Libur semesteran sekolah di pertengahan bulan Desember 2016. Adik bungsuku, Wiwin mengajakku menengok keluarga suaminya di Tanggamus, Lampung. Akupun mengiyakan. Maka setelah libur hari Natal kami berkemas. Malam itu kami berangkat dari Bandung. Dik Wiwin dan suaminya, dik Somadin dengan tiga anaknya : Hajid, Azkia, Shafa. Dik Titik, adikku yang keempat dan suaminya, dik Yus. Aku. Dik Wiwin menyewa mobil daring. Supirnya adalah tetangga di komplek Riung Bandung yang sudah sering berkendara di pulau Sumatra karena pernah bekerja di kontraktor yang membangun infrastruktur jalan dan jembatan di pulau itu.
Tengah malam kami tiba di pelabuhan Merak dan masuk ke kapal roro. Dalam gelap kapal berlayar mengarungi laut Selat Sunda yang tenang. Saat fajar tiba kapal sudah merapat ke pantai. Pulau Sumatra kelihatan dari jauh. Makin lama makin jelas. Kami berfoto-foto di geladak kapal sambil menikmati udara laut di pagi hari serta matahari yang mulai bersinar di ufuk timur. Pelahan tapi pasti kapal menuju pelabuhan Bakauheni, menurunkan jangkar dan akhirnya bersandar di dermaga. Kami memasuki mobil dan keluar dari kapal lalu mendarat di tanah pulau Sumatra kemudian meninggalkan pelabuhan.
Sekitar pukul 09.00 kami tiba di Kalianda namun tidak singgah. Kami melanjutkan perjalanan dan tidak lama kemudian kami keluar dari jalan raya berbelok ke kanan beberapa kilometer memasuki kota kecamatan dan desa, melewati pesawahan dan kami pun tiba di pemukiman transmigrasi. Kami singgah di keluarga dik Somad hingga dzuhur. Setelah bersilaturahmi, makan minum dan salat kami melanjutkan perjalanan.
Tujuan kami berikutnya adalah kota Bandar Lampung. Dari sini kami menuju ke Pringsewu. Sesekali kami melihat lautan Indonesia di sebelah kiri berselang seling dengan rumah rumah penduduk. Menjelang ashar kami tiba di kota Pringsewu, singgah di pasar dan singgah di rumah kakak perempuan dik Somadin. Setelah mandi makan dan salat kami betangkat menuju Tanggamus.
Saat senja tiba kami memasuki Kota Agung, ibu kota kabupaten Tanggamus. Kota yang indah. Di punggung kota berdiri gunung Tanggamus yang agung. Di bagian bawah kota ada alun alun kota. Turun dari alun alun beberapa kilometer sampailah kami di pantai. Kami pun berhambur menuju pantai. Berjalan ke dermaga. Melihat lautan luas dan matahari yang mulai turun di ufuk barat. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Sayang tidak berapa lama berwisata di situ, hujan pun turun. Kami segera memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan.
Mobil bergerak meninggalkan Kota Agung. Di sebelah kanan Gunung Tanggamus dan di sebelah kiri samudra Indonesia. Rumah-rumah penduduk di pinggir jalan sangat bagus. Rumah panggung adat Lampung berbentuk limasan terbuat dari kayu dengan atap genting dengan arsitektur yang berselera tinggi, berjajar di sepanjang jalan. Aku tak jemu memandangi dari balik kaca mobil.
Menjelang maghrib kami tiba di distrik Wonosobo dan mengambil jalan ke kiri memasuki perkampungan para transmigran dari Jawa yang telah berpuluh puluh tahun bermukim di sana. Seperti di Kota Agung, di pemukiman ini ada juga gereja. Setelah melewati gereja, kami pun berbelok ke kiri melewati pesawahan dan akhirnya sampai di tempat yang kami tuju. Rumah ibu dik Somadin.
Setelah mandi, salat dan makan kami mengobrol di atas tikar di halaman rumah yang berlapis rerumputan tebal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar