dibawah Bendera Revolusi cetakan terbaru yang diterbitkan Yayasan Sukarno.
Dari tempat seminar, aku bung Abdy dan Prof Nanang keluar menuju jalan raya. Hujan gerimis turun dan kami berlari kecil menuju sebuah depot makan untuk memesan mie goreng. Kamipun menikmati mie sambil ngobrol. Prof Nanang masih tinggal untuk mengikuti resepsi nanti malam. Aku dan bung Abdy segera ke Stasiun Gambir.
Kami naik bajaj ke Stasiun Gambir dan langsung check in, memasuki peron dan menaiki eskalator. Sampai di atas, kereta menuju Bandung sudah menunggu. Bung Abdy mendapat pesan dari bung Basarah melalui SMS bahwa Bang Taufik Kiemas meninggal dunia di Singapura dan dibawa ke Jakarta sore itu juga. Sayang kereta sudah bergerak menuju Bandung. Kami tidak bisa melihat jenazah.
Esok harinya Bang TK dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Bung Abdy berangkat lagi ke Jakarta mengantarkan jenazah ke peristirahatannya yang terakhir. Semoga Bang TK berbahagia di alam baqa.
Lampiran :
REAKTUALISASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM ARUS GLOBALISASI ERA PASIFIK
(TINJAUAN POLITIK)
Dr. H. Harjoko Sangganagara M.Pd.
Ketua I STIA Bagasasi Bandung
(Disampaikan
pada Seminar Pancasila dan Globalisasi yang diselenggarakan DPC GMNI Bandung
di Gedung
Indonesia Menggugat 16 Juni 2017)
A.
Pendahuluan
Proses
globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi
pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi
mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi,
pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara,
fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan
politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan
Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan
Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya
mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14)
berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan
baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak
menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka
dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi
akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa
untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang
dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan
melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi
juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan
negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain
memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan
semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya
global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
Memasuki millenium ketiga,
polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga
mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah
memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang
Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post
industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an
ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
Fukuyama menandai periode ini dengan
berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri.
Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah
pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak
dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di
sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya
akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang
semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi
dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di
Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami
penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah
mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang drastis
terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great
Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada
masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.
B.
Pancasila di Tengah Globalisasi
1.
Globalisasi
McLuhan merupakan seorang pemikir komunikasi yang
pada tahun 1964 melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun
konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai
suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari
University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai
suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb (2001:10) mengatakan bahwa
definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek
dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara
dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu
bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian
dunia lainnya. “Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling
ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan
menonton Disney”.
Malcom
Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai
proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di
bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal
peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika,
globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri,
pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Berkaitan
dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik
terjadi dalam proses tersebut, yang oleh
Naisbitt (Tilaar, 2001)
disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan
sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara
Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang
dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara
kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari
benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya
yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya
diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima
sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena
pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa
sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh
komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen
berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke
pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa
berpindah ke pusat.
Paradoks
lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang
semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi
lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara
masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi
oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir
Juni 1996 yang menyatakan bahwa:
“Globalisation
(global economy) is source of rising living standard reaping the gains from
trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose,
developing countries should make adjustment to increased competition and
special efforts to eliminate inequality”.
Kenyataan
globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti
tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap
penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai
melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah
kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang
ikut perang Bosnia Lionel Dumont yang
mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau
seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan
“it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global
capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on
basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
2. Membangun Dunia Kembali
Kegamangan menghadapi globalisasi
yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya
monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki
keprihatinan yang sama. Jauh sebelumnya Bung Karno, dalam pidatonya di depan
Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia
Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan “ Nasib umat manusia tidak
dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang
lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun
berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan
sehingga berhak untuk didengar karena
mempunyai peranan di dunia ini dan harus
memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya,
merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru,
yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan
keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai
kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Bung Karno diperkuat dengan
mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku
telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan,
sehingga kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain.
Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih
taqwa kepadaKu”.
Tahun
1960-an ketika Bung karno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman
perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika
Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Bung Karno menolak
dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya
mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan
jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam
bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Bung Karno adalah Pancasila.
Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa
Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun
demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada
kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling
utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration
of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB
menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai
kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah
bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme
bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari
bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada
bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan
protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah
untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak
imperialisme.
Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan
internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme
tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu
dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan
terhadap nasionalisme.
Internasionalisme yang sejati adalah
pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai
hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang
baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi
dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai
rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme tidak mengizinkan
PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan
golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat.
Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional.
Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat,
Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial.
Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak
dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang
adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial.
Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme.
Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari
kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa
semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab
bersama.
Pancasila
yang dipidatokan Bung Karno dimaksudkan sebagai alternatif dari Declaration
of Independence dan Manifesto Komunis. Bung Karno menyadari akan
karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan
Engels serta pertentangan di antara kedua gagasan tersebut yang berujung pada
ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan
filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia
Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan
axiologis.
3. Dimensi Moral, Ideologis dan Sejarah
dalam Pancasila
a.
Dimensi Moral
Rumusan Pancasila tersebut secara
material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya
dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai
dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya
tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai
yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum
utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang
menyenangkan keinginan dan dapat
dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu
nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai–nilai yang bersifat
partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai
totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular.
Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut
bernilai.
Moral (morale) berarti tata
cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert,
esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri,
1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for
persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull
(1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in
society” dan “the pursuit of the good life”.
Otonomi moral
Otonomi moral
merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan
istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di
mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi
berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup
sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi
karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam
hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan
terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang
sebenarnya.
Pernyataan sikap
moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan
menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu
sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan
aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam
sikap batin.
Otonomi moral
yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan
tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral
(Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan
moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis
karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak
alamiah (“assumes that moral education is wrong because of the speculative,
non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”);
individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (“he assumptions
is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan
moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (“a criticism of moral education
as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal
evaluatif (“that moral education…is simply not attainable in schools “) dan
struktural karena sekolah dianggap manipulatif (“that schools, by the
very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations
and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral
dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority”
dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is
not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62)
memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik
sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila
manusia selalu bersedia
mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan
Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan
musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan
di bidang rohani dan jasmani, untuk
kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Moral Pancasila
sebagaimana diungkapkan Abdulgani,
secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik
dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai “
an act that is intended solely in benefit to another person or group and which
provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik
hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning).
Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah
potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari
tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial
merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi
biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan
pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan
suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli.
Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut
berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan
bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan
kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral
seseorang muncul melalui beberapa tahap
universal pada semua kebudayaan.
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui
proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah
satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu
yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya
beberapa hari tentunya tidak dapat
secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa
adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya.
Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang
nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai
kader dan menunjukkan nilai-nilai yang
dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader.
Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan
indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al
Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004:
23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana
indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu atau membeku sehingga
nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).
b.
Dimensi Ideologis
Selain sebagai nilai moral,
Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang
dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power
oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment
oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti
Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila
memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial
yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha
memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas
: yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang
menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang
dikehendakinya (Wahana 1993:86).
Epistemologi
Ideologi
Untuk memahami perkembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu
kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan
berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern
(1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal
yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung
(the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai
Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang
dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme,
liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung
yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia.
Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun.
Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin
majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia,
dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong
tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat
pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu
pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai
gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti
pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan
jawaban.
Ideologi-ideologi cenderung untuk memberikan jawaban terhadap
masalah-masalah mendasar seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada
sisi lain ideologi mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata
dunia, masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu
pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan pemikiran-pemikiran
ideologikal seperti nampak pada facisme dan nasional-sosialisme (Nazi). Suasana
seperti itulah yang menciptakan iklim yang menegangkan sehingga memicu
terjadinya Perang Dunia I dan II .
Perkembangan ideologi seperti itulah yang membuat
nasionalisme atau faham kebangsaan dicurigai di Indonesia. Bung Karno, Bung
Hatta dan the founding fathers lainnya harus bersusah payah menjelaskan
dan mengembangkan nasionalisme. Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham
keagamaan. Dialektika antara kedua faham itu dapat ditelusuri dari perdebatan
Bung Karno dengan Hasan (Persis), Bung Karno dengan Agus Salim dan Bung Karno
dengan Natsir. Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi
nasionalisme, keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu
dalam common platform Pancasila,
akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan pada tataran pemikiran ideologik
sudah berhenti.
c. Dimensi sejarah
Penanaman jiwa
kebangsaan perlu dimulai dengan memahami arti kemerdekaan Indonesia sebagai
suatu revolusi nasional. Revolusi adalah “ eine Umwertung aller Werte”
(penjungkirbalikan dari tata nilai yang lapuk untuk diganti dengan yang baru
dan “Umgestatltung von grundaus”
(suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah
imperialisme dan kolonialisme. Kita mengenl banyak revolusi di dunia ini,
contohnya adalah revolusi kemerdekaan
Amerika (1776), revolusi kaum menengah di Perancis (1789), Revolusi proletar di
Rusia (1905-1917), Revolusi Turki Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok
(1911) dan Revolusi Islam di Iran. Terakhir dunia menyaksikan revolusi sosial
di Negara-negara Amerika Latin dan revolusi demokrasi di Mesir dan dunia Arab.
Revolusi Indonesia di
tahun 1945 yang dikenal sebagai revolusi nasional memiliki tiga segi kerangka tujuan : di bidang politik, suatu Negara
Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai
Merauke. Di bidang sosial, suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu
adil dan makmur badaniyah dan rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat
sosialis Indonesia. Di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian
dunia, terutama sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih
dari imperialisme dan kolonialisme.
4. Kebangsaan
Pemahaman
mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar
penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam
kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi
pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi
faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong
berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan
ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.
Perkembangan Nasionalisme
Nasionalisme
(faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu
sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan
memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka
biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta
sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka
mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu.
Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa,
ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.
Orang-orang yang membentuk suatu
bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai
status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka
politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam
membangun nasionalisme, penduduk
mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi
kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.
Langkah awal pembentukan bangsa
dimulai dari pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan
untuk menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama
mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada ketika
itu.
Patriotisme (berasal dari la
patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states)
awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri
dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan
suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi,
dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
Ketika negara-kota saling berkonflik
satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya
adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya
di medan perang memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari
wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
Di abad pertengahan national-building
boleh dikata tidak ada. Kekuasaan
politik di tangan kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di
kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka
mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal.
Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian
Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, negara
nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
Trauma terhadap Revolusi Industri,
negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku.
Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap
negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan memunculkan kesadaran untuk merdeka.
Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II.
Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.
Munculnya negara bangsa yang baru
merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada
pandangan Bung Karno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari
dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Isak, ed. 2001:160).
Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah
banyak negara-negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara-negara
tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti
penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa
kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan
kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata
nilainya sendiri.
a.
Penanaman Jiwa Kebangsaan
Penanaman jiwa
nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek moral
dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan terwujudnya
pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala tantangannya di
era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut mampu memperkuat daya kognitif,
afektif dan konatif. Dengan demikian diharapkan didapat pengetahuan
untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yang tampak dalam pola pikir, sikap
maupun tindakan.
Pembinaan nasionalisme dapat
menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial kemasyarakatan, pers dan
media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi, serta jalan yang tidak melembaga
seperti pergaulan sehari-hari, tempat rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum
(Kansil, 1986:228). Pada organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan
biasanya berbentuk kaderisasi.
Menurut Sulaeman (1998), kaderisasi
mengandung pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai
kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa
yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur kaderisasi,
sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and values.
Di dalam partai, kaderisasi
memerlukan pendekatan andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat
dikatagorikan sebagai manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari
perpaduan dua akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang
dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan
cara membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander
Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar teori
pendidikan dari Plato (Widada, 2002: 1).
Andragogi
dapat dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai
sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan proses
belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar dewasa.
Sedangkan sebagai sistem, andragogi
sebagaimana paedagogi, memiliki komponen sistem yang lengkap seperti
tujuan, kurikulum, guru, murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi
pada umumnya berwujud dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi
andragogi pada umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing,
up grading dan sebagainya.
b.
Pembentukan karakter
Kebudayaan dapat mempengaruhi karakter. Menurut Spranger
(Sujanto, Lubis, Hadi, 1984:45), kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam
kehidupan jiwanya, jiwa subyektif yaitu jiwa tiap-tiap orang dan jiwa obyektif
yaitu nilai-nilai kebudayaan yang berpengaruh pada jiwa subyektif. Manusia dapat dibedakan atas enam nilai
kebudayaan, yaitu Ekonomi, Politik, Sosial, Ilmu pengetahuan, Kesenian dan
Agama. Pengaruh dari enam nilai kebudayaan menghasilkan enam tipe manusia :
manusia ekonomi (senang bekerja, senang mengumpulkan harta, agak kikir, bangga
dengan hartanya), manusia politik (ingin berkuasa, tidak ingin kaya, berusaha
menguasai orang lain, kurang mencintai kebenaran), manusia sosial (senang
berkorban, senang mengabdi kepada Tuhan, mencintai masyarakat, pandai bergaul);
manusia pengetahuan (senang membaca, gemar berfikir dan belajar, tidak ingin
kaya, ingin serba tahu); manusia seni (hidup bersahaja, senang menikmati
keindahan, gemar mencipta, mudah bergaul dengan siapa saja); manusia agama
(hidupnya hanya untuk Tuhan dan akhirat, senang memuja, kurang senang harta,
senang menolong orang lain) .
Karakter dipengaruhi oleh faktor jasmaniah dan faktor rohaniyah. Faktor
jasmaniah mempengaruhi karakter dan karakter mengekspresikan diri dalam tingkah
laku jasmaniah (Sujanto dkk., 1984:19). Karena karakter dipengaruhi
faktor-faktor rohaniyah, jasmaniah dan lingkungan maka karakter berkaitan
dengan agama, budaya, nilai-nilai tradisi, hukum serta ilmu pengetahuan yang
menjadi landasan pembentukan karakter.
Proses pembentukan
karakter bangsa karena faktor-faktor budaya seperti itu oleh Catell (Phares,
1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals
develop are also greatly influenced by the groups to which they belong.
Faktor-faktor yang membedakan
karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan
ketekunan (industriousness).
Syntalitas membuat
karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang
dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik
secara individual maupun kolektif bangsa. Salah satu kriteria kepribadian
Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno
(Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung,
Februari 1960).
“Hari depan Revolusi
kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan
masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang
berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu
sosialisme yang disesuaikan dengan
kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan
adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”
c.
Pembentukan Kepribadian Nasional
Kepribadian
nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity
is often disputed”) bahkan Abdalla
(2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio
in terminis bagi agenda demokrasi
dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional
mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic
Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of
national identity in the advanced welfare states of Western Europe following
post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring
America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of
Americans say our culture and values change as new people” yang
mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS. Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak
kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
Di Indonesia
istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Bung Karno ketika mengemukakan
mengenai manifesto politiknya yang
disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional).
Mukti Ali (1971) mengaitkan dengan etika
agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah
karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita,
pengalaman sejarah dan budayanya.
Pembinaan
kepribadian yang bertumpu pada penanaman jiwa kebangsaan dapat dirujuk pada
prinsip Panca Dharma dari Ki Hajar Dewantara (1957), yakni kemanusiaan,
kodrat hidup, kebangsaan, kebudayaan, dan kemerdekaan/kebebasan (Bahrun,
1994:138).
Nilai-nilai filosofis untuk
membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional tentu sangatlah diperlukan dalam era
globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus dikenal, diterima,
diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses
tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi. Salah satu sarana untuk
melakukan pembiasaan adalah dalam proses interaksi manusia.
C.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
1.
Simpulan
a.
Proses globalisasi mempengaruhi pada
hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena
ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi
perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar
kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan
masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya.
Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
b.
Kegamangan menghadapi globalisasi yang
seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya monopoli
kelompok kiri dan Islam radikal tetapi juga kelompok nasionalis, yang memiliki
keprihatinan yang sama.
c.
Imperialisme dan perjuangan untuk
mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
d.
Indonesia menolak dikotomi Blok Timur
dan Blok Barat dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya
mengajukan konsepsi Pancasila yang
berdimensi moral, ideologis dan sejarah.
e.
Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi
pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi
faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong
berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan
ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.
2.
Rekomendasi
a.
Untuk mengatasi persoalan globalisasi
yang menimbulkan krisis multidimensional
diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan
diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Bangsa harus mempunyai identitas diri yang
kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Pemberdayaan perlu dilakukan untuk menjadikan warga Negara sebagai warga dunia yang baik dan
bertanggungjawab (good and responsible citizenship) sehingga tidak
terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos).
b.
Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa
yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil harus bersuara karena
mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dan berhak untuk didengar
karena mempunyai peranan di dunia ini dan
harus memberikan sumbangannya.
c.
Indonesia harus berusaha sungguh-sungguh membangun suatu
dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana
damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat
mencapai kejayaannya yang penuh.
d.
Nilai-nilai filosofis untuk membangun
karakter bangsa dan kepribadian nasional sangatlah diperlukan dalam era globalisasi.
Untuk itu maka nilai-nilai Pancasila tersebut
harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam
hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau
habituasi.
e.
Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari
berbagai prespektif diperlukan agar penanaman kebangsaan benar-benar sesuai
dengan yang diharapkan dalam rangka menghadapi globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. (2001). Sukarno, An Autobiography as Told to
Cindy Adams. Jakarta: Gunung Agung.
Ali, Abdullah
Yusuf. (1994). The Holy Qur-an Text
and Translation. Kuala Lumpur : Islamic Book
Trust.
Ali, Mukti. (1971). Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional
dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam. Yogyakarta: Yayasan
Nida.
Allport, Gordon W. (1937). Personality: A Psychological Interpretation.
New York : Holt.
Badiklatpus. (2002). Materi Pengajaran Guru Kader. Jakarta: Badiklatpus.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bayer, Patricia, et al (ed.). (2004 ). The Encyclopedia
Americana International Edition. Danbury, Connecticut: Grolier.
Bachrun. (1994). Pola Pendidikan Moral di Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung: tidak diterbitkan .
Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT
Gramedia.
Chazan, Barry.
(1985) Contemporary Approaches to Moral Education. New York: Teachers
College Press.
Departemen
Penerangan RI. (1964). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan.
Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. (2007). Buletin Litbang Hankam.
[Online]. Tersedia :buletinlitbang,dephan.go.id/index.asp. [23 Januari 2008]
Dewantara, Ki Hajar. (1967). Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Majelis
Luhur Perguruan Taman Siswa
Djahiri, A.Kosasih. (1990). Menuju Guru Inkuiri Yang Reaktif.
Bandung : Laboratorium Pengajaran PMP UPI.
Durkheim, Emile.
(1956). Education and Sociology. -- : The Free Press.
Driyarkara, N.
(1959). Pancasila dan Religi dalam Seminar Pancasila ke-1. Jakarta:
Panitia Seminar Pancasila.
Eatwell, Roger dan Wright, Anthony (ed.). (2004). Ideologi Politik
Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Fukuyama, Frances. (......). The
Great Disruption.
Hatta, Mohammad. (1981). Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan
Idayu.
Hawwa, Sa’id. (2004). Mensucikan Jiwa
Intisari Ihya’ Ullumuddin al Ghazali Konsep Tajkiyatun Nafs. Jakarta
: Rabbani Press..
Huntington, Samuel P. (1999). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.
Ishak, Joesoef (ed.). (2001). 100 Tahun Bung Karno. Jakarta : Hasta Mitra.
Kagan, Jerome.
(1971). Personality Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich,
Inc.
Kartono, Kartini. (1980). Teori Kepribadian. Bandung : Alumni.
Kohlberg, L.
(1984). Essay in Moral Development, The Psychology of Moral Development Vol.
2. New York: Harper & Crow.
Kohlberg,
Laurence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta : Kanisius.
Mas’oed, Mohtar. (2004). Etnisitas & Politik
dalam Seminar di Sinology Center, UMY
Moodod, Tariq. (1990). Islam and Racism : Does
Islam Have Something to Teach the West. [Online].
atheisme.about.com/b/a/266255.html. (23
Januari 2008)
NPR. (2007). Exploring America’s National Identity. [Online].
Tersedia : www.
npr.org/templates/story.php. [23 Januari 2008].
Pranarka, A.W.M. (1987). Epistemologi Dasar. Jakarta : Yayasan Proklamasi dan CSIS.
Quthb, Muhammad. (1998). Sistem Pendidikan Islam. Bandung : PT Alma'
arif.
Rendra. (2000). Rakyat Belum Merdeka Sebuah Paradigma Budaya.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Rex, John. (1996). Contemporary Nationalism, Its Causes and
Caonsequences for Europe. [Online]. Tersedia :
www.socresonline.org.uk/1/4/rex.html
[23 Januari 2008]
Rogers, Dorothy.
(1982). Life-Span Human Development. Monterey, California: Brooks/Cole
Publishing Company.
Rosyada, Dede.
(2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta :
Prenada Media dan ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Soekarno. (2000). Membangun Dunia
Baru ( To Build The World Anew).Pidato di Muka Sidang Umum PBB ke XV.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Soekarno. (2001). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta : PT Toko
Buku Gunung Agung Tbk.
Sujanto, Agus et. Al. (ed). (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta :
Aksara Baru.
Suprijanto, H. (2007). Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga
Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Sutoro, R. (….).
Hand out Seminar Pancasila 1957 .
Stiglitz,
Joseph. (2002). Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books.
Tabb, William K.
(2003). Tabir Politik Globalisasi. Yogyakarta : Lafadl.
Tilaar, H.A.R. (1997). Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo.
---. (2007). Profil Ulil Abshar-Abdalla. [Online]. Tersedia :
Freedominstute.org/id/index.php. [23 Januari 2008].
Surat Kabar
Kompas (4
Agustus 2005; 5 Agustus 2005; 6 Agustus 2005; 21 September 2005; 25 September 2005; 1 Maret 2007; 12 April
2007)
Pikiran Rakyat ( 8 Januari 2003; 28 Februari 2005; 12 Juli 2005; 12
November 2006; 16 November 2006; 27 Januari 2007)
Sunday, The Jakarta Post, 27 January 2008
RIWAYAT HIDUP
Dr H. Harjoko Sangganagara, M.Pd., lahir
di Ngawi pada tanggal 17 Oktober 1959, Sarjana dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan,
memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pendidikan Umum dan gelar
Doktor pada Program Administrasi Pendidikan
pada Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung. Saat ini menjabat sebagai Ketua
STIA Bagasasi Bandung.
Pengalaman dalam
pemerintahan dimulai dengan menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung
pada periode 1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode
1999-2004 dan 2004-2009 .
Pengalaman
internasional antara lain sebagai chairman
World Peace Exhibition tahun 1985 di Bandung, peserta kongres pendidikan
dan profesi pekerjaan social Asia Pasifik di Jakarta (APASWE) tahun 1987,
visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan China Expo tahun 2006 serta kongres
HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali tahun 2009.
Kumpulan
tulisannya diterbitkan pada tahun 1987 dengan judul
“Kebersamaan-Dialog-Demokrasi”. Saat ini menulis berbagai artikel mengenai
masalah pembangunan di beberapa surat kabar lokal maupun nasional (Kompas,
Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kontan, Daily Investor, Koran Jakarta, Suara
Pembaruan dan Jurnal Indonesia).
Saat ini menjadi
Pengurus Provinsi Jawa Barat dan Dewan Pakar PA GMNI dan guru
kader PDI Perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar