Setahun yang lalu pandemi Covid-19 mulai melandai. Tiba waktunya anak perempuan dan anak pertamaku , bersiap berangkat kenegri orang untuk mencari ilmu setelah tertunda selama kurang lebih dua tahun. Kali ini ia akan studi pada jenjang S3 di Paris, Perancis, tepatnya di Universitas Sorbonne. Untuk mendapatkan visa belajar anakku harus ke kedutaan besar Perancis di Jakarta. Satu dua kali harus menginap di Swissbell hotel di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kadangkala langsung dari Yogyakarta ke Jakarta bersama suami dan anaknya, kadangkala mampir dulu ke Bandung dan bersama-sama menuju Jakarta. Di Jakarta aku dan istriku menginap juga, kadang bersama anak kedua dan anaknya kadang bersama anak ketiga yang masih lajang.
Setelah visa diperoleh kami sekeluarga mengantar Dea ke bandara Sukarno Hatta. Dari sana ia terbang dengan pesawat Emirate dan transit di Dubai. Keesokan harinya tiba di Paris lalu dijemput dosen pembimbingnya, seorang profesor yang biasa kami panggil Pak Franc. Pak Franc sudah bisa berbahasa Indonesia dan Jawa karena sering berkunjung ke Indonesia dan memiliki istri orang Boyolali yang bisasa kami panggil Tante Ema. Putriku tinggal bersama profesornya yang memiliki home stay untuk disewakan. Letaknya di luar kota Paris. Jadi dari sana anakku harus menggunakan kereta api jika hendak ke kampus. Sesekali suami anakku terbang ke Perancis bersama anaknya, cucuku. Menantuku ke sana sambil mengerjakan satu dua proyek penelitian bekerja sama dengan kampus di mana anakku belajar mengenai geografi lingkungan. Profesor Franc juga pernah berkunjung ke Yogyakarta bersama istri dan kedua anaknya serta mahasiswa dari Perancis. Kami pernah menjumpainya di Westlake hotel. Hadir juga Pak Danang, Dekan Fakultas Geografi UGM dan beberapa ilmuwan kenalan atau murid Pak Franc.
Setidaknya dalam setahun ini putriku sudah tiga kali ke Perancis pergi pulang. Sekali sendiri. Kedua disusul suami dan anak perempuannya. Ketiga terbang bersama-sama. Untuk keberangkatan yang ketiga anakku bersama suami dan anaknya tinggal di asrama kampus di kota Paris. Karena itu kami sering sekali pergi ke bandara dan kadangkala meginap di satu dua hotel di kawasan bandara. Jika waktu menunggu boarding masih lama sementara kami sudah check out dari hotel, kami sering mengisi waktu dengan berpesiar ke Pantai Indah Kapuk yang merupakan kawasan hasil reklamasi. Kadangkala kami berkendara sepanjang pantai hingga memasuki wilayah provinsi Banten. Dari tepi pantai kami bisa melihat laut yang membiru dengan perahu dan bagan para nelayan. Sementara tidak begitu jauh nampak pulau pulau dari Kepulauan Seribu. Ada beberapa pulau hasil reklamasi di situ di mana di atasnya dibangun pemukiman dengan harga sekitar Rp 5 milyar per unit. Ada pula pusat perniagaan dan perkantoran modern. Kadangkala kami memasuki sebuah mal di situ sekedar untuk menikmati sejuknya ruangan berpengatur udara. Kadangkala kami juga menikmati kuliner di pusat makanan yang serasa di Singapura atau Hong Kong.
Pada kepergian anakku ke Perancis yang terakhir, kebetulan memasuki bulan puasa, sehingga mereka sempat merasakan puasa di Perancis yang lebih lama waktunya daripada di Indonesia. Selisihnya sekitar dua jam. Saat itu di Perancis, khususnya di kota Paris, sedang banyak terjadi demonstrasi besar-besaran dari pegawai baik itu pegawai negri maupun swasta yang menolak kebijakan pemerintahan Macron mengenai perpanjangan usia memasuki pensiun dari 62 tahun ke 64 tahun. Artinya mereka baru memasuki masa pensiun pada usia 64 tahun. Selain itu gaji pensiunnya juga dikurangi. Tidak heran jika terjadi demonstrasi besar-besaran di Perancis dan di Paris sehingga tidak urung cucuku ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Oleh-olehnya adalah kata “pardon, pardon” yang mungkin diperolehnya saat ayah bundanya minta permisi saat melewati kerumunan demonstran.
Menjelang lebaran 1 Syawal 1444 H, putriku pulang meski tidak bersamaan dengan keluarganya. Pertama yang pulang adalah menantu dan cucu perempuanku, Kanaya. Belakangan baru putriku menyusul. Namun mereka tidak berlebaran di Bandung. Sekitar dua minggu menjelang lebaran mereka pulang ke Yogyakarta karena menantuku harus mengajar dan putriku harus melakukan penelitian di Gunung Merapi yang sedang menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya.
Mereka pun “mudik” ke Malang ke keluarga pak Rachmad, besanku, untuk berlebaran di sana. Jadi kami berlebaran di Bandung berempat saja, aku, istriku, anak keduaku Dimas dan anak ketigaku Praja. Cucuku Shasmaka baru ke Bandung beberapa hari kemudian.
Semalam Praja, anakku yang bungsu berangkat ke Yogyakarta untuk mengambil sample penelitian. Sample penelitian itu biasanya adalah air dari sekitar Gunung Merapi yang dikemas dalam botol-botol plastik. Sample itu nantinya akan dibawa ke laboratorium PPSDAL Unpad di Jalan Sekeloa untuk diperiksa dan dianalisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar