Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Nasional
Indonesia) akan melaksanakan Kongres di Jakarta. Sebelum itu Pengurus Daerah PA
GMNI Provinsi Jawa Barat mengadakan kegiatan Pra Kongres dengan
menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Jalan Trisakti Menuju Tatanan
Masyarakat Pancasila” di Bandung. Aku diminta menjadi salah seorang narasumber.
Pada tanggal 2 Agustus 2015, diselenggarakanlah seminar nasional itu di Hotel
Homman, Bandung. Selain aku, ada alumni GMNI Bandung yang menjadi nara sumber,
Prof. Caska dari Universitas Negeri Riau, Pekanbaru.
Lalu lintas di sekitar hotel Savoy Homan sudah padat dengan kendaraan saat
aku datang. Aku memasuki halaman depan
hotel, tapi tidak lagi tersedia tempat parkir. Aku keluar ke Jalan Asia Afrika,
melintasi Gedung Merdeka, berbelok ke kiri melewati alun-alun Bandung, berbelok
ke kiri lagi memasuki Jl. Dalem Kaum dan akhirnya sampai di bagian belakang
hotel Homan.
Acara pembukaan seminar diisi dengan pidato-pidato. Pertama
oleh Ketua PD PA GMNI Provinsi Jawa Barat, Abdi Yuhana. Kemudian oleh Sekjen PP PA GMNI, Ahmad Basarah. Ada juga sambutan dari Sekjen PDI Perjuangan,
Hasto Kristiyanto. Pembukaan dilakukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ahmad
Heryawan. Acara pembukaan berakhir
menjelang waktu zuhur, dilanjutkan dengan acara makan siang.
Saat makan siang, teh Rina Sabriena dan kang Pamriadi
mengarahkanku ke VVIP room. Saat antri mengambil makanan a la prasmanan, aku
menyilakan mas Hasto untuk mengambil terlebih dahulu, namun ia tidak mau. Maka
akupun mendahuluinya. Di meja makan pertama sudah terisi para senior
seperti mas Suko Sudarso, mas Andi dll.
Akupun mengisi meja makan berikutnya. Di situ duduk kang Ayi Vivananda, mas
Hasto dan kang Aher. Sambil makan kami pun berbincang-bincang berbagai topik
pembicaraan.
Aku mendapat waktu pada sesi ketiga setelah topik kedaulatan
politik (Dr. Andreas Hugo Pareira) dan kemandirian ekonomi (Prof. Caska). Makalahku berbicara mengenai kebudayaan yang
berkepribadian yang dipandu oleh Rudita. Sebagai pembahas ada kang Eka Santosa.
Meski begitu aku menyilakan kang Eka terlebih dahulu menyampaikan pokok-pokok
pikirannya. Barulah aku menyampaikan
makalahku yang ditayangkan di layar. Makalahku berjudul “Memperkokoh
Kepribadian Kebudayaan Nasional.”
Kumuat makalahku selengkapnya :
MEMPERKOKOH KEPRIBADIAN KEBUDAYAAN NASIONAL MENUJU
TATANAN MASYARAKAT PANCASILA
Harjoko
Sangganagara
(Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Pengurus Pusat
PA GMNI di Bandung 2 Agustus 2015)
Beberapa
hari yang lalu, tepatnya pada tanggl 22 Juli 2015, Universitas Kokhushikan di Tokyo, Jepang, menyelenggarakan
sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Puti Guntur Soekarno bertajuk “Pancasila
Bintang Penuntun”. Dalam pidato kebudayaannya Puti berkata bahwa meskipun
Pancasila disepakati menjadi dasar Negara, seluruh sila-sila dan nilai-nilai
Pancasila belum menjelma dalam sistem budaya bangsa. Selanjutnya Puti berkata “Pancasila pasca Perubahan UUD 1945
ditempatkan terbatas, sebatas dasar Negara. Bagaimana prosedur dan proses
pelaksanaannya di masyarakat, bangsa dan pemerintah, belum dirumuskan dalam
praksis bernegara”. Pidato kebudayaan tersebut diadakan dalam rangka pendirian Pusat Riset Soekarno
yang diresmikan oleh Profesor Tokubumi Shibata, cicit dari pendiri universitas
tersebut (Kompas, 23 Juli 2015).
Pada hari ini kita semua berada di Hotel Savoy Homan yang bersejarah ini
untuk hal yang sama yaitu memperingati jasa-jasa Bung Karno dan melakukan
pengkajian mengenai Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia dan
sekaligus ideologi Negara. Jika sebuah universitas di Jepang melakukan riset mengenai Soekarno dan ajarannya yang paling
berharga yaitu Pancasila, itu tidak lain
karena Pancasila adalah suatu ide, suatu konsep, suatu teori, suatu
ajaran, suatu pandangan hidup, suatu way
of life, suatu falsafah, suatu philosophische
grondslag, suatu Weltanschauung, suatu mabda,
suatu ideologi, suatu visi, suatu leidstar
atau bintang penuntun, suatu cita-cita, suatu tatanan bagi dunia, termasuk dunia akademik.
Kenyataan bahwa Soekarno dan Pancasila diberi tempat berharga secara
akademik dalam suatu pusat riset internasional, di Jepang, di Negara yang
pernah menjajah negri ini, rasanya cukup
menjadi cambuk bagi kita untuk lebih
menghargai warisan budaya bangsa yang digali dari bumi Nusantara oleh putra
terbaik bangsa yang seumur hidupnya mendedikasikan hidupnya untuk persatuan dan
kesatuan serta kemajuan bangsa dan Negara. Siapakah putra terbaik bangsa itu
? Tidak lain dan tidak bukan, pastilah Soekarno, yang semua
aspek kepribadiannya mengisi atmosfir kehidupan kita sampai-sampai tempat
lahirnyapun menjadi bahan perdebatan di media. Hal itu terjadi karena Soekarno
yang lebih suka dipanggil Bung Karno memang manusia besar bagi Indonesia. Bukan
saja bagi Indonesia, tapi juga bagi Asia Afrika, bagi Amerika Latin, bagi Gerakan Non Blok, bagi
Negara-negara yang baru merdeka lepas dari kolonialisme, bagi Negara-negara
yang tergabung dalam OKI, bagi the new
emerging forces, bahkan bagi seluruh
dunia.
Agar Pancasila menjelma dalam sistem budaya dan menjadi tatanan kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat diperlukan strategi politik, ekonomi dan kebudayaan 1) untuk
mewujudkannya. Dalam memperingati hari
kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1963
Bung Karno menyampaikan pidato yang intinya menekankan keharusan untuk
berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri (berdikari) di bidang
ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan 2), yang kita kenal
sebagai Trisakti. Ajaran Bung Karno tersebut merupakan azimat dalam revolusi
yang belum selesai, karena hanya Negara yang sakti politik, sakti ekonomi dan
sakti budaya bisa menjelmakan ideologinya dalam dalam menata kehidupan
kenegaraannya, menjalankan kebijakan politiknya serta menyelenggarakan
program-programnya di seluruh aspek, bidang dan sektor kehidupannya dalam
kerangka nation and character building.
Mengapa Bung Karno menekankan strateginya di bidang politik, ekonomi dan
budaya tidak lain karena Bung Karno menyadari bahwa akibat penjajahan yang
panjang dan silih berganti telah terjadi kerusakan material, mental dan moral
pada bangsa Indonesia. Memperbaiki kerusakan mental dan moral jauh lebih sulit
daripada memperbaiki kerusakan material , oleh karena itu diperlukan Trisakti.
Bung Karno berkata bahwa hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan modern dan
sejarah kebudayaan Indonesia barulah Trisakti dapat dipahami.
Pandangan Bung Karno tersebut menunjukkan bahwa Negara yang kita cintai
ini harus berjalan di atas
kesadaran akan pentingnya ilmu
pengetahuan dan sejarah akan kebudayaannya.
Kesadaran itu sejalan bagi manusia
pejuang dan pemikir karena manusia adalah rationale animal atau makhluk yang berpikir. Relevansinya semakin
terasa, terlebih pada saat perkembangan zaman era millennia membawa kita pada
era kesejagadan (globalisasi) yang penuh pertarungan pemikiran sesuai dengan
era teknologi informasi di mana pengetahuan yang dikumpulkan nenek moyang kita
dalam ratusan tahun kini mungkin dapat kita peroleh dalam sehari atau kurang,
tergantung dari kecanggihan soft ware dan
hard ware yang dimiliki.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti teknologi, organisasi sosial, sistem
kepercayaan, seni, bahasa, dan sistem
mata pencaharian yang dikenal dengan istilah cultural universal (Kluckchon). Ilmu pengetahuan tidak hanya
sebatas berkaitan dengan pemikiran yang
logis dan ilmiah tetapi termasuk juga
pengetahuan yang lebih intuitif seperti yang
dalam istilah kita disebut dengan cipta rasa dan karsa.
Ilmu pengetahuan memiliki
perkembangan sesuai fase dari perkembangan pemikiran atau kebudayaan yang
menurut van Peursen terdiri dari tiga tahap yaitu tahap kesadaran mitis atau
magis , fase kesadaran ontologis dan
fase fungsional (Mangunwidjaja,
1995:250) 3). Dalam era pasca
modern, baik kesadaran mitis atau magis, kesadaran ontologis maupun fungsional
saling melengkapi satu sama lain untuk menjaga keselarasan kehidupan, bukannya
saling menafikan.
Dengan padangan seperti itu kita akan bisa melihat sejarah kebudayaan
Indonesia secara utuh integral dan holistic karena sejarah kebudayaan kita pada
hakikatnya memiliki periodisasi lapisan-lapisan yang meskipun memiliki
karakteristik yang dapat dibedakan tetapi saling berkelindan yaitu masa pra Hindu Budha yang lazimnya disebut pra
sejarah (paleolithikum, mesolithikum, neolithikum), masa Hindu-Budha, masa
Islam dan masa Barat yang disebut juga masa
modern. Setiap masa meninggalkan jejak di bidang teknologi, arsitektur,
kesusastraan, politik, seni, keadaan sosial, perekonomian maupun agama. Ada
yang samar-samar ada pula yang jelas nampak.
Berikut ini ringkasan
perkembangan kebudayaan Indonesia berdasarkan pendekatan shaf, istilah yang saya
pinjam dari Bung Karno. Pendekatan yang nyaris serupa juga digunakan oleh
beberapa ahli sejarah Indonesia meski dengan istilah yang berbeda. Setiap shaf ada yang dibagi ke dalam
periodisasi. Untuk periodisasi ini saya berterima kasih pada John Micsic
yang membuat kronologi Sejarah Awal,
dan Anthony Reid yang membuat kronologi Sejarah Modern Awal (Indonesia
Heritage Vol. 1 & 3 : 2012).
Pada shaf pra Hindu-Budha, yang dinamakan prasejarah akhir yaitu antara
tahun 10.000 SM – 200 M nenek moyang kita sudah mengenal irigasi, menggunakan
emas tanpa campuran, sudah berdagang dengan India, membuat arsitektur berupa
punden berundak, melukis di gua serta
sudah memiliki prinsip kepemimpinan berdasarkan pada kecakapan seseorang.
Shaf Hindu-Budha berlangsung lama sejak 200 M – 1500M atau sekitar tiga
belas abad, yang dibagi dalam Proto Sejarah (200 M- 600 M), Klasik Awal (600 M
– 900 M), Klasik Madya (900 M – 1250 M)
dan Klasik Akhir (1250 M – 1500 M).
Peninggalan proto sejarah yang penting adalah aksara tertua seperti terlihat pada maklumat
kerajaan Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa Barat. Pada era ini
pulalah masuknya aksara Palawa dan bahasa Sansekerta, adanya stratifikasi sosial seperti golongan bangsawan
dan rakyat biasa, mulai menyebarnya agama Hindu dan Budha serta dimulainya
perdagagangan dengan Cina.
Pada masa klasik awal ada kemajuan dalam pembuatan perahu, dibangunnya
candi Borobudur dan Prambanan, diterjemahkannya dua epos India yang terkenal
yaitu Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa Jawa Kuno, persaingan dinasti
Syailendra yang beragama Budha dengan dinasti Sanjaya yang beragama Hindu untuk
berkuasa di Jawa dan Sumatra yang kemudian diselesaikan melalui perkawinan, dan
dinasti Syailendra tetap berkuasa di Sriwijaya. Sriwijaya dan Mataram bersaing
untuk menguasasi perdaganan maritim internasional di Asia Tenggara, sementara
agama Hindu pemuja Siwa dan Wisnu serta Budha Mahayana mulai menguasasi kraton
dan pelan-pelan meresap ke dalam kehidupan penduduk desa.
Masa klasik madya ditandai dengan dibangunnya candi-candi dari bata di
Sumatra seiring perkembangan agama Budha esoteris di pulau itu dan Sriwijaya
digantikan oleh kerajaan Melayu, menghilangnya kerajaan dari Jawa Tengah dan
munculnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur, zaman keemasan kesusastraan
keraton Kediri, birokrasi makin berkembang, organisasi militer mulai melembaga,
kedudukan cendikiawan mulai meningkat, pemerintah semakin terlibat dalam urusan
pengendalian air dan angkutan darat, banyak pelabuhan baru dikembangkan,
pendatang Cina mulai mendirikan pemukiman, uang logam Cina menjadi mata uang
penting dan perpajakan menjadi lebih rumit.
Pada masa klasik akhir, Singasari menyatukan kerajaan-kerajaan di Jawa
Timur bahkan meluas hingga mempunyai kekuasaan atas kerajaan Melayu di Sumatra.
Singasari diganti oleh Majapahit yang menjadi kerajaan terbesar dalam sejarah
Indonesia kuno. Pembuatan kertas dimulai, keris menjadi senjata dan lambang
penting. Banyak yang bermata pencarian hidup dengan menjual jasa untuk mendapat
imbalan uang. Pelabuhan di pantai utara Jawa dan timur Sumatra menjadi sangat
makmur karena pengalihan ke India dan Asia Tenggara saat Cina menutup diri pada
tahun 1368.
Shaf Islam berlangsung sejak 1300 M- 1600 M. Masa Islam awal menurut
Micsic ditandai dengan penggunaan senjata api yang
mungkin berasal dari Asia Barat Daya. Majapahit yang sering mengirim utusan ke
Cina, juga ke Jepang dan Korea mulai mengalami kemunduran kemudian menghilang
sekitar tahun 1527 (atau tahun 1478 menurut Reid dan 1402 menurut Raffles). Kerajaan-kerajaan
baru seperti Demak, Banten dan Cirebon muncul di pantai utara Jawa. Sultan
Hasanuddin membangun Banten sebagai pelabuhan lada dan menaklukkan Pajajaran.
Sunan Gunung Jati menaklukkan Batavia dan mengubah namanya menjadi Jayakarta.
Kerajaan Mataram di pedalaman meneguhkan kembali keunggulannya. Melaka muncul
sebagai saingan Pasai yang dipimpin oleh seorang Ratu. Kerajaan Goa berkembang
karena posisi strategisnya pada jalur perdagangan rempah-rempah.
Monumen yang awet adalah masjid, gugus kubur dan keraton seperti nampak
pada keraton Cirebon dan Yogyakarta. Sastra Islam tertua berasal dari abad
ke-16 berisi renungan filosofis hubungan manusia dan Tuhan yang meskipun
berorientasi mistik tapi tidak bersifat heterodoks, dalam arti mempertahankan
konsep dualisme. Larangan Islam terhadap pembuatan patung makhluk hidup semakin
ditaati. Urbanisasi berkembang pesat sama dengan di Eropa. Perdagangan
berkembang, tenaga kerja sulit di dapat dan mahal, penduduk desa bisa berpindah
untuk mencari tanah baru, hubungan Gusti-kawula
berdasarkan hutang piutang menjadi ciri dasar yang dipengaruhi Eropa. Agama
Islam berkembang perlahan secara damai, proses penyebarannya memunculkan
varian-varian baru yang memasukkan kepercayaan pra-islam dalam kesatuan manusia
dan Tuhan.
Shaf Barat atau Modern, dimulai sekitar 1600 M. Portugis di bawah
Alfonso d’Albuquerque mulai menaklukkan
Melaka dan membeli rempah-rempah di Maluku . Ekspedisi Belanda di bawah
Cornelis de Houtman berdagang di Banten. Inggris membangun benteng di Banten.
VOC dibentuk di Amsterdam dengan menjual hak untuk mengirim kapal Belanda ke
Timur dan sejak itulah riwayat penjajahan Belanda di Indonesia dimulai. Politik
pecah belah dimulai. Perjanjian Gianti membagi Mataram menjadi dua : Mangkubumi menjadi sultan Yogyakarta dan
Pakubuwana sebagai susuhunan Surakarta. Marsekal Daendels menguasasi Jawa untuk
Napoleon, dilanjutkan oleh Raffles sebagai Gubernur untuk Inggris. Gubernur
Jendral Bosch meresmikan culturrstelsel
yang sangat menguntungkan Belanda dan menyengsarakan rakyat khususnya petani. Perlawanan muncul dimulai dengan Patttimura di
Saparua, di Jawa di bawah pimpinan P. Diponegoro, di Sumatra di bawah P. Imam
Bonjol , di Sulawesi Selatan di bawah Ratu Bone We Pancaitana, dan di Bali
berupa “puputan” yang menandai akhir
kerajaan-kerajaan di Lombok dan Bali. Dari tahun 1896-1909 terjadi penaklukan
Nusantara secara sistematik oleh Belanda.
Sejarah kebudayaan Indonesia menunjukkan pasang surut perkembangan yang
bermuara pada adanya kesadaran nasional yang embrionya dimulai pada kebangkitan
kesadaran nasional pada tahun 1908, kesepakatan agung untuk bersatu dalam
Indonesia pada tahun 1928 dan puncaknya adalah pada proklamasi kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945 yang menandai dimulainya revolusi nasional untuk membebaskan
diri dari penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.
Putra bangsa yang tercerahkan mendarmabaktikan semua potensi dirinya
untuk membangun suatu Indonesia yang berperadaban maju melalui jalan politik
dengan mengorganisir rakyat untuk menjadi manusia merdeka yang memiliki harga
diri, melalui jalan ekonomi dengan menyelenggarakan perekonomian yang
menguntungkan kaum Marhaen dan jalan kebudayaan dengan mengerahkan daya cipta rasa dan karsanya untuk
menunjukkan jati diri nya di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Diskursus kebudayaan Indonesia kaya dengan dialektika. Barat berhadapan dengan Timur, sosialisme
berhadapan dengan kapitalisme, paham agama berhadapan dengan sekulerisme,
realisme sosialis berhadapan dengan humanisme universal, pribumi berhadapan
dengan asing, lokal berhadapan dengan global, keseragaman berhadapan dengan
keberagaman, oldefos berhadapan dengan nefos.
Ada sintesa, namun ada pula pergumulan yang belum berakhir. Kebudayaan
Indonesia hidup dalam dinamika. Semua itu sesungguhnya membentuk, mengembangkan
dan memperkuat kebudayaan.
Sebagai sebuah gagasan, Pancasila adalah wujud
kebudayaan Indonesia yang sempurna.
Untuk mewujudkannya dalam perilaku diperlukan pembiasaan (habituasi)
pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Canangan
pemerintah untuk menghidupkan budi pekerti di sekolah merupakan langkah yang
baik. Selain di sekolah, pembiasaan perlu diperluas hingga keluarga dan
masyarakat. Revolusi mental harus dijalankan. Bukan hanya kerja dan disiplin
yang diperlukan tapi yang tidak kalah penting adalah kebutuhan “menciptakan
pikiran-pikiran dan konsepsi-konsepsi baru”.
Kita harus berjuang secara sistemik menentang “imperialisme kebudayaan”
dan Pemerintah harus melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan Nasional.
Dengan demikian diharapkan kepribadian kebudayaan nasional semakin kokoh dan
tatanan masyarakat Pancasila terwujud.
Daftar Pustaka
Dewantara, Ki Hadjar. (1962). Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta : Percetakan Taman Siswa.
Departemen Penerangan RI. (1961). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Percetakan Negara &
Departemen Penerangan.
Mangunwijaya, Y.B. (1985). 50 Tahun Merdeka Beberapa
Sumbangan Pemikiran Dari Sudut Budaya dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhanas. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Sumbangan Pemikiran Dari Sudut Budaya dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhanas. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Miksic, John. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 1 Sejarah Awal.
Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.
Reid, Anthony. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 3 Sejarah Modern
Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.
RIWAYAT HIDUP
Harjoko
Sangganagara, Doktor Administrasi
Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Saat ini
menjabat sebagai Pembantu Ketua I Bidang Akademik pada STIA Bagasasi
Bandung dan pengajar pada Program Pascasarjana Universitas
Galuh Ciamis.
Pengalaman dalam
pemerintahan : sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung pada periode
1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode 1999-2004 dan
2004-2009 .
Pengalaman
internasional : pemrakarsa
World Peace Exhibition tahun 1985 di
Bandung, peserta Kongres Pendidikan dan Profesi
Pekerjaan Sosial Asia Pasifik (APASWE) tahun 1987 di Jakarta , visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan
China Expo tahun 2006 serta Kongres HIV/AIDS Asia
Pasifik di Bali tahun 2009.
Saat ini menjadi
pengurus daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat sebagai Wakil Ketua Bidang Ideologi dan sebagai guru kader PDI Perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar