Senin, 16 Desember 2019

Flores Pulau Bunga

Muhibah Ke Ende.
DECEMBER 4 · PUBLIC
3 Reads
Saat bertugas ke Bali sekitar tahun 2009, saya membulatkan tekad terbang ke Ende di Pulau Flores. Sementara kawan-kawan pulang ke Bandung saya terbang dari bandara internasional I Gusti Ngurah Rai dengan pesawat lokal selama kurang lebih dua jam melintasi pulau Lombok, Sumbawa dan Sumba. Cuaca cerah. Langit biru berawan. Saat itu musim kemarau. Dari ketinggian sesekali nampak laut biru, pulau pulau dan perahu. Sekitar pukul 14.00 WIT pesawat mendekati Pulau Ende yang berbentuk bukit, yang terletak di bagian selatan Pulau Flores. Pilot mengambil ancang-ancang untuk mendarat dengan terbang rendah di atas selat. Pramugari meminta penumpang menegakkan sandaran kursi, memasang sabuk pengaman. Aku terkejut, di depan nampak landasan pendek untuk pendaratan yang berujung pada dinding bukit yang berdiri tegak. Ternyata pilot dengan mahir menurunkan pesawat dan saat roda menyentuh landasan terasa getaran di seluruh badan pesawat sebelum melintasi taxi way dan mendarat dengan sempurna di Bandara El Tari. (El Tari adalah nama salah seorang Gubernur NTT).Dari pesawat saya berjalan kaki melintasi apron menuju pintu masuk bandara. Setelah mengambil koper saya pun menuju pintu keluar dan tiba di halaman parkir bandara. Untuk pertama kalinya saya telah tiba di kota Ende dengan selamat.
Setelah tawar menawar dengan supir taksi saya keluar dari halaman bandara. Taksi memasuki bulevar, melintasi pusat pemerintahan dan tidak berapa lama tiba di sebuah hotel. Hotel ini satu dari dua atau tiga hotel di kota Ende. Saya melakukan check in dan menyimpan tas, lalu ke luar. Tujuan saya adalah ke rumah pengasingan Bung Karno. Dari hotel saya berjalan kaki di jalan yang lengang sekitar beberapa ratus meter dan tibalah saya pada tempat yang saya tuju. Rumah Bung Karno. Sebuah bangunan sederhana bersegi empat yang didominasi unsur kayu dengan atap seng. Halamannya tidak seberapa luas. Saat saya datang tidak ada siapapun di situ. Saya lalu berjalan ke bagian belakang ke sebuah sumur di halaman belakang. Saya bertegur sapa dengan beberapa orang yang tinggal di pemukiman di belakang rumah Bung Karno. Mereka adalah para pedagang batik dari Jawa yang kost di situ. Dari mereka saya memperoleh beberapa informasi. Mereka kadang menginap di rumah Bung Karno pada malam Jumat untuk melakukan tirakat atau meditasi di salah satu ruangan yang diyakini sebagai ruangan ibadah (mushola) yang dulu digunakan Bung Karno. Atas bantuan mereka juga akhirnya penjaga rumah Bung Karno bisa didatangkan dari kota dan saya pun bisa mengeksplorasi rumah Bung Karno tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah dua buah lukisan buatan Bung Karno. Sebuah lukisan menggambarkan sosok perempuan berambut panjang mengenakan kebaya. Satunya lagi sebuah kukisan bersuasana Bali, menggambarkan cita-cita Bung Karno akan sebuah negara Indonesia yang merdeka. Setelah banyak bertanya dan mengisi buku tamu, sayapun meninggalkan Rumah Bung Karno yang dihuni oleh Bung Karno, Ibu Inggit dan Ratna Juami saat Bung Karno dibuang Belanda ke Flores pada akhir tahun 1930-an.

Senja di Ende

Dari rumah pengasingan Bung Karno, saya berjalan kaki menelusuri jalan lengang ke masjid yang dulu digunakan Bung Karno. Saya shalat Dzuhur dan Ashar dengan cara disatukan masing masing dua rakaat. Dari sana saya ke tempat perenungan Bung Karno. Sebuah taman yang kini  dihiasi patung Bung Karno. Di situ ada sebatang pohon sukun. Pohon ini ditanam belakangan. Dulu sekali memang ada pohon sukun di situ, di mana Bung Karno sering duduk di bawahnya, memandang ke laut sambil merenung. Hasil renungan Bung Karno ini saya duga yang kemudian dinamakan Pancasila.
Dari taman Pancasila saya berjalan kaki ke arah pantai, mengunjungi sebuah tempat pesiar di situ. Saya lalu melanjutkan perjalanan ke pelabuhan dan pergi ke dermaga. Ada satu dua kapal menurunkan penumpang dan barang. Di seberang nampak pulau Ende berdiri tegak menjaga kota dan menahan gelombang laut selatan.
Puas menikmati pemandangan laut, saya pergi ke alun alun menyaksikan anak-anak bermain bola. Ini merupakan permainan bola termahal yang pernah kusaksikan, jauh di bagian timur Indonesia.
Masih di senja itu, saya berkeliling kota. Mulanya saya berjalan kaki ke arah pasar mencari satu dua cassette recorder lagu-lagu daerah. Lalu saya menaiki sebuah angkutan kota dan tamasya keliling kota. Supirnya anak muda. Sambil mengemudi dia menggerakkan badannya mengikuti irama lagu yang menghentak. Lampu-lampu kecil di dalam mobil berkelip. Sementara mobil terus melaju mengelilingi kota. Penumpang naik dan turun. Tidak banyak. Hanya satu atau dua saja. Tapi hiburan dalam mobil tetap full. Telinga saya harus bertoleransi dengan suasana hingar bingar angkutan kota di kota Ende. Mata saya mengawasi pemandangan sepanjang perjalanan. Di kota ini ibunda dari Inggit Garnasih-istri Bung Karno-meninggal dan dimakamkan. Orang-orang menyebutnya Ibu Ratu. Di kota ini pula Bung Karno mengembangkan bakatnya menjadi produser sandiwara, menulis naskah, menjadi sutradara sekaligus aktor. Tapi di sini pulalah Bung Karno mendalami agama Islam lewat korespondensinya dengan A. Hasan di Bandung.
Menjelang malam saya kembali ke dekat pantai, memasuki sebuah restoran di tepi laut, memesan makanan sambil mendengarkan musik. Itulah makan malam saya yang pertama di Ende. Setelah itu saya pulang berjalan kaki menuju hotel untuk beristirahat. Besok saya harus bangun pagi pagi benar.

Danau Kelimutu

Seusai solat subuh mobil yang kupesan sudah siap di depan hotel. Pagi ini saya berniat menjelajahi Flores dari selatan ke utara dengan tujuan utama mengunjungi Danau Kelimutu. Saat tiba pak supir -sebut saja Frans- yang merangkap menjadi pemandu bercerita bahwa Danau Kelimutu menyimpan misteri. Kadang saat tiba di puncak gunung kabut turun menyelimuti tiga danau di sana.
Kami pun memulai perjalanan melewati pedesaan  dengan rumah-rumah yang kebanyakan terbuat dari  bambu yang dipipihkan menjadi papan, pesawahan dan sungai yang penuh bebatuan. Setelah sekitar dua jam perjalanan menanjak dan berliku-liku tibalah kami di kaki gunung. Mengambil arah ke kanan, mobil angkutan AKDP yang saya tumpangi berdua dengan Frans terus berjalan mendaki. Frans terus bercerita bahwa Kelimutu merupakan tempat Bung Karno bermeditasi. Bung Karno juga bersahabat dengan pastur ...
Akhirnya kami tiba di pintu masuk Kelimutu. Di pintu gerbang petugas penjaga hutan menghampiri dan membuka perintang jalan. Saya dan Frans turun, berbincang dengan polisi hutan bernama Anton. Ia mendampingi kami berjalan kaki menaiki jalan berundak terbuat dari batu melintasi hutan sambil menceritakan secara detil keadaan alam di sana.
Setelah mendaki undakan demi undakan sekitar setengah jam kami tiba di titik triangulasi. Dari sana kami bisa melihat tiga danau di puncak gunung yang berbeda warna. Ada danau berwarna biru, ada yang berwarna hijau dan ada yang berwarna hitam. Setiap danau memiliki cerita dan kisah tersendiri. Ketiga danau Kelimutu merupakan tempat persemayaman roh-roh. Setiap roh yang keluar dari tubuh akan bersemayam di salah satu danau tergantung pada perilakunya selama hidup di dunia. Ada danau untuk orang-orang baik, dan ada yang untuk orang jahat.
Lepas dari soal kisah dari setiap danau Kelimutu, yang bisa dipastikan adalah bahwa udara di puncak gunung sangat dingin namun pemandangan sangat indah. Fenomenal dan spektakuler. Ketika saya tiba matahari sudah mulai bersinar di ufuk timur. Cahaya cerlang cemerlang. Beruntung langit begitu jernih, tak ada kabut turun seperti yang dikhawatirkan. Menurut Frans, itu pertanda baik. Roh roh yang bersemayam menerima baik kehadiran kami.
Di puncak gunung saya sempat berfoto dengan Anton polisi hutan yang bertugas di Kelimutu dengan lantar belakang danau danau berwarna warni.

Maumere

Saat matahari mulai bersinar dari balik hutan yang mengelilingi danau , saya menuruni gunung lalu meninggalkan Taman Nasional Kelimutu. Tak lupa berbagi nomor ponsel lalu berpamitan dengan pak Anton Molikmenua, polisi hutan yang mengantar saya ke puncak gunung di mana ketiga danau berada. Pak Frans pelan pelan mengemudikan mobilnya menuruni pebukitan hingga bertemu jalan utama. Tujuan saya selanjutnya adalah Maumere.
Setelah bertemu jalan nasional, kami berbelok ke kanan. Mulailah jalan panjang membelah Flores sejauh kurang lebih 150 km menelusuri jalan sempit dengan pebukitan berbatu, hutan, kebun,jurang dan ngarai dialiri sungai di kiri kanan. Meski begitu para supir memacu kendaraan dengan kencang. Kadang saling mengambil jalur dari arah berlawanan. Mobil saling berhadapan, mereka saling berteriak lalu jalan kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Sepanjang perjalanan nampak kebun kebun  di kiri kanan ditanami tanaman coklat. Buah coklat banyak dijemur di tepi jalan. Makam makam keluarga yang dilapisi keramik dibangun di depan rumah. Sepanjang perjalanan ada satu dua penumpang lain yang ikut.
Selain pemandangan pegunungan, hutan, kebun dan pesawahan, Flores memiliki pemandangan pantai yang indah. Sepanjang puluhan kilometer saya melihat lautan Indonesia di sebelah kanan jalan berselang seling dengan pemukiman, kebun, resor, dan restoran. Lautan nampak tenang dan damai. Tidak heran jika seorang dubes dari negara sahabat berkeinginan untuk tinggal di pulau bunga ini setelah pensiun.
Dari Paga perjalanan mengarah ke ... di mana kami beristirahat sekitar setengah jam untuk  makan siang. Dari sini perjalanan berlanjut menuju Sikka yang merupakan pusat kegiatan agama Katolik. Frans Seda, salah seorang menteri di era Suharto berasal dari sini. Dari Sikka perjalanan mengarah ke kiri ke arah utara menembus perkebunan dan kampung-kampung yang rimbun dengan pepohonan. Lewat tengah hari kami memasuki Maumere. Suasana gerejawi sangat terasa. Di mana mana terdapat biara gereja kapel dan seminari. Jika Ende terletak di ujung selatan Flores maka Maumere berada di ujung utara Flores.
Menurut info yang saya peroleh dari internet, Maumere adalah sebuah kecamatan dikabupaten Sikka, sekaligus ibu kota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2007, Kecamatan Maumere berubah namanya menjadi Kecamatan Nelle, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 1 Tahun 2007. Kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 50.000 jiwa (2005). Kota ini pernah diguncang tsunami pada1992 menewaskan lebih dari 900 orang. Maumere menjadi kota terkecil di dunia yang pernah dikunjungi Sri Paus Yohanes Paulus II yakni pada tahun 1989.
Tujuan saya ke Maumere salah satunya adalah berkunjung ke rumah ex Bupati Larantuka. Istrinya adalah sepupu saya sekaligus teman sepermainan saat kami masih remaja. Sudah berpuluh tahun kami tidak bertemu. Sekitar satu atau dua jam saya berada di sana melepas rindu, berbincang soal keluarga dan soal politik. Sayapun kemudian bermohon diri. Sebelum kembali ke Ende saya berkunjung ke pelabuhan menikmati pemandangan laut yang indah dan menyaksikan kegiatan orang naik turun kapal di dermaga. Tidak lupa saya melintasi jalan tempat tinggal keluarga Pareira, karena mereka masih terkait   keluarga.
Jalan yang yang saya lewati saat pulang ke Ende adalah jalan yang sama yang saya lalui tadi. Hanya saja kali ini saya sengaja singgah di sebuah restoran yang tersembunyi di tepi pantai. Tentu saja saya menikmati suasana menjelang senja di tepi pantai sambil tidak lupa mengambil gambar. Sayang gambar-gambar itu tersimpan pada ponsel yang kini hilang.
Hari telah malam ketika saya memasuki kota Ende. Setidaknya saya bisa menikmati suasana malam sebelum beristirahat di hotel. Keesokan pagi saya harus terbang ke Bali sebelum mencari pesawat ke Bandung melalui Surabaya.