Senin, 28 Februari 2022

Menjadi Ketua Partai Politik

 


Jika tanggal 4 Juli di AS diperingati sebagai hari kemerdekaan (independence day) dan di Indonesia diperingati sebagai hari lahirnya PNI (Partai Nasional Indonesia). Bagi saya dan kawan kawan tanggal tanggal 14 Juli juga perlu dikenang karena pada 14 Juli 2019 kami memulai babak baru dalam kehidupan kepartaian, khususnya di Kabupaten Bandung.

Pada hari itu, Sabtu, 14 Juli 2019, mulai pukul 09.00, PDI Perjuangan Kabupaten Bandung melaksanaan Konferensi Cabang (Konfercab) di Hotel Horison. Sidang Konfercab dipimpin oleh Andreas Hugo Pareira dari DPP; Ketut Sustiawan, Abdy Yuhana dan Yadi Srimulyadi dari DPD Jawa Barat. Acara sidang adalah penyampaian Laporan Pertanggungjawaban dari Wewen Winarni (Ketua), Deky Hisyanto (Sekretaris), Nanang Farhan (Bendahara) dan pengurus DPC lainnya. Setelah LPJ diterima oleh para peserta Konfercab (yaitu para KSB PAC), acara dilanjutkan dengan pembacaan Rekomendasi DPP megenai nama-nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara DPC PDI Perjuangan untuk periode 2019-2024.

Surat Rekomendasi DPP dibacakan oleh Andreas Hugo Pareira, salah seorang Ketua DPP. Dalam surat itu dinyatakan bahwa Dr. H. Harjoko Sangganagara M.Pd sebagai Ketua, Henhen Asep Suhendar sebagai Sekretaris dan Dentarsa Denni SE, sebagai Bendahara (KSB). Surat rekomendasi ditandatangani oleh Megawati Sukarnoputri selaku Ketua Umum dan Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jendral. Bagi saya pribadi ini adalah untuk kedua kalinya saya ditunjuk oleh Megawati menjadi pengurus partai. Surat pertama adalah penunjukan saya oleh beliau pada tahun 1997. Saat itu Sekjennya adalah Alexander Litaay. Jarak surat pertama dengan surat yang kedua adalah 22 tahun 🙂

KSB bersama tiga orang formatur (Ketua PAC Katapang, Ketua PAC Pamengpeuk dan Ketua PAC Nagrek) menyusun kepengurusan DPC secara lengkap yang akan dilantik pada saat itu juga.

Susunan Pengurus

Saat menyusun komposisi personal KIM (Kabinet Indonesia Maju), saya dengar Presiden Jokowi harus memilih sekitar 30 dari 300 orang yang telah didaftar. Memang tidak mudah. Saya saja membentuk struktur kepengurusan partai di tingkat kabupaten juga memerlukan musyawarah panjang untuk mufakat.

Sabtu, 14 Juli 2019, sekitar pukul 14. 00, bertempat di lantai 1 Hotel Horison Bandung, KSB (Ketua Sekretaris Bendahara) disertai tiga perwakilan Ketua PAC (Pengurus Anak Cabang) dari Katapang (Erwin) , Pamengpeuk (Dian) dan Nagrek (Asep ) menjadi formatur penyusunan DPC (Dewan Pengurus Cabang) PDI Perjuangan Kabupaten Bandung. Dari puluhan nama yang sudah disiapkan sekretaris dan para ketua PAC kami memilih 16 orang sebagai wakil ketua, wakil sekretaris dan wakil bendahara. Setelah bermusyawarah sekitar dua jam disaksikan oleh perwakilan DPP dan DPD, kami dapat menyepakati susunan DPC sebagai berikut :

Ketua : Harjoko Sangganagara 

Wakabid Kehormatan Partai : Wewen Winarni

Wakabid Kaderisasi dan Ideologi : Fatimah

Wakabid Organisasi : Achmad Mulyana

Wakabid Pemenangan Pemilu : Rudita Hartono

Wakabid Komunikasi Politik : Chrysencia Gita

Wakabid Polhukam : Nanang Parhan

Wakabid Maritim: Asep Muhammad

Wakabid Pembagunan Manusia dan Kebudayaan : Andri Kusnandar

Wakabid Ekonomi : Arief Gustamara

Wakabid Buruh Tani dan Nelayan : Agung Wisnu Umbara

Wakabid Perempuan dan Anak : Sri Wahyuni

Wakabid Pemuda dan Olahraga : Erwin Gunawan

Wakabid Pariwisata dan Ekonomi Kreatif : Juwita

Sekretaris : Hen Hen Asep Suhendar

Wakil Sekretaris Internal : A. Dwi Kuswantoro

Wakil Sekretaris Eksternal : Yulianti

Bendahara : Dentarsa Denni

Wakil Bendahara : M.Luthfi Hafiyyan

 

Susunan pengurus DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung ini dilantik oleh Bung Andreas Pareira pada hari itu juga disaksikan oleh DPD, PAC dan PR PDI Perjuangan. 

Susunan pengurus berjumlah 19 orang ini juga sudah ditetapkan melalui SK DPP PDI Perjuangan yang ditandatangani oleh Megawati Sukarnoputri / Ketua Umum dan Hasto Kristiyanto / Sekretaris Jenderal.

 

Kamis, 24 Februari 2022

Opa dan Oma

Setelah lebih dari tiga puluh tahun menikah, anak-anak kami mulai berumah tangga. Mbak Dea menikah dengan mas Sandy, orang Malang. Mas Sidiq menikah dengan Mbak Sherenita orang Jakarta, ayahnya orang Batak dan ibunya orang Jawa dari Pekalongan. Tinggal dik Praja, si bungsu, yang masih belum menikah. Aku sering mengatakan kepadanya, kalau mau menikah kami mendukung, tapi dia mengatakan belum ingin menikah dalam waktu dekat ini.

Tidak lama kemudian kami pun memiliki dua cucu perempuan yang cantik. Cucu yang pertama bernama Shasmaka, putri dari mas Sidiq dan mbak Sherenita. Yang kedua bernama Kanaya, putri dari mbak Dea dan mas Sandy. Shasmaka lahir di Jakarta dan Kanaya lahir di Yogyakarta. Dengan demikian aku menjadi seorang kakek dan Atikah, istriku, menjadi seorang nenek. Cucu-cucu kami memanggil aku Opa dan memanggil istriku Oma. Panggilan Opa Oma ini muncul dari keluarga istriku. Maklum keluarga istriku keluarga yang multi etnis bahkan multi bangsa  dan multi agama. Sebutan opa oma lebih bisa diterima oleh semua.

Bertemu Shasmaka


 

Beberapa bulan setelah mbak Dea melahirkan Kanaya, istriku berangkat ke Yogyakarta untuk waktu yang cukup lama. Kebetulan itu di bulan Ramadan. Jadi istriku sekaligus berlebaran di Yogyakarta. Untungnya mas Sidiq dan mbak Sherenta berlebaran ke Bandung. Itulah pertama kali aku bertemu dengan cucuku Shasmaka. Adapun istri dan anak bungsuku sudah bertemu dengan Shasmaka saat baru saja dilahirkan di Rumah Sakit.

Selama kami menikah, baru kali ini aku melewati hari Lebaran tanpa istriku di rumah. Karena itu kami sebisa-bisa memasak sendiri hidangan untuk lebaran. Untungnya bahan-bahan sudah disiapkan oleh istriku dan sebagian sudah diolah oleh teh Dedeh, yang sehari-hari membantu di rumah. Aku, mas Sidiq, dik Praja dan mbak Sherenita membuat ketupat, memasak opor ayam, dan membuat sambal goreng kentang. Hasilnya tidaklah mengecewakan.

Pada Hari Lebaran, kami pergi tanah lapang di salah satu kantor perhubungan laut milik Dinas Perhubungan Provinsi Jabar di Jalan Nasional yang menghubungkan Bandung dengan Sumedang. Jaraknya beberapa kilometer dari rumah. Kami menggunakan mobil milik keluarga mbak Sherenita. Shasmaka pun ikut bersama kami. Gadis kecil ini pun memakai baju lebaran yang indah dan kepalanya dihias dengan bando berpita.

Setiba di tanah lapang yang beraspal (tepatnya parkiran), kami menggelar sajadah dan ikut bertakbir  tasbih, tahmid dan tahlil bersama jamaah lainnya dari wilayah Cileunyi.  Setelah salat Id dua rakaat secara berjamaan kami mendengarkan khutbah Id dari khatib setempat. Setelah itu kami bersalam-salaman. Sebelum pulang kami berfoto bersama di tanah lapang.

Setiba di rumah kami menikmati hidangan lebaran yang kami masak bersama. Rasanya cukup enak. Setelah itu kami saling mengucapkan selamat lebaran dan bermaaf-maafan sekeluarga.

Keesokan harinya aku ikut mas Sidiq dan mbak Sherenita ke Jakarta bersama Shasmaka dengan menggunakan mobil pribadi. Dik Praja menunggu di rumah. Jalan tol Purbaleunyi dan Cikampek cukup lengang dan lancar. Shasmaka tertidur di pangkuanku.

Saat matahari tergelincir ke Barat, kami tiba di rumah Bu Sri Andini, besan kami. Hari itu keluarga besan mengadakan silaturahmi keluarga. Aku menyampaikan ucapan selamat lebaran dan tidak lama kemudian diantar mas Sidiq ke pool bus Primajasa di Tangerang Selatan. Dengan menggunakan bus Primajasa, aku kembali ke Bandung pada hari itu juga.

Bertemu Kanaya


 

Menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2019, mbak Dea dan mas Sandy berkunjung ke Bandung bersama Kanaya. Pada saat itulah aku bertemu dengan cucu keduaku. Mbak Dea berlibur agak lama di Bandung. Sekitar satu bulan. Menghabiskan cuti melahirkan. Kami merasa bahagia karena ada suara tangis dan tawa bayi di rumah. Biasanya kami hanya bertiga di rumah. Aku istriku dan anak bungsu. Jika dik Praja pergi, kami hanya berdua saja di rumah.

Alhamdulillah kami dikaruniai dua cucu perempuan yang cantik : Shasmaka dan Kanaya. Mereka sama-sama menarik hati. Rambut mereka juga sama-sama bergelombang. Kini aku seorang opa dan istriku menjadi oma.

 

Selasa, 22 Februari 2022

Test Drive Bandung-Malang

 


Ketika itu, pada  akhir tahun 2018, mbak Dea dan mas Sandy berlibur di Bandung. Ketika itu mereka berdua juga meluangkan waktu pergi ke dealer-dealer mobil di sekitar rumah untuk mencari mobil yang enak dipakai dan harganya terjangkau. Nampaknya mereka sepakat membeli mobil keluarga Daihatsu Sigra. Setelah itu mereka kembali ke Yogyakarta.

Pada tahun baru 2019, mas Sandy ke Bandung sendirian dan mengajak aku dan istriku ke dealer Daihatsu di Jalan Sukarno Hatta. Mas Sandy  membeli mobil yang telah dipesannya dan membayar secara cash sehingga mendapat korting atau discount yang lumayan. Mobil pun siap di depan gerai. Aku melakukan test drive di seputar gerai yang cukup luas. Akhirnya kami bertiga pulang ke rumah dengan mobil baru yang disupiri mas Sandy.

Setelah itu mas Sandy kembali ke Yogya dengan menggunakan bus. Mobil baru disimpan di garasi rumah kami menunggu kiriman STNK dan plat nomor polisi yang hitam.

Berselang seminggu, STNK dan plat nomor polisi pun datang. Kini tugasku mengantar mobil tersebut ke Yogyakarta.

Sehari sebelum keberangkatanku ke Yogya, aku mencoba mobil baru tersebut. Suatu pagi bersama anakku yang bungsu, Praja, aku meninggalkan rumah dan  melakukan test drive. Aku meluncur memasuki jalan tol Padaleunyi. Tujuanku adalah  ke Jalan Tol Soroja dan kemudian ke kota Soreang.  Aku mencoba akrab dengan peralatan navigasi yang canggih. Tiap putaran mesin terindikasi di layar pada dash board. Jika putaran pas, muncul lampu warna hijau dengan tulisan eco, jika putaran mesin  tidak pas muncul warna merah. Tulisan eco berarti penggunaan bbm efisien, jika muncul warna merah berarti penggunaan bbm tidak efisien. Aku pun langsung akrab dengan kendaraan ini. Hanya tenaganya memang tidak terlalu kuat karena mesinnya  kecil.

Setelah melakukan test drive sekitar 30 menit, kamipun sampai di Soreang dan mejeng di depan gedung budaya di depan kantor Bupati beberapa saat untuk kemudian kembali ke rumah dengan menggunakan jalan yang sama. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Aku siap membawa mobil ini besok.

Menuju Yogyakarta.


 

Keesokan harinya, aku berdua dengan istriku, Atikah, meninggalkan rumah. Kami akan mencoba mobil baru hingga sampai ke Yogyakarta. BBM full tank  karena sudah diisi penuh oleh mas Sandy.  Kami mengambil rute melalui Rancaekek, Cicalengka, Nagreg, Limbangan, Malangbong, Ciawi dan beristirahat di Masjid Agung Ciamis untuk melaksanakan salat dzuhur, istirahat dan makan siang berupa bekal yang kami bawa dari rumah.

Dari Ciamis kami melewati kota Banjar dan memasuki wilayah Cilacap di Provinsi Jawa Tengah. Saat ashar kami tiba di Karangpucung dan bersistirahat sambil melaksanakan salat ashar di sebuah masjid SPBU. SPBU nya baru, bagus dengan tempat parkir yang luas dan nyaman. Kebetulan saat itu hujan turun dengan derasnya. Kami pun mengaso di dalam masjid sampai hujan reda.

Saat hujan reda kami melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di Kebumen hari mulai senja. Kami berbelok ke kanan melewati perkampungan dan pesawahan menuju Jalan Daendels di pantai selatan.

Saat tiba di Jalan Daendels yang menghubungkan Kebumen dengan Purworejo, hari masih terang. Beruntung kami masih bisa menikmati pemandangan. Jalan jalur selatan yang bagus mulus dan lebar. Di kiri kanan ada penjual buah-buahan seperti jambu mutiara dan lain-lain. Di sebelah kanan kadang-kadang nampak pantai selatan di kejauhan. Menjelang maghrib kami sampai di jembatan di atas sungai Bogowonto yang menjadi perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku terus melaju di jalur selatan sampai mendekati bandara internasional Yogyakarta, barulah aku berbelok ke kiri, ke jalan nasional Purworejo-Wates.

Sekitar pukul 22.00 kami tiba di rumah mbak Dea di Yogyakarta. mbak Dea sendirian di rumah, karena mas Sandy sudah pergi ke Malang. Mbak Dea pun melihat mobil baru yang dibeli mas Sandy dengan perasaan takjub. Mobil ini memang dibeli atas nama mbak Dea.

Menuju Malang

Keesokan harinya, usai waktu salat maghrib, aku, istriku dan mbak Dea meninggalkan Yogyakarta menuju Malang. Dari rumah aku menyupiri mobil hingga ke kota. Kemudian mbak Dea mencoba mengemudi saat meninggalkan kota menuju Solo. Meski sedang hamil, mbak Dea dengan trampil mengemudikan kendaraan. Pertama menuju Klaten dan kemudian lanjut sampai di Kota Solo. Jaraknya sekitar 60 km.

Dari Solo aku kembali mengemudikan kendaraan. Aku memilih mencoba menggunakan jalan tol yang baru saja dibuka. Untuk mencapainya pintu masuk tol pertama-tama  aku melewati jalan , Jl. Slamet Riyadi yang ramai. Ketika itu di sekitar waktu tahun baru Imlek. Balaikota dihiasi lampion-lampion besar berwarna merah.  Kami pun melewati alun-alun kraton Surakarta. Pasar Kliwon nampak dihiasi lampu warna-warni. Kami terus menuju Jurug, melewati Sungai Bengawan Solo. Ketika tiba di Palur, kami berbelok ke kiri memasuki jalan tol Trans Java yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya.

Jalan Tol Trans Jawa

Ini pertama kali aku mecoba berkendara di jalan tol Trans Jawa. Jalannya bagus. Setiap sekitar 20 km tersedia rest area di sebelah kiri dan kanan sekaligus. Akupun mencoba berhenti di rest area kedua untuk melaksanakan salat isya. Mushola nya bersih dengan taman yang indah. Banyak orang berhenti di rest area ini.

Setelah berhenti sejenak, aku melanjutkan perjalanan. Kota pertama yang kulewati adalah Sragen, lalu Ngawi. Ketika berada di Caruban, aku berhenti lagi untuk rehat kopi. Demikian aku mencoba berhenti di setiap rest area. Menjelang pagi aku sudah sampai di Mojokerto dan tidak lama kemudian tiba di Sidoarjo. Di sini aku berhenti untuk salat subuh dan minum kopi panas.

Perjalanan kulanjutkan sampai Pandaan. Jalan tol pun berakhir. Aku kemudian memasuki jalan arteri ke Lawang, Singosari dan sampailah aku di kota Malang pada pagi hari. Mas Sandy sudah datang untuk membuka guest house. Kami pun mandi, sarapan nasi krawu kegemaranku dan kemudian beristirahat.

Resepsi Pernikahan Mas Tony

Hari ini hari resepsi pernikahan mas Tony.Sekitar pukul 16.00 kami meninggalkan penginapan menuju ke  Hotel Sahid Montana  di Jalan Kahuripan yang tidak begitu jauh dari guest house kami di Jalan Coklat. Dari Jalan Coklat kami memasuki  Jl. Mayjen  Pandjaitan , Jl. Brigjen Slamet Riyadi dan berbelok ke kiri ke Jl. Kahuripan. Sejak kami berangkat dari guest house hingga saat kami tiba di parkiran hotel, hujan turun dengan deras. 


 

Acara resepsi dimulai sekitar pukul 19.00. Kami menjadi bagian dari keluarga H. Rachmad mengiringi kedatangan mas Tony ke pelaminan. Mas Tony, anak pertama H. Rachmad, seorang doktor perikanan dari sebuah universitas di Mexico. Kini mas Tony menjadi pengajar di UGM dan mendapat jodoh di universitas yang sama. Istri mas Tony juga penduduk kota Malang. Resepsi pernikahan mas Tony dihadiri tamu asing, sepasang muda-mudi dari Australia, yang merupakan kenalan lama  keluarga.

Saat resepsi pernikahan berlangsung aku menerima kunjungan mas Bido Swasono, seorang ahli permesinan yang juga politisi kota Malang. Kami mengobrol sambil minum kopi di tepi kolam. Tidak lama kemudian, datang kawan sekolahku saat di Ngawi, mas Parman, yang kini menjadi pejabat di Universitas Negeri Malang. Maka kami ngobrol bertiga mengenasi situasi lokal di kota Malang. Obrolan berakhir menjelang acara resepsi berakhir.

Dari hotel kami kembali ke guest house untuk beristirahat. Ibu Rachmad membawakan banyak makanan untuk kami. 


 

Kembali ke Yogyakarta

Keesokan harinya, pada sore hari kami meninggalkan guest house menuju kediaman Bpk. H. Rachmad, besan kami, di Jl. Nes, Lowakwaru. Kami berkunjung sekaligus berpamitan hendak mengantar mbak Dea dan mas Sandy kembali ke Yogyakarta dan kami sendiri pun hendak kembali ke Bandung.

Sekitar pukul 21.00, kami meninggalkan rumah besan dan meninggalkan kota Malang. Kali ini mas Sandy yang mengemudi. Mas Sandy melalui jalan-jalan yang tidak kukenal. Yang kutahu kami tiba di kota Jombang sekitar tengah malam dan kemudian memasuki jalan tol Trans Jawa. Saat tiba di Ngawi atau Sragen, mas Sandy berhenti untuk beristirahat. Aku kemudian yang mengambil alih kemudi.

Menjelang fajar kami memasuki Solo yang sepi dan nampak berkabut. Aku ke luar ke arah bandara Adisumarmo kemudian menuju Kartasura. Dari Kartasura kami menuju Klaten.  Pada pagi hari kami tiba di Yogyakarta.

Sore harinya, aku dan istriku kembali ke Bandung. Namun sebelum itu kami makan malam dulu di sebuah restoran di Kota Gede. Dari sana aku dan istrikut diantar ke Terminal Bus Giwangan untuk selanjutnya menggunakan bus ke Bandung.



 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 20 Februari 2022

Berkendara ke Yogyakarta


Mbak Dea dan mas Sandy sama-sama mengajar di Fakultas Geografi UGM. Mbak Dea mengajajar di Departemen Geografi Pembangunan, mas Sandy di departemen yang lain. Karena itu mereka mencari tempat tinggal di dekat kampus. Mereka mendapat kontrakan rumah di sebuah komplek kecil di Condong Catur, masuk wilayah Kabupaten Sleman. Suasana di sekitar rumah terasa khas Yogya tapi aku merasakan suasana seperti di daerah Kuta Bali.

Suatu saat di bulan Oktober tahun 2018 karena mas Sandy harus bertugas di luar kota untuk waktu yang agak lama, aku beserta istriku dan anakku yang bungsu berangkat ke Yogyakarta untuk menemani mbak Dea. Kami berangkat dari Bandung sekitar pukul 08.00 pagi hari dengan menggunakan mobil Taruna kesayanganku. Aku sendiri yang menyetir. Rutenya Nagreg Limbangan Malangbong Tasikmalaya Ciamis. Saat waktu salat Jumat kami tiba di masjid agung Malangbong, Garut, dan salat di sana. Usai salat kami makan siang di mobil yang kuparkir di alun-alun Malangbong. Bekal kami bawa dari rumah. Menjelang ashar kami tiba di masjid Agung Ciamis untuk salat dan beristirahat.

Dari Ciamis kami melanjutkan perjalanan melewati kota Banjar dan memasuki wilayah Cilacap di perbatasan Jawa Tengah. Memasuki wilayah Sidareja hingga Majenang, kami melewati pemukiman, kota kota kecil dan pesawahan yang indah. Menjelang maghrib kami  memasuki wilayah Banyumas  melewati Wangon, Buntu, Gombong  danKarangayar  dan kami pun beristirahat di sebuah rest area di wilayah Kebumen.  Setelah itu aku berkendara non stop melewati Kutoarjo, Purworejo, Wates dan sekitar pukul 09.00 memasuki kota Yogyakarta.

Setelah berbelok ke kiri dari ring road  kami sampai di Jalan Kali Urang dan berbelok ke kanan di dekat Gardu Induk PLN lalu sampailah kami di nama-nama jalan bernuansa geomoetrik  dan sampailah kami di rumah mbak Dea. Setelah mandi kami makan bersama. Masakan a la Jepang buatan mbak Dea yang disajikan panas-panas sungguh nikmat. Setelah mengobrol sejenak waktu, kami pun beristirahat.

Selama di Yogyakarta, kami menyempatkan berjalan-jalan di seputar ke kawasan Malioboro dan kawasan kraton, dan makan malam di sebuah rumah makan Jawa yang sedang trend di Jalan Kaliurang. Aku sendiri menyempatkan salat jumat di sebuah masjid sekitar rumah. Suasana perkampungan Jawa masih sangat terasa pada suasana pergaulan di luar dan dalam masjid.

Saat kembali ke Bandung, kami menggunakan jalan yang sama seperti pada saat berangkat. Kami berangkat pagi hari dari Yogyakarta dan berhenti sejenak di Ambar Ketawang untuk membeli oleh-oleh. Setelah itu kami beristirahat di alun-alun Jatilawang dan salat di masjid agung. Istri dan anakku menyempatkan mencari bakso di siang yang panas terik itu. Aku sendiri lebih suka bersantai di serambi masjid sambil melihat lalu lintas di jalan nasional dan aktivitas warga di alun-alun.

Sekitar waktu maghrib kami sudah sampai di tanjakan Gentong di wilayah Tasikmalaya dan beberapa jam kemudian kami sudah sampai di lingkar Nagreg. Menjelang tengah malam kami telah tiba di rumah dengan selamat.

Kamis, 17 Februari 2022

Berkunjung ke Kota Malang


Tidak lama setelah anak pertamaku, Mbak Dea menikah dengan Mas Sandy, aku dan istriku pergi ke kota Malang untuk mengunjungi besan kami. Pada bulan Februri 2018,  kami naik KA Malabar dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, pada suatu petang. KA bergerak ke timur melewati Rancaekek, Cicalengka, Nagreg hingga Cibatu. Karena hari masih terang kami masih bisa menikmati pemandangan di luar. Kereta bergerak cepat melewati pemukiman, pesawahan, perkebunan, perbukitan dan sungai. Kadang kereta berada di ketinggian, dan di kejauhan nampak lembah yang permai dengan padi yang menguning, hijau pepohonan dan gunung-gunung di kejauhan. Setelah malam datang menyelimuti, kami pun menikmaticahaya terang di dalam gerbong sambil mendengar deru mesin dan gerak kereta yang berirama.

Kereta terus bergerak menembus malam. Ciamis, Tasikmalaya, Banjar, Sidareja, Kroya, Kebuman, Kutoardjo, Wates, Yogyakarta, Klaten, Solo, Sragen, Walikukun, Paron, Madiun dan Nganjuk. Saat waktu subuh tiba kereta masih melaju melalui Kertasana, Kediri, Tulungagung, dan Blitar.  Saat kereta meninggalkan stasiun Tulungagung, dunia mulai nampak cerlang cemerlang. Mentari nampak bergerak dari kanan ke kiri, menghilang di kerimbunan dedaunan lalu muncul di atas pesawahan dengan sinarnya yang keperakan menyilaukan. Sungguh pemandangan yang sangat indah.

 Akhirnya kereta tiba di Wlingi, Kepanjen dan tidak lama kemudia sampailah kami di stasiun Malang. Di sana mbak Dea dan mas Sandy menjemput kami . Ini adalah kunjunganku ke kota Malang yang kedua. Kunjunganku ke kota Malang seingatku adalah di tahun 1995. Sedang bagi istriku, ini adalah kunjungannya yang pertama.

Pagi itu udara kota Malang terasa sejuk. Dari stasiun KA kami melewati stadion olah raga Gajayana yang merupakan home base dari klub sepakbola Persema yang bisa disebut Laskar Ken Arok,  menuju kampus Universitas Brawijaya. Bulevar  di depan kampus sangat bagus mengingatkan pada bulevar di kampus Universitas Diponegoro di Jalan Imam Bardjo. Kami berkeliling kampus dan mengunjungi fakultas tempat mbak Putri mengajar. Di beberapa spot kami berhenti untuk mengambil gambar. 


 

Dari Unibraw kami  mengunjungi depot pecel Ibu Djarot untuk sarapan pagi bersama besan kami yang perempuan, Dr. Hj. Budi Prihatminingtyas, M.AB . Makan pecel di pagi hari dengan dilengkapi peyek kacang serta segelas air jahe panas sungguh amat nikmat.

Seusai sarapan kami menuju kampus Untri (Universitas Tribuana Tungga Dewi) tempat besan kami mengajar di mana kami dikenalkan dengan seorang Dekan di kampus tersebut. Dari sana kami menuju guest house di Jalan Coklat untuk mandi dan beristirahat. di guest house kami hanya berdua saja. Guest house  milik besan kami ini bangunannya cukup besar dan terletak di tengah kota Malang yang sibuk.

Malam harinya pak Drs. H. Rachmad Yusuf Susanto, M.AB  dan keluarga datang berkunjung ke guest house. Dari guest house kami berjalan kaki ke sebuah rumah makan untuk makan malam. Pak Rachmad dan nyonya menjamu kami makan malam yang spesial dengan menu  sea food. kami pun mengobrol secara leluasa. Pak Rachmad dan nyona bersama anak mereka  yang masih lajang mas Tony dan mbak Putri. Aku berdua bersama istriku. Mbak Dea dan mas Sandy. usai makan malam mereka mengantar kami ke guest house untuk beristirahat.

Batu

Keesokan paginya, kami dijemput mas Sandy dan mbak Dea. Setelah sarapan nasi krawy khas Gresik, kami meluncur ke luar kota, melewati Kampung Pelangi di tepian Sungai Brantas menuju kota Batu. Batu adalah sebuah kota yang relatif baru, sebelumnya Batu merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Jadi kini ada kota Malang, kabupaten Malang dan kota Batu. Perjalanan ke Batu cukup mengasyikkan, maklum kota Batu merupakan daerah tujuan wisata. Jalan ke Batu terus menanjak sejak ke luar dari kota Malang, seperti perjalanan dari Bandung ke Lembang. Banyak obyek wisata di kota itu yang bertebaran di sepanjang jalan. Tujuan kami kali ini adalah sebuah agrowisata, kebun apel. Menjelang tengah hari kami sudah sampai di sana. Pengunjung cukup ramai sejak di tempar parkir dan pintu masuk. Di dalamnya ada bermacam-macam obyek wisata yang bisa dinikmati. Panggung hiburan, kolam renang, resto, wisata kebun apel, pasar rakyat yang menjual tanaman dan cindera mata dan tempat outbond. Pemandangan di sekitar agro wisata ini sangat indah mengingatkan kami pada Lembang,  Pangalengan dan Ciwidey. Gunung di kejauhan, hutan yang hijau, padang rumput, dan kebun apel. Kamipun berkeliling  ke semua obyek wisata di dalamnya sambil berfoto ria. Saat hujan turun kami singgah di warung desa yang ada di dalaml. Kami menikmati makan siang dengan menu makanan khas Malang serta menikmati kopi panas dan kudapan. 


 

Selepas waktu dzuhur kami meninggalkan lokasi aggrowisata apel dan kembali menuju Malang. Kali ini jalan terus menurun dan lalu lintas sudah mulai padat. Sebelum ke guest house kami menuju rumah Pak Haji Rachmad, besanku di Lowokwaru, tepatnya di jalan Nes. Itu pertama kami kami berkunjung ke rumah beliau. Kami banyak berbincang soal politik baik nasional, Jawa Barat maupun lokal khususnya di kota Malang.  Menjelang sore hari kami pun kembali ke guest house. Kali ini mbak Dea tinggal dan tidur bersama kami.

Sendang Biru.

Hari berikutnya aku sudah mulai mencari sarapan sendiri. Yang kucari masih tetap nasi krawu. Nasi krawu itu nasi putih yang dibungkus daun pisang disertai lauk seperti  daging dan serundeng dan sedikit sambel. Penjual nasi krawu kebetulan tidak jauh dari guest house. Boleh dikatakan tetangga rumah saja. Saat pagi kios penjual nasi krawu selalu didatangi pelanggan. Tidak sampai pukul sepuluh, barang dagangannya sudah ludes dibeli orang.

Setelah sarapan pagi bertiga  dengan nyonya dan mbak Dea, mas Sandy menjemput kami dan kami pun keluar dari guest house, berbelok ke kiri lalu menuju arah Kepanjen. Kepanjen  adalah ibukota kabupaten Malang. Dari Kepanjen kami terus mengarah ke selatan melewati kota kota kecamatan dan desa. Setelah beberapa jam kami tiba di wilayah pantai selatan. Seingatku kami pantai pertama yang kami kunjungi adalah pantai Bajul Mati. Pantainya relatif masih sepi dan bersih dengan banyak tanaman cemara udang. Kami pun berjalan-jalan sepanjang pantai. Anggap saja mbak Dea berbulan madu dengan dengan mas Sandy, dan aku dengan istriku. Setelah puas menikmati pasir putih, laut dan langit biru, deburan ombak, panas sinar mentari serta desir angin kami pun meninggalkan pantai.

Kami berkendara menyusuri pantai ke arah timur. Banyak sekali spot wisata sepanjang selatan Malang ini. Jalan yang bagus dan lengang membuat perjalanan sangat nyaman. Kami pun tidak lupa singgah di sebuah rumah makan di tepi pantai yang menjajikan makanan ikan segar dari laut. Maka sempurnalah traveling kami ini.

Senyampang ada waktu kami bergerak ke arah timur dan setelah beberapa kilometer berbelok ke kanan, lalu menaiki dan menuruni punggung bukit yang dipenuhi pepohonan rimbun. Di depan mata pemandangan yang menakjubkan, pantai yang dipenuhi kapal nelayan. Lautnya nampak biru permai. Pantai Sendang Biru. Aku seperti bermimpi melihatnya . Ini pantai yang fotonya banyak menghias kalender dan menerbangkan imajinasi. Seakan tidak percaya, akupun langsung menghambur ke pantai yang dipenuhi kapal-kapan nelayan. 


 

Kami berjalan jalan dari ujung pantai yang satu ke ujung pantai yang lain. Kadang mengendap di balik kapal yang bersandar. Jika lelah kami pun duduk di dermaga memandang laut yang tenang dan memandang ke Pulau Sempu di sebrang tidak jauh dari pantai. Hanya sepelemparan batu saja. Pulau Sempu nampak anggun seperti gundukan batu zamrud hijau. Satu dua perahu perahu nelayan hilir mudik dari pantai ke pulau dan sebaliknya. Pulau Sempu seperti baru diciptakan Tuhan. Begitu baru dan sempurna. Masya Allah.

Sepulang dari pantai kami tidak lupa singgah ke pasar ikan modern, masih sehamparan dan tidak jauh dari dermaga. Setelah itu kami meninggalkan pantai melewati  perkampungan nelayan yang ramai. Perkampungan nelayan nampaknya sudah cukup lama dan seperti tersembunyi di balik hutan dan perbukitan. Sementara itu nampaknya pemerintah sudah membuat sebuah apartemen nelayan yang megah di tepi jalan raya.

Dari pantai Sendangbiru ke Malang jaraknya sekitar 80 km. Mas Sandy membawa mobil tidak melalui jalan utama melainkan melalui jalan alternatif seperti saat pergi. Jadi kami melewati jalan yang berbeda saat pergi dan pulang. Namun suasana pedesaan masih kental terasa baik pada perjalanan pergi maupun pulang.  Menjelang isya kami sampai di kota Kepanjen. Kami pun melewati stadion Kanjuruhan, home base dari klub sepakbola Arema.  Dari sini lalu lintas nampak padat hingga ke kota Malang. Saat tiba di guest house kami segera mandi, salat, makan dan beranjak tidur.

Keesokan harinya kami, aku dan istriku, mas Sandy dan mbak Dea, meninggalkan kota Malang menuju Yogyakarta. Mbak Putri mengantar kami sampai stasiun KA. Kami menggunakan kereta api menuju Yogyakarta.  Aku lupa nama keretanya, Kertanegara Gajayana atau Malioboro Ekspres.  Sepanjang perjalanan kami berbincang-bincang mengenai budaya dan sejarah Sunda maupun Jawa. Antara lain membahas kisah Dyah Pitaloka, putri kerajaan Sunda yang tewas dalam insiden di Bubat bersama ayahnya dan juga para hulubalang raja.

Menjelang malam kami tiba di stasiun Tugu. Setelah membeli tiket KA ke Bandung, kami masih sempat mengobrol dan mengambil foto sebelum berpisah. Mbak Dea dan mas Sandy kembali ke rumah, sedangkan aku dan istriku menunggu kereta api dari Surabaya.  Saat menunggu  datangnya kereta api, ternyata kami bertemu dengan tetangga  yang sama-sama hendak pulang ke Bandung. Pengumuman datang dari pengeras suara, bahwa kereta api Lodaya segera masuk ke jalur. Saat kereta berhenti kami pun segera masuk. Tidak lama kemudian kereta api pun berangkat menujup Bandung meninggalkan Yogyakarta.