Jumat, 12 Juni 2020

Kaderisasi Tingkat Pertama PDI Perjuangan Subang.



Bung Irman dari DPC PDI Perjuangan Kabupaten Subang mengundang ku untuk menjadi pengajar pada Kaderisasi Tingkat Pertama bagi para PAC PDI Perjuangan se-Kabupaten Subang. Hari itu, Selasa, 29 Desember 2015, setelah salat subuh aku segera mengemudikan kendaraan meluncur meninggalkan kota Bandung menuju Lembang. Jalan masih lengang sehingga aku masih bisa menikmati keindahan alam pegunungan. Setelah melewati Gunung Tangkuban Perahu aku menepikan kendaraan dan mematikan mesin mobil dan membuka  jendela. Dari arah timur, matahari mulai menyemburatkan cahayanya yang merah kekuning-kuningan, berkilauan di antara pepohonan. Embun pada pohon-pohon teh yang hijau nampak berkilauan seperti lapisan es. Udara amat segar dan segera memasuki pernafasanku, menyalurkan oksigen pada pada paru-paru dan kemudian menjalar  ke seluruh jalan darah di sekujur tubuhku.  Setelah mengambil foto aku segera memasuki jalan raya menuju Ciater.

Tiba di Jalan Cagak, para pedagang nanas belum lagi membuka kiosnya. Mobil terus meluncur menurun ke tempat wisata Ciater yang masih sepi. Tak lama kemudian aku sudah memasuki area tempat kaderisasi. Tiba di perumahan dengan ranch, aku membelokkan mobil  ke kiri dan berhenti  di area parkir. Karena waktu mengajarku masih lama dan peserta juga belum hadir, aku memutuskan tetap tinggal mobil, meluruskan sandaran kursi , membuka jendela sekedarnya dan tidur di udara yang dingin. Matapun segera terkatup dan tidur lelap. Saat bangun aku segera memasuki gedung tempat kaderisasi dilaksanakan. Nampaknya para peserta belum lagi siap. Aku meninggalkan tempat menuju komplek perumahan di mana para panitia tinggal selama kaderisasi. Aku bertemu dengan kawan kawan muda pengurus DPC PDI Perjuangan Subang sambil minum kopi.
Sekitar pukul 09.00 barulah acara dimulai. Aku menyampaikan presentasi dengan menggunakan slide dengan judul “Memahami Marhaenisme Ajaran Bung Karno” dengan kerangka pembahasan mengenai sejarah lahirnya Marhaenisme, pisau analisis Marhaenisme dan relevansi Marhaenisme dalam menghadapi tantangan zaman.

Marhaenisme.

Pada tanggan 4 Juli 1927 Bung Karno bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Soenaryo mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dengan menggunakan  “Marhaenisme” sebagai asas politiknya. Sejak saat itu Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan Rakyat Indonesia di samping Islam, Sosialisme, Komunisme.
Sebagai asas atau teori politik, ia adalah teori yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menghendaki keselamatan kaum Marhaen*.  Sebagai teori politik meliputi pengertian : Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi. Sosio Nasionalisme; adalah nasionalisme masyarakat, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wet (hukum) nya masyarakat itu.Sosio Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi daripada Sosio Nasionalisme. Sosio demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya didalam masyarakat. Sosio Demokrasi tidak untuk kepentingan sekelompok kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat

Marhaen; adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno di daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan kelompok masyarakat/bangsa Indonesia yang menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan karena kemalasannya atau kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena disengsarakan oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme. Marhaen meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang melarat, dan semua kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme dan feodalisme. Buruh atau Proletar sebagai motor penggeraknya. Marhaenis, adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut petunjuk ajaran-ajaran Marhaenisme, berjuang dengan bersama-sama/mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen yang tersebar di seluruh tanah air.

Metode Berpikir Marhaenisme.

(Bahan Metode Berpikir Marhaenisme ini kuambil dari pandangan senior Sutoro SB, Alumni GMNI Yogyakarta yang memberikan kerangka pemikirannya saat aku membuat disertasi di UPI).
Kita ketahui bahwasanya masyarakat itu berkembang, seperti yang dijelaskan dalam metode berpikir marhenisme tentang "THESA-ANTITHESA-SYNTESA". Demikianlah masyarakat berkembang terus dari suatu thesa (keadaan) kepada thesa (keadaan) berikutnya, sampai pada thesa yang terakhir. Gerak ini kita kenal sebagai "DIALEKTIKA". Dengan dialektika, selanjutnya kita dapat melihat dua elemen dalam masyarakat yang selalu berhadapan, yakni element establishment, dan elemen perubahan.

Elemen establishment adalah elemen yang menguasai thesa dan menjalankan suatu stelsel/sistem sebagai kelangsungan thesa (keadaan) tersebut. Elemen perubahan adalah elemen yang berada pada struktur antithesa. Apabila thesa pertama telah gugur karena munculnya antithesa, maka keadaan baru atau sinthesa akan dikuasai oleh elemen perubahan tersebut. Selanjutnya pada saat itu elemen perubahan menjadi elemen establishment. Demikianlah proses semacam ini berjalan terus sampai tercipta thesa terakhir yakni satu bentuk stelsel /sistem kemasyarakatan yang terakhir dan sempurna (dalam ajaran Marhaenisme, bentuk tersebut adalah Sosialisme Indonesia). 

Dari teori di atas dapat dianalisa keadaan masyarakat Indonesia. Ketika kolonialisme Belanda menguasai maka posisinya adalah sebagai establishment. Ia menguasai suatu thesa/keadaan (penjajahan) dan menjadi suatu stelsel/ sistem kapitalisme-kolonialisme.
Pada saat yang bersamaan , disitu telah terdapat pula elemen perubahan,- yakni masyarakat Indonesia yang tidak puas dengan keadaan. Semula kekuatan perubahan ini bersifat latent, setelah kekuatan ini berhasil diungkapkan - maka menjadi kekuatan riil untuk merubah keadaan. Cara pengungkapan kekuatan latent menjadi kekuatan riil itulah yang kemudian dirumuskan sebagai asa/teori perjuangan. Didalam buku MENCAPAI INDONESIA MERDEKA teori atau asas perjuangan disebutkan antara lain melipuit : self-help, self-relience, non kooperatip, machtvrming, massa aksi, revolusioner.
Setelah terjadi perubahan (kemerdekaan Indonesia) dan elemen perubahan berubah menjadi elemen establishment dan telah menguasai keadaan maka dibutuhkan teori-teori atau asas untuk menyusun sistem/stelsel kemasyarakatan. Dari hasil telaah yang mendalam ditemukan teori politik yang merupakan jawaban (antithesa) dari keadaan (thesa) yang ada.

Relevansi Marhaenisme.
Setelah kita tahu apa dan mengapa marhaenisme, maka masalahnya adalah penarikan relevansinya pada saat ini. Dengan kata lain, untuk apakah marhaenisme ?
Jawabannya adalah sangat sederhana "UNTUK BERJUANG". Namun demikian sekalipun ungkapan diatas adalah sangat sederhana, akan tetapi menerangkan masalah ini sebenarnya memerlukan uraian yang sangat panjang.

Konotasi "BERJUANG" adalah berarti memperjuangkan nasib rakyat. Lalu kita mencoba mengkaji dan menelaah masalah kekinian untuk kemudian mengambil sikap. Pertama, kita lihat bagaimana, dan bagaimana kesimpulannya. Kalau kesimpulan kita adalah "PENDERITAAN", maka masalah berikutnya adalah: mengapa mereka menderita?, apa penyebabnya?, dan sebagainya.

Selasa, 26 Mei 2020

Seminar Nasional “Jalan Trisakti Menuju Tatanan Mayarakat Pancasila”



Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Nasional Indonesia) akan melaksanakan Kongres di Jakarta. Sebelum itu Pengurus Daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat mengadakan kegiatan Pra Kongres dengan menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Jalan Trisakti Menuju Tatanan Masyarakat Pancasila” di Bandung. Aku diminta menjadi salah seorang narasumber. Pada tanggal 2 Agustus 2015, diselenggarakanlah seminar nasional itu di Hotel Homman, Bandung. Selain aku, ada alumni GMNI Bandung yang menjadi nara sumber, Prof. Caska dari Universitas Negeri Riau, Pekanbaru.

Lalu lintas di sekitar hotel  Savoy Homan sudah padat dengan kendaraan saat aku datang. Aku memasuki  halaman depan hotel, tapi tidak lagi tersedia tempat parkir. Aku keluar ke Jalan Asia Afrika, melintasi Gedung Merdeka, berbelok ke kiri melewati alun-alun Bandung, berbelok ke kiri lagi memasuki Jl. Dalem Kaum dan akhirnya sampai di bagian belakang hotel Homan.
Acara pembukaan seminar diisi dengan pidato-pidato. Pertama oleh Ketua PD PA GMNI Provinsi Jawa Barat, Abdi Yuhana.  Kemudian  oleh Sekjen PP PA GMNI, Ahmad Basarah.  Ada juga sambutan dari Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Pembukaan dilakukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ahmad Heryawan.  Acara pembukaan berakhir menjelang waktu zuhur, dilanjutkan dengan acara makan siang.

Saat makan siang, teh Rina Sabriena dan kang Pamriadi mengarahkanku ke VVIP room. Saat antri mengambil makanan a la prasmanan, aku menyilakan mas Hasto untuk mengambil terlebih dahulu, namun ia tidak mau. Maka akupun mendahuluinya. Di meja makan pertama sudah terisi para senior seperti  mas Suko Sudarso, mas Andi dll. Akupun mengisi meja makan berikutnya. Di situ duduk kang Ayi Vivananda, mas Hasto dan kang Aher. Sambil makan kami pun berbincang-bincang berbagai topik pembicaraan. 

Aku mendapat waktu pada sesi ketiga setelah topik kedaulatan politik (Dr. Andreas Hugo Pareira) dan kemandirian ekonomi (Prof. Caska). Makalahku berbicara mengenai kebudayaan yang berkepribadian yang dipandu oleh Rudita. Sebagai pembahas ada kang Eka Santosa. Meski begitu aku menyilakan kang Eka terlebih dahulu menyampaikan pokok-pokok pikirannya.  Barulah aku menyampaikan makalahku yang ditayangkan di layar. Makalahku berjudul “Memperkokoh Kepribadian Kebudayaan Nasional.”

Kumuat makalahku selengkapnya :

MEMPERKOKOH KEPRIBADIAN KEBUDAYAAN NASIONAL MENUJU TATANAN MASYARAKAT PANCASILA

Harjoko Sangganagara

(Disampaikan pada Seminar  Nasional  yang diselenggarakan Pengurus Pusat
PA GMNI  di Bandung 2 Agustus 2015)



Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggl 22 Juli 2015,  Universitas Kokhushikan di Tokyo, Jepang, menyelenggarakan sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Puti Guntur Soekarno bertajuk “Pancasila Bintang Penuntun”. Dalam pidato kebudayaannya Puti berkata bahwa meskipun Pancasila disepakati menjadi dasar Negara, seluruh sila-sila dan nilai-nilai Pancasila belum menjelma dalam sistem budaya bangsa. Selanjutnya Puti berkata  “Pancasila pasca Perubahan UUD 1945 ditempatkan terbatas, sebatas dasar Negara. Bagaimana prosedur dan proses pelaksanaannya di masyarakat, bangsa dan pemerintah, belum dirumuskan dalam praksis bernegara”. Pidato kebudayaan tersebut diadakan  dalam rangka pendirian Pusat Riset Soekarno yang diresmikan oleh Profesor Tokubumi Shibata, cicit dari pendiri universitas tersebut (Kompas, 23 Juli 2015).
Pada hari ini kita semua berada di Hotel Savoy Homan yang bersejarah ini untuk hal yang sama yaitu memperingati jasa-jasa Bung Karno dan melakukan pengkajian mengenai Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia dan sekaligus ideologi Negara. Jika sebuah universitas di Jepang  melakukan riset mengenai  Soekarno dan ajarannya yang paling berharga  yaitu Pancasila, itu tidak lain karena Pancasila adalah   suatu ide, suatu konsep, suatu teori, suatu ajaran, suatu pandangan hidup, suatu way of life, suatu falsafah, suatu philosophische grondslag, suatu Weltanschauung,  suatu mabda, suatu ideologi, suatu visi, suatu leidstar atau bintang penuntun, suatu cita-cita, suatu tatanan  bagi dunia, termasuk dunia akademik. 
Kenyataan bahwa Soekarno dan Pancasila diberi tempat berharga secara akademik dalam suatu pusat riset internasional, di Jepang, di Negara yang pernah menjajah negri ini,  rasanya cukup menjadi cambuk bagi kita untuk  lebih menghargai warisan budaya bangsa yang digali dari bumi Nusantara oleh putra terbaik bangsa yang seumur hidupnya mendedikasikan hidupnya untuk persatuan dan kesatuan serta kemajuan bangsa dan Negara. Siapakah putra terbaik bangsa itu ?  Tidak  lain dan tidak bukan, pastilah Soekarno, yang semua aspek kepribadiannya mengisi atmosfir kehidupan kita sampai-sampai tempat lahirnyapun menjadi bahan perdebatan di media. Hal itu terjadi karena Soekarno yang lebih suka dipanggil Bung Karno memang manusia besar bagi Indonesia. Bukan saja bagi Indonesia, tapi juga bagi Asia Afrika, bagi  Amerika Latin, bagi Gerakan Non Blok, bagi Negara-negara yang baru merdeka lepas dari kolonialisme, bagi Negara-negara yang tergabung dalam OKI, bagi the new emerging forces, bahkan bagi  seluruh dunia.
Agar Pancasila menjelma dalam sistem budaya dan menjadi tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat diperlukan  strategi  politik, ekonomi dan kebudayaan 1) untuk mewujudkannya.  Dalam memperingati hari kemerdekaan  pada tangal 17 Agustus 1963 Bung Karno menyampaikan pidato yang intinya menekankan keharusan untuk berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan 2), yang kita kenal sebagai Trisakti. Ajaran Bung Karno tersebut merupakan azimat dalam revolusi yang belum selesai, karena hanya Negara yang sakti politik, sakti ekonomi dan sakti budaya bisa menjelmakan ideologinya dalam dalam menata kehidupan kenegaraannya, menjalankan kebijakan politiknya serta menyelenggarakan program-programnya di seluruh aspek, bidang dan sektor kehidupannya dalam kerangka nation and character building.
Mengapa Bung Karno menekankan strateginya di bidang politik, ekonomi dan budaya tidak lain karena Bung Karno menyadari bahwa akibat penjajahan yang panjang dan silih berganti telah terjadi kerusakan material, mental dan moral pada bangsa Indonesia. Memperbaiki kerusakan mental dan moral jauh lebih sulit daripada memperbaiki kerusakan material , oleh karena itu diperlukan Trisakti. Bung Karno berkata bahwa hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan modern dan sejarah kebudayaan Indonesia barulah Trisakti dapat dipahami. 
Pandangan Bung Karno tersebut menunjukkan bahwa Negara yang kita cintai ini harus berjalan di atas  kesadaran  akan pentingnya ilmu pengetahuan dan sejarah akan kebudayaannya.  Kesadaran itu sejalan bagi manusia  pejuang dan pemikir karena manusia adalah rationale animal atau makhluk yang berpikir. Relevansinya semakin terasa, terlebih pada saat perkembangan zaman era millennia membawa kita pada era kesejagadan (globalisasi) yang penuh pertarungan pemikiran sesuai dengan era teknologi informasi di mana pengetahuan yang dikumpulkan nenek moyang kita dalam ratusan tahun kini mungkin dapat kita peroleh dalam sehari atau kurang, tergantung dari kecanggihan soft ware dan hard ware yang dimiliki.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur dari  unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti  teknologi, organisasi sosial, sistem kepercayaan, seni, bahasa,  dan sistem mata pencaharian yang dikenal dengan istilah cultural universal (Kluckchon). Ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas berkaitan dengan pemikiran  yang logis dan ilmiah tetapi  termasuk juga pengetahuan yang lebih intuitif  seperti yang dalam istilah kita disebut dengan cipta rasa dan karsa.
 Ilmu pengetahuan memiliki perkembangan sesuai fase dari perkembangan pemikiran atau kebudayaan yang menurut van Peursen terdiri dari tiga tahap yaitu tahap kesadaran mitis atau magis , fase kesadaran ontologis  dan fase fungsional  (Mangunwidjaja, 1995:250) 3).  Dalam era pasca modern, baik kesadaran mitis atau magis, kesadaran ontologis maupun fungsional saling melengkapi satu sama lain untuk menjaga keselarasan kehidupan, bukannya saling menafikan.
Dengan padangan seperti itu kita akan bisa melihat sejarah kebudayaan Indonesia secara utuh integral dan holistic karena sejarah kebudayaan kita pada hakikatnya memiliki periodisasi lapisan-lapisan yang meskipun memiliki karakteristik yang dapat dibedakan tetapi saling berkelindan yaitu masa  pra Hindu Budha yang lazimnya disebut pra sejarah (paleolithikum, mesolithikum, neolithikum), masa Hindu-Budha, masa Islam dan masa Barat yang disebut juga  masa modern. Setiap masa meninggalkan jejak di bidang teknologi, arsitektur, kesusastraan, politik, seni, keadaan sosial, perekonomian maupun agama. Ada yang samar-samar ada pula yang jelas nampak.   
Berikut ini  ringkasan perkembangan kebudayaan Indonesia  berdasarkan pendekatan shaf, istilah yang saya pinjam dari Bung Karno. Pendekatan yang nyaris serupa juga digunakan oleh beberapa ahli sejarah Indonesia meski dengan istilah yang berbeda.  Setiap shaf ada yang dibagi ke dalam periodisasi. Untuk  periodisasi  ini saya berterima kasih pada  John Micsic  yang membuat kronologi Sejarah Awal,  dan Anthony Reid yang membuat kronologi Sejarah Modern Awal (Indonesia Heritage Vol. 1 & 3 : 2012).
Pada shaf pra Hindu-Budha, yang dinamakan prasejarah akhir yaitu antara tahun 10.000 SM – 200 M nenek moyang kita sudah mengenal irigasi, menggunakan emas tanpa campuran, sudah berdagang dengan India, membuat arsitektur berupa punden berundak, melukis di gua  serta sudah memiliki prinsip kepemimpinan berdasarkan pada kecakapan seseorang. 
Shaf Hindu-Budha berlangsung lama sejak 200 M – 1500M atau sekitar tiga belas abad, yang dibagi dalam Proto Sejarah (200 M- 600 M), Klasik Awal (600 M – 900 M), Klasik Madya  (900 M – 1250 M) dan Klasik Akhir (1250 M – 1500 M).  
Peninggalan proto sejarah yang penting adalah  aksara tertua seperti terlihat pada maklumat kerajaan Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa Barat. Pada era ini pulalah masuknya aksara Palawa dan bahasa Sansekerta, adanya  stratifikasi sosial seperti golongan bangsawan dan rakyat biasa, mulai menyebarnya agama Hindu dan Budha serta dimulainya perdagagangan dengan Cina.
Pada masa klasik awal ada kemajuan dalam pembuatan perahu, dibangunnya candi Borobudur dan Prambanan, diterjemahkannya dua epos India yang terkenal yaitu Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa Jawa Kuno, persaingan dinasti Syailendra yang beragama Budha dengan dinasti Sanjaya yang beragama Hindu untuk berkuasa di Jawa dan Sumatra yang kemudian diselesaikan melalui perkawinan, dan dinasti Syailendra tetap berkuasa di Sriwijaya. Sriwijaya dan Mataram bersaing untuk menguasasi perdaganan maritim internasional di Asia Tenggara, sementara agama Hindu pemuja Siwa dan Wisnu serta Budha Mahayana mulai menguasasi kraton dan pelan-pelan meresap ke dalam kehidupan penduduk desa.
Masa klasik madya ditandai dengan dibangunnya candi-candi dari bata di Sumatra seiring perkembangan agama Budha esoteris di pulau itu dan Sriwijaya digantikan oleh kerajaan Melayu, menghilangnya kerajaan dari Jawa Tengah dan munculnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur, zaman keemasan kesusastraan keraton Kediri, birokrasi makin berkembang, organisasi militer mulai melembaga, kedudukan cendikiawan mulai meningkat, pemerintah semakin terlibat dalam urusan pengendalian air dan angkutan darat, banyak pelabuhan baru dikembangkan, pendatang Cina mulai mendirikan pemukiman, uang logam Cina menjadi mata uang penting dan perpajakan menjadi lebih rumit.
Pada masa klasik akhir, Singasari menyatukan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur bahkan meluas hingga mempunyai kekuasaan atas kerajaan Melayu di Sumatra. Singasari diganti oleh Majapahit yang menjadi kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia kuno. Pembuatan kertas dimulai, keris menjadi senjata dan lambang penting. Banyak yang bermata pencarian hidup dengan menjual jasa untuk mendapat imbalan uang. Pelabuhan di pantai utara Jawa dan timur Sumatra menjadi sangat makmur karena pengalihan ke India dan Asia Tenggara saat Cina menutup diri pada tahun 1368.
Shaf Islam berlangsung sejak 1300 M- 1600 M. Masa Islam awal menurut Micsic   ditandai dengan penggunaan senjata api yang mungkin berasal dari Asia Barat Daya. Majapahit yang sering mengirim utusan ke Cina, juga ke Jepang dan Korea mulai mengalami kemunduran kemudian menghilang sekitar tahun 1527 (atau tahun 1478 menurut Reid dan 1402 menurut Raffles). Kerajaan-kerajaan baru seperti Demak, Banten dan Cirebon muncul di pantai utara Jawa. Sultan Hasanuddin membangun Banten sebagai pelabuhan lada dan menaklukkan Pajajaran. Sunan Gunung Jati menaklukkan Batavia dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Kerajaan Mataram di pedalaman meneguhkan kembali keunggulannya. Melaka muncul sebagai saingan Pasai yang dipimpin oleh seorang Ratu. Kerajaan Goa berkembang karena posisi strategisnya pada jalur perdagangan rempah-rempah.
Monumen yang awet adalah masjid, gugus kubur dan keraton seperti nampak pada keraton Cirebon dan Yogyakarta. Sastra Islam tertua berasal dari abad ke-16 berisi renungan filosofis hubungan manusia dan Tuhan yang meskipun berorientasi mistik tapi tidak bersifat heterodoks, dalam arti mempertahankan konsep dualisme. Larangan Islam terhadap pembuatan patung makhluk hidup semakin ditaati. Urbanisasi berkembang pesat sama dengan di Eropa. Perdagangan berkembang, tenaga kerja sulit di dapat dan mahal, penduduk desa bisa berpindah untuk mencari tanah baru, hubungan Gusti-kawula berdasarkan hutang piutang menjadi ciri dasar yang dipengaruhi Eropa. Agama Islam berkembang perlahan secara damai, proses penyebarannya memunculkan varian-varian baru yang memasukkan kepercayaan pra-islam dalam kesatuan manusia dan Tuhan.
Shaf Barat atau Modern, dimulai sekitar 1600 M. Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque mulai  menaklukkan Melaka dan membeli rempah-rempah di Maluku . Ekspedisi Belanda di bawah Cornelis de Houtman berdagang di Banten. Inggris membangun benteng di Banten. VOC dibentuk di Amsterdam dengan menjual hak untuk mengirim kapal Belanda ke Timur dan sejak itulah riwayat penjajahan Belanda di Indonesia dimulai. Politik pecah belah dimulai. Perjanjian Gianti membagi Mataram menjadi dua :  Mangkubumi menjadi sultan Yogyakarta dan Pakubuwana sebagai susuhunan Surakarta. Marsekal Daendels menguasasi Jawa untuk Napoleon, dilanjutkan oleh Raffles sebagai Gubernur untuk Inggris. Gubernur Jendral Bosch meresmikan culturrstelsel yang sangat menguntungkan Belanda dan menyengsarakan rakyat khususnya petani.  Perlawanan muncul dimulai dengan Patttimura di Saparua, di Jawa di bawah pimpinan P. Diponegoro, di Sumatra di bawah P. Imam Bonjol , di Sulawesi Selatan di bawah Ratu Bone We Pancaitana, dan di Bali berupa “puputan” yang menandai akhir kerajaan-kerajaan di  Lombok dan Bali.  Dari tahun 1896-1909 terjadi penaklukan Nusantara secara sistematik oleh Belanda.
Sejarah kebudayaan Indonesia menunjukkan pasang surut perkembangan yang bermuara pada adanya kesadaran nasional yang embrionya dimulai pada kebangkitan kesadaran nasional pada tahun 1908, kesepakatan agung untuk bersatu dalam Indonesia pada tahun 1928 dan puncaknya adalah pada proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menandai dimulainya revolusi nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.
Putra bangsa yang tercerahkan mendarmabaktikan semua potensi dirinya untuk membangun suatu Indonesia yang berperadaban maju melalui jalan politik dengan mengorganisir rakyat untuk menjadi manusia merdeka yang memiliki harga diri, melalui jalan ekonomi dengan menyelenggarakan perekonomian yang menguntungkan kaum Marhaen dan jalan kebudayaan dengan  mengerahkan daya cipta rasa dan karsanya untuk menunjukkan jati diri nya di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Diskursus kebudayaan Indonesia kaya dengan dialektika.  Barat berhadapan dengan Timur, sosialisme berhadapan dengan kapitalisme, paham agama berhadapan dengan sekulerisme, realisme sosialis berhadapan dengan humanisme universal, pribumi berhadapan dengan asing, lokal berhadapan dengan global, keseragaman berhadapan dengan keberagaman,   oldefos berhadapan dengan nefos. Ada sintesa, namun ada pula pergumulan yang belum berakhir. Kebudayaan Indonesia hidup dalam dinamika. Semua itu sesungguhnya membentuk, mengembangkan dan memperkuat kebudayaan.
 Sebagai  sebuah gagasan, Pancasila adalah wujud kebudayaan Indonesia yang  sempurna. Untuk mewujudkannya dalam perilaku diperlukan pembiasaan (habituasi) pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Canangan pemerintah untuk menghidupkan budi pekerti di sekolah merupakan langkah yang baik. Selain di sekolah, pembiasaan perlu diperluas hingga keluarga dan masyarakat. Revolusi mental harus dijalankan. Bukan hanya kerja dan disiplin yang diperlukan tapi yang tidak kalah penting adalah kebutuhan “menciptakan pikiran-pikiran dan konsepsi-konsepsi baru”.  Kita harus berjuang secara sistemik menentang “imperialisme kebudayaan” dan Pemerintah harus melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan Nasional. Dengan demikian diharapkan kepribadian kebudayaan nasional semakin kokoh dan tatanan masyarakat Pancasila terwujud.




Catatan kaki :

1)  Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah  (buddhi : budi, akal); bahasa Inggris culture yang berasal dari bahasa Latin colere : mengolah tanah. Wujud kebudayaan adalah komplek gagasan-gagasan, komplek aktivitas dan wujud benda (artifak).
2)  Agar tidak kehilangan kepribadian dalam kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan Asas Tri-kon : “kontinuitet, konvergensi, konsentrisitet”. Kontinuitet berarti bahwa kebudayaan harus merupakan kelanjutan dari masa silam bukan ulangan atau tiruan dari bangsa lain. Konvergensi berarti menghindari hidup menyendiri (isolasi) dan menuju ke arah pertemuan dengan bangsa-bangsa lain. Konsentrisitet berarti sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain kita  tidak boleh kehilangan kepribadian, meskipun sudah menyatu dalam lingkaran konsentris itu kita tetap memiliki sirkel (lingkaran) sendiri (1962:228).
3) a. Fase kesadaran mitis atau magis, kapan manusia memandang diri serta semesta ada dan segala kejadian selaku partisipasi atau pewayangan dari dunia adikodrati (gaib) yang menjadi sumber segala realita yang terjumpa, dan yang diikhtiarkan hadir lewat narasi mitos-mitos atau dongeng-dongeng tentang hakekat serta proses berjalannya semesta ada serta kehidupan manusia. b. Fase kesadaran ontologis dialami, ketika manusia melihat segara ada secara rasional, tidak begitu saja suatu wayang dari dunia gaib, tetapi otonom berdiri dan dikerjakan sendiri tanpa intervensi langsung dari dunia mitologi. c. Fase kesadaran fungsional, kapan manusia melihat yang ada ini tidak hanya ada, tetapi agar digunakan, dimanfaatkan, dinikmati, dicipta-rancang, sampai dimanipulasi segala, terserah kedaulatan maunya manusia.














Daftar Pustaka



Dewantara, Ki Hadjar. (1962). Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta : Percetakan Taman Siswa.

Departemen Penerangan RI. (1961). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Percetakan Negara & Departemen Penerangan.

Mangunwijaya, Y.B. (1985). 50 Tahun Merdeka Beberapa
Sumbangan Pemikiran Dari Sudut Budaya  dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhanas. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Miksic, John. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 1 Sejarah Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.

Reid, Anthony. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 3 Sejarah Modern Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.




RIWAYAT HIDUP 


Harjoko Sangganagara,  Doktor Administrasi Pendidikan  dari  Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Saat ini  menjabat sebagai Pembantu Ketua I Bidang Akademik pada STIA Bagasasi Bandung dan pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis.
Pengalaman dalam pemerintahan : sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung pada periode 1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode 1999-2004 dan 2004-2009 .
Pengalaman internasional : pemrakarsa World Peace Exhibition tahun 1985 di Bandung, peserta Kongres Pendidikan dan Profesi Pekerjaan Sosial Asia Pasifik  (APASWE) tahun 1987 di Jakarta , visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan China Expo tahun 2006 serta Kongres HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali tahun 2009.
Saat ini menjadi pengurus daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat sebagai Wakil Ketua Bidang Ideologi  dan   sebagai guru kader PDI Perjuangan.




Selasa, 19 Mei 2020

Simposium Nasional Pancasila

 

 


 

8 Juni 2018.
Usai subuh aku mengendarai Taruna keluar dari rumah menuju Stasiun Hall utara. Kuparkir mobil dan langsung bergegas. Kang Abdy sudah menunggu. Setelah check ini, kami berdua memasuki peron dan langsung menuju kereta api Argo Gede jurusan Jakarta yang telah menunggu di jalur. Kamipun menaiki KA yang berangkat di pagi itu ke Jakarta melewati lembah bukit hutan kebun sawah sungai dan jurang. Tamasya yang indah.

Tiba di Stasiun Gambir sekitar pukul 08.00 kami segera menaiki taksi ke Jl. Cikini Raya menuju Kantor DPP Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Setelah sarapan pagi, bung Ahmad Basarah membuka Simposium Nasional Pancasila. Pesertanya para alumni dari seluruh pengurus tingkat provinsi di Indonesia.

Setelah upacara pembukaan, peserta dibagi ke dalam beberapa ruang seminar tergantung topiknya. Aku dan kang Abdy berpisah. Aku mengikuti seminar dengan topik Pancasila dan Globalisasi. Akupun menyampaikan makalah yang sudah kupersiapkan dari Bandung. Ada beberapa peserta lain menyampaikan makalah kemudian didiskusikan dan disimpulkan.

Menjelang ashar, semua kelompok peserta berkumpul di aula untuk menyampaikan laporan dan kemudian kesimpulan seminar dirumuskan bersama. Bung Basarah sudah meninggalkan tempat karena harus terbang ke Singapura menengok Bang Taufik Kiemas yang sedang dirawat karena sakit jantungnya.

Penutupan seminar direncanakan pada malam hari dan sebelum pulang
 panitia memberiku sertifikat dan kenangan-kenangan berupa buku Dibawah Bendera Revolusi cetakan terbaru yang diterbitkan Yayasan  Sukarno.

Dari tempat seminar, aku  bung Abdy dan Prof Nanang keluar menuju jalan raya. Hujan gerimis turun dan kami berlari kecil menuju sebuah depot makan untuk memesan mie goreng. Kamipun menikmati mie sambil ngobrol. Prof Nanang masih tinggal untuk mengikuti resepsi nanti malam. Aku dan bung Abdy segera ke Stasiun Gambir.

Kami naik bajaj ke Stasiun Gambir dan langsung check in, memasuki peron dan menaiki eskalator. Sampai di atas, kereta menuju Bandung sudah menunggu. Bung Abdy mendapat pesan dari bung Basarah melalui SMS bahwa Bang Taufik Kiemas meninggal dunia di Singapura dan dibawa ke Jakarta sore itu juga. Sayang kereta sudah bergerak menuju Bandung. Kami tidak bisa melihat jenazah.

Esok harinya Bang TK dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Bung Abdy berangkat lagi ke Jakarta mengantarkan jenazah ke peristirahatannya yang terakhir. Semoga Bang TK berbahagia di alam baqa.

Lampiran :





REAKTUALISASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM ARUS GLOBALISASI ERA PASIFIK
(TINJAUAN POLITIK)


Dr. H. Harjoko Sangganagara M.Pd.
Ketua I STIA Bagasasi Bandung  

(Disampaikan pada Seminar Pancasila dan Globalisasi   yang diselenggarakan DPC GMNI Bandung
di Gedung Indonesia Menggugat 16  Juni 2017)


A.    Pendahuluan
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb  (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
            Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
            Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
            Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.
             
B.     Pancasila di Tengah Globalisasi
1. Globalisasi
            McLuhan  merupakan seorang pemikir komunikasi yang pada tahun 1964 melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
            Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya. “Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney”.
Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh  Naisbitt (Tilaar, 2001)             disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996 yang menyatakan bahwa:
     “Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.
            Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia  Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).

2. Membangun Dunia Kembali
            Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Jauh sebelumnya Bung Karno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan “ Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga  berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan  harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia  berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Bung Karno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an  (S. 49: 13):
    “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan  bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.

Tahun 1960-an ketika Bung karno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Bung Karno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Bung Karno adalah Pancasila.
            Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
            Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme  bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
            Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
            Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.
            Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
            Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
            Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
Pancasila yang dipidatokan Bung Karno dimaksudkan sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis. Bung Karno menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels serta pertentangan di antara kedua gagasan tersebut yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.

3. Dimensi Moral, Ideologis dan  Sejarah   dalam Pancasila
a.      Dimensi Moral
            Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat  dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai–nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
            Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan,  1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.

Otonomi moral
Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah  hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (“assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (“he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (“a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (“that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (“that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut  Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang  mengharuskan manusia   dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia  selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya  kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di  bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani,  secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai “ an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang  muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa  hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader  dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra  (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004:   23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki  hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi  hati yang rindu pada Kebenaran  (Dahlan,1993:55).

b.      Dimensi Ideologis
            Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of  ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya   (Wahana 1993:86).

Epistemologi Ideologi
Untuk memahami perkembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung  (the enlightenment)  yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme.  Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi  muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti  pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.
Ideologi-ideologi cenderung untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mendasar seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada sisi lain ideologi mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata dunia, masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan pemikiran-pemikiran ideologikal seperti nampak pada facisme dan nasional-sosialisme (Nazi). Suasana seperti itulah yang menciptakan iklim yang menegangkan sehingga memicu terjadinya Perang Dunia I dan II .
Perkembangan ideologi seperti itulah yang membuat nasionalisme atau faham kebangsaan dicurigai di Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta dan the founding fathers lainnya harus bersusah payah menjelaskan dan mengembangkan nasionalisme. Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham keagamaan. Dialektika antara kedua faham itu dapat ditelusuri dari perdebatan Bung Karno dengan Hasan (Persis), Bung Karno dengan Agus Salim dan Bung Karno dengan Natsir. Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi nasionalisme, keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu dalam  common platform Pancasila, akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan pada tataran pemikiran ideologik sudah berhenti.

c.       Dimensi sejarah
Penanaman jiwa kebangsaan perlu dimulai dengan memahami arti kemerdekaan Indonesia sebagai suatu revolusi nasional. Revolusi adalah “ eine Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan dari tata nilai yang lapuk untuk diganti dengan yang baru dan “Umgestatltung von grundaus”  (suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah imperialisme dan kolonialisme. Kita mengenl banyak revolusi di dunia ini, contohnya adalah  revolusi kemerdekaan Amerika (1776), revolusi kaum menengah di Perancis (1789), Revolusi proletar di Rusia (1905-1917), Revolusi Turki Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok (1911) dan Revolusi Islam di Iran. Terakhir dunia menyaksikan revolusi sosial di Negara-negara Amerika Latin dan revolusi demokrasi di Mesir dan dunia Arab.
Revolusi Indonesia di tahun 1945 yang dikenal sebagai revolusi nasional memiliki  tiga segi kerangka tujuan :  di bidang politik, suatu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Di bidang sosial, suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adil dan makmur badaniyah dan rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis Indonesia. Di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih dari imperialisme dan kolonialisme.

4. Kebangsaan
            Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.

Perkembangan Nasionalisme
            Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.
            Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk  mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.
            Langkah awal pembentukan bangsa dimulai dari pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan untuk menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada ketika itu.
            Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states) awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
            Ketika negara-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
            Di abad pertengahan national-building boleh dikata tidak ada.       Kekuasaan politik di tangan kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal. Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
            Trauma terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan  memunculkan kesadaran untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.
            Munculnya negara bangsa yang baru merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada pandangan Bung Karno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Isak, ed. 2001:160). Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah banyak negara-negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara-negara tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.

a.                  Penanaman Jiwa Kebangsaan 
            Penanaman jiwa nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek moral dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan terwujudnya pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala tantangannya di era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut mampu memperkuat daya kognitif, afektif dan konatif. Dengan demikian diharapkan didapat pengetahuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yang tampak dalam pola pikir, sikap maupun tindakan.
            Pembinaan nasionalisme dapat menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial kemasyarakatan, pers dan media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi, serta jalan yang tidak melembaga seperti pergaulan sehari-hari, tempat rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum (Kansil, 1986:228). Pada organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan biasanya berbentuk kaderisasi.
            Menurut Sulaeman (1998), kaderisasi mengandung pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur kaderisasi, sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and values.
            Di dalam partai, kaderisasi memerlukan pendekatan andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat dikatagorikan sebagai manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari perpaduan dua akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan cara membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar teori pendidikan dari Plato (Widada, 2002: 1).
            Andragogi dapat dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan proses belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar dewasa. Sedangkan sebagai sistem,  andragogi sebagaimana paedagogi, memiliki komponen sistem yang lengkap seperti tujuan, kurikulum, guru, murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi pada umumnya berwujud dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi andragogi pada umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing, up grading dan sebagainya.

b.      Pembentukan karakter
Kebudayaan  dapat  mempengaruhi karakter. Menurut Spranger (Sujanto, Lubis, Hadi, 1984:45), kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam kehidupan jiwanya, jiwa subyektif yaitu jiwa tiap-tiap orang dan jiwa obyektif yaitu nilai-nilai kebudayaan yang berpengaruh pada jiwa subyektif.  Manusia dapat dibedakan atas enam nilai kebudayaan, yaitu Ekonomi, Politik, Sosial, Ilmu pengetahuan, Kesenian dan Agama. Pengaruh dari enam nilai kebudayaan menghasilkan enam tipe manusia : manusia ekonomi (senang bekerja, senang mengumpulkan harta, agak kikir, bangga dengan hartanya), manusia politik (ingin berkuasa, tidak ingin kaya, berusaha menguasai orang lain, kurang mencintai kebenaran), manusia sosial (senang berkorban, senang mengabdi kepada Tuhan, mencintai masyarakat, pandai bergaul); manusia pengetahuan (senang membaca, gemar berfikir dan belajar, tidak ingin kaya, ingin serba tahu); manusia seni (hidup bersahaja, senang menikmati keindahan, gemar mencipta, mudah bergaul dengan siapa saja); manusia agama (hidupnya hanya untuk Tuhan dan akhirat, senang memuja, kurang senang harta, senang menolong orang lain) .
Karakter dipengaruhi oleh faktor jasmaniah dan faktor rohaniyah. Faktor jasmaniah mempengaruhi karakter dan karakter mengekspresikan diri dalam tingkah laku jasmaniah (Sujanto dkk., 1984:19). Karena karakter dipengaruhi faktor-faktor rohaniyah, jasmaniah dan lingkungan maka karakter berkaitan dengan agama, budaya, nilai-nilai tradisi, hukum serta ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pembentukan karakter.
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya seperti itu oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan  karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness).
Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa. Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno  (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan  dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”

c.       Pembentukan Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is often disputed”) bahkan  Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis  bagi agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of national identity in the advanced welfare states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of Americans say our culture and values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS.  Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
  Di Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Bung Karno ketika mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional). Mukti Ali (1971) mengaitkan  dengan etika agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya.
Pembinaan kepribadian yang bertumpu pada penanaman jiwa kebangsaan dapat dirujuk pada prinsip Panca Dharma dari Ki Hajar Dewantara (1957), yakni kemanusiaan, kodrat hidup, kebangsaan, kebudayaan, dan kemerdekaan/kebebasan (Bahrun, 1994:138).
Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional  tentu sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi. Salah satu sarana untuk melakukan pembiasaan adalah dalam proses interaksi manusia.

C.    SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.      Simpulan
a.       Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
b.      Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal tetapi juga kelompok nasionalis, yang memiliki keprihatinan yang sama.
c.       Imperialisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
d.      Indonesia menolak dikotomi Blok Timur dan Blok Barat dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengajukan konsepsi  Pancasila yang berdimensi moral, ideologis dan sejarah.
e.       Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.


2.      Rekomendasi
a.       Untuk mengatasi persoalan globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional  diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi.   Bangsa harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi. Pemberdayaan  perlu dilakukan untuk  menjadikan warga Negara  sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos).
b.      Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil harus bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dan berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan  harus memberikan sumbangannya.
c.       Indonesia harus  berusaha sungguh-sungguh membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh.
d.      Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional  sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai  Pancasila tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi.
e.       Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif diperlukan agar penanaman kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam rangka menghadapi globalisasi.






DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. (2001). Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams. Jakarta: Gunung Agung.
Ali, Abdullah Yusuf. (1994). The Holy Qur-an Text and Translation. Kuala Lumpur : Islamic Book Trust.
Ali, Mukti. (1971). Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam. Yogyakarta: Yayasan Nida.
Allport, Gordon W. (1937). Personality: A Psychological Interpretation. New York : Holt.
Badiklatpus. (2002). Materi Pengajaran Guru Kader. Jakarta: Badiklatpus.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bayer, Patricia, et al (ed.). (2004 ). The Encyclopedia Americana International Edition. Danbury, Connecticut: Grolier.
Bachrun. (1994). Pola Pendidikan Moral di Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung:  tidak diterbitkan .
Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Chazan, Barry. (1985) Contemporary Approaches to Moral Education. New York: Teachers College Press.
Departemen Penerangan RI. (1964). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan.
Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. (2007). Buletin Litbang Hankam. [Online]. Tersedia :buletinlitbang,dephan.go.id/index.asp. [23 Januari 2008]
Dewantara, Ki Hajar. (1967). Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa
Djahiri, A.Kosasih. (1990). Menuju Guru Inkuiri Yang Reaktif. Bandung : Laboratorium Pengajaran PMP UPI.
Durkheim, Emile. (1956). Education and Sociology. -- : The Free Press.
Driyarkara, N. (1959). Pancasila dan Religi dalam Seminar Pancasila ke-1. Jakarta: Panitia Seminar Pancasila.
Eatwell, Roger dan Wright, Anthony (ed.). (2004). Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Fukuyama, Frances. (......). The Great Disruption.
Hatta, Mohammad. (1981). Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hawwa, Sa’id. (2004). Mensucikan Jiwa  Intisari Ihya’ Ullumuddin al Ghazali Konsep Tajkiyatun Nafs. Jakarta : Rabbani Press..
Huntington, Samuel P. (1999). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.
Ishak, Joesoef (ed.). (2001). 100 Tahun Bung Karno. Jakarta : Hasta Mitra.
Kagan, Jerome. (1971). Personality Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kartono, Kartini. (1980). Teori Kepribadian. Bandung : Alumni.
Kohlberg, L. (1984). Essay in Moral Development, The Psychology of Moral Development Vol. 2. New York: Harper & Crow.
Kohlberg, Laurence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta : Kanisius.
Mas’oed, Mohtar. (2004). Etnisitas & Politik dalam Seminar  di Sinology Center, UMY
Moodod, Tariq. (1990). Islam and Racism : Does Islam Have Something to Teach  the West. [Online]. atheisme.about.com/b/a/266255.html.  (23 Januari 2008)
NPR. (2007). Exploring America’s National Identity. [Online]. Tersedia :  www. npr.org/templates/story.php. [23 Januari 2008].
Pranarka, A.W.M. (1987). Epistemologi Dasar. Jakarta : Yayasan Proklamasi dan CSIS.
Quthb, Muhammad. (1998). Sistem Pendidikan Islam. Bandung : PT Alma' arif.
Rendra. (2000). Rakyat Belum Merdeka Sebuah Paradigma Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus
Rex, John. (1996). Contemporary Nationalism, Its Causes and Caonsequences for Europe. [Online]. Tersedia : www.socresonline.org.uk/1/4/rex.html   [23 Januari 2008]
Rogers, Dorothy. (1982). Life-Span Human Development. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rosyada, Dede. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media dan ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Soekarno. (2000). Membangun Dunia  Baru ( To Build The World Anew).Pidato di Muka Sidang Umum PBB ke XV. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soekarno. (2001). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta : PT Toko Buku Gunung Agung Tbk.
Sujanto, Agus et. Al. (ed). (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta : Aksara Baru.
Suprijanto, H. (2007). Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Sutoro, R. (….). Hand out Seminar Pancasila 1957 .
Stiglitz, Joseph. (2002). Globalization and Its Discontents.    London: Penguin Books.
Tabb, William K. (2003). Tabir Politik Globalisasi. Yogyakarta : Lafadl.
Tilaar, H.A.R. (1997). Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo.
---. (2007). Profil Ulil Abshar-Abdalla. [Online]. Tersedia : Freedominstute.org/id/index.php. [23 Januari 2008].



Surat Kabar

Kompas (4 Agustus 2005; 5 Agustus 2005; 6 Agustus 2005; 21 September 2005;  25 September 2005; 1 Maret 2007; 12 April 2007)
Pikiran Rakyat ( 8 Januari 2003; 28 Februari 2005; 12 Juli 2005; 12 November 2006; 16 November 2006; 27 Januari 2007)
Sunday, The Jakarta Post, 27 January 2008





                                                                                RIWAYAT HIDUP


Dr H. Harjoko Sangganagara, M.Pd., lahir di Ngawi pada tanggal 17 Oktober 1959,  Sarjana dari  Fakultas Ilmu  Sosial  dan Ilmu Politik Universitas Pasundan, memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pendidikan Umum dan gelar Doktor pada Program Administrasi Pendidikan  pada   Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Saat ini  menjabat sebagai Ketua  STIA Bagasasi Bandung.
Pengalaman dalam pemerintahan dimulai dengan menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung pada periode 1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode 1999-2004 dan 2004-2009 .
Pengalaman internasional antara lain sebagai chairman World Peace Exhibition tahun 1985 di Bandung, peserta kongres pendidikan dan profesi pekerjaan social Asia Pasifik di Jakarta (APASWE) tahun 1987, visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan China Expo tahun 2006 serta kongres HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali tahun 2009.
Kumpulan tulisannya diterbitkan pada tahun 1987 dengan judul “Kebersamaan-Dialog-Demokrasi”. Saat ini menulis berbagai artikel mengenai masalah pembangunan di beberapa surat kabar lokal maupun nasional (Kompas, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kontan, Daily Investor, Koran Jakarta, Suara Pembaruan dan Jurnal Indonesia).
Saat ini menjadi Pengurus Provinsi Jawa Barat dan Dewan Pakar  PA GMNI dan guru kader PDI Perjuangan.