Rabu, 30 Januari 2019

Semalam Di Kendari.

Pada kunjunganku yang ketiga Makasar, kang Dadang Naser dipanggil Danas (sekarang Bupati Bandung) mengajak kami ke Kendari. Beliau ingin mengunjungi warganya yang bermukim di sana. Kang Danas saya kenal sejak ia masih bujangan dan menjadi Ketua KNPI Kabupaten Bandung. Waktu itu kami sering bertemu di lapangan upacara Upakarti. Belakangan ia menjadi menantu Pak Obar Sobarna, Bupati Bandung. Pak Obar adalah kenalanku sejak sama-sama aktif di Komisi B DPRD Kabupaten Bandung. Ia dari Fraksi ABRI dan saya dari Fraksi PDI. Jadi aku berteman dengan mertua dan mantunya. Setelah kawan-kawan kembali ke Jakarta, maka kami pun terbang ke Kendari. Pada sore hari pesawat mendarat dengan mulus di bandara Halu Oleo. Dengan mengendarai minibus kami menuju kota. Di mesjid raya Kendari kami melaksanakan sholat dzuhur dan ashar. Mesjid raya sangat besar dan megah dan menjadi landmark kota Kendari. Usai shalat kami melanjutkan perjalanan mengarah ke pantai. Kami bersepakat menginap di pantai alih alih di pusat kota. Setelah memasuki beberapa hotel kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel Melati yang langsung menghadap ke pantai. Usai membersihkan badan dan melaksanakan shalat maghrib kami menyebrangi jalan dan tiba di pantai Kendari yang indah. Cahaya ribuan lampu dari pelabuhan dan kapal yang berlabuh di dermaga di kejauhan menerangi langit malam. Angin berembus dari sela-sela pepohonan rimbun di sepanjang pantai. Pantai ramai oleh orang-orang yang pesiar. Kami berjalan jalan sepanjang pantai berpasir lembut sebelum akhirnya memasuki sebuah tenda warung makan. Warung-warung makan di pantai Kendari menyajikan sea food dari laut setempat. Ikan cumi kepiting dan kerang direbus, digoreng atau dibakar sesuai selera. Aroma dari ikan yang dibakar memenuhi udara mengundang selera. Pemesan bisa menambahinya dengan saus atau potongan cabai, tomat dan bawang sesuai selera. Semua bahan disajikan di meja dan pemesan bisa mengiris-iris sendiri cabai bawang dan tomat itu sesuai keinginannya. Begitulah kami menikmati makan malam yang pertama di kota Kendari. Malam itu dengan menggunakan angkutan kota kami berjalan-jalan ke kota. Jaraknya beberapa kilometer saja dari pantai. Sampai di pusat kota kami memilih berjalan-jalan di trotoar menyaksikan aktivitas malam penduduk kota. Konsentrasi anak-anak muda terpusat di sebuah lapangan. Mereka bermain sepatu roda, memanjat dinding buatan dan ada pula yang bermain musik. Tempat ini awalnya disiapkan untuk penyelenggaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Setelah MTQ usai, spot-spot yang ada digunakan untuk akrivitas anak-anak muda. Menjelang tengah malam kami pulang kembali ke hotel. Esok pagi kami akan ke pelabuhan sementara Kang Dadang akan ke luar kota sejauh beberapa ratus kilometer mengunjungi sebuah pesantren. Pesantren itu didirikan dan dikelola seorang Kiyai asal Ciparay, Kabupaten Bandung. Pak Kiyai awalnya bersekolah di Universitas Kerajaan Arab Saudi dengan bea siswa pemerintah kerajaan. Setelah lulus ia sempat menjadi imam masjid di Arab Saudi. Kemudian dengan sponsor kerajaan ia mendirikan pondok pesantren di pedalaman Sulawesi Tenggara. Kini pesantren itu sudah mulai berjalan. Ini adalah kali pertama aku menginap di pantai Kendari. Kendari adalah ibukota Sulawesi Tenggara. Meski ibukota provinsi tetapi tidak begitu besar. Meskipun demikian di sini tersedia lembaga pendidikan tinggi milik negara seperti Universitas Haluoleo dan Universitas Islam Negri. Salah seorang gubernurnya yang populer bernama Lamajido, sama terkenal dengan Pak Noer di Jawa Timur atau Mang Ihin di Jawa Barat. Anak Pak Lamajido, Andy, sempat bersama-sama denganku mengikuti Sekolah Kader Partai di Bogor. Kini ia menjadi anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan. Saya dengar langsung darinya, anak bung Andy bersekolah di Pesantren Az-Zaytun di Indramayu. Pesantren Az'Zaytun adalah pesantren besar dengan ribuan santri dari seluruh Indonesia yang kebanyakan adalah anak orang kaya dan terpandang.

Sabtu, 19 Januari 2019

Bunaken Tempat Wisata Berkelas Dunia

Bunaken adalah suatu tempat wisata laut--khususnya untuk menyelam--yang terkenal di dunia. Letaknya di Indonesia tepatnya si Sulawesi Utara. Nah kesanalah aku jadinya. Sekitar tahun 2005. Untuk sampai ke Bunaken aku harus ke Menado terlebih dahulu. Maka aku dan beberapa kawan berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, menuju Bandara Sam Ratulangi menggunakan pesawat low cost carrier. Aku sudah lupa apakah itu penerbangan non stop atau memerlukan transit di Surabaya dan Makasar, yang kuingat siang itu kami tiba di Bandara Sam Ratulanggi. Masih terpatri dalam ingatanku saat mendarat terlihat olehku landasan pacu dikelilingi pohon nyiur melambai di kejauhan, mengingatkanku pada Bandara Colombo di Srilangka. Selain itu tempat kedatangan dan keberangkatan Bandara Sam Ratulangi dipenuhi ornamen khas ukir-ukiran dari kayu berciri Minahasa sehingga memberi kesan unik. Setelah keluar dari bandara kami menyempatkan makan siang di sebuah restoran yang bangunannya terbuat dari kayu, tidak jauh dari bandara. Restoran ini menyajikan makanan khas Minahasa seperti berbagai macam olahan ikan dengan bumbu rempah yang pedas. Suasana Menado sudah mulai terasa saat bertemu orang-orang sejak di bandara hingga restoran. Mereka pada umumnya berkulit kuning berbeda dengan kulit kami yang kecoklatan. Bahasanya mirip bahasa Melayu dengan dialek yang khas. Setelah makan siang kami hendak bertemu dengan para pemangku kepentingan. Di perjalanan kami melihat patung Yesus yang sangat besar di suatu bukit seperti sebuah tanda bahwa Menado memang kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Meski begitu kami bisa menemukan masjid di tepi jalan saat hendak melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar. Saat bertemu dengan para pejabat provinsi Sulawesi Utara dan para stakeholders (pemangku kepentingan) seperti organisasi lingkungan hidup, LSM dan pemerintah desa, kami mendapat beberapa informasi bagaimana mereka melakukan upaya untuk menyelamatkan lingkungan hidup Bunaken. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara membuat Perda (Peraturan Daerah) yang memberi peran kepada Pemerintah Desa untuk menjaga kelestarian ekosistem laut Bunaken. LSM-LSM termasuk NGO dari luar negri ikut terlibat dalam penyelamatan dan pelestarian Bunaken. Masalah yang muncul di Bunaken adalah rusaknya terumbu karang akibat aktivitas ekonomi yang tidak mempedulikan kelestarian alam. Terumbu karang Bunaken merupakan salah satu yang terindah di dunia. Banyak orang dari dalam dan luar negri datang menyelam untuk melihat keindahan terumbu karang yang merupakan habitat dari bermacam-macam ikan yang indah dan langka. Kini terumbu karang tersebut rusak oleh peralatan dan bahan-bahan kimia yang digunakan oleh para nelayan. Dengan menggunakan boat kami melakukan short trip (kunjungan singkat) ke laut Bunaken. Kami berangkat dari dermaga Menado menuju Pulau Menado Tua di mana Bunaken berada. Dari jauh gunung di Menado Tua nampak sangat indah. Boat yang kami tumpangi berhenti di perairan Bunaken. Tanpa menyelam kami bisa melihat dasar laut karena pada dasar boat diberi semacam jendela dari kaca. Dari situ kami bisa melihat keindahan terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni bermacam bentuk sedang bersliweran. Sungguh pemandangan bawah laut yang luar biasa indahnya. Setelah puas menyaksikan pemandangan bawah laut Bunaken, boat bergerak kembali ke Menado. Dalam perjalanan, kami memang melihat boat dari coast guard (penjaga pantai) berpatroli di pantai Bunaken. Dengan menggunakan pengeras suara para pengawas pantai menegur orang-orang yang dianggap tidak peduli pada keselamatan ekosistem. Mereka berasal dari desa-desa di Bunaken. Sore itu kami tiba di dermaga Menado. Kami pun menikmati suasana Boulevard, suatu tempat hang out yang terkenal di kota Manado. Ada anekdot Menado terkenal dengan 3B nya yaitu Boulevard, Bubur dan Bibir. Boulevard tempat berkumpulnya orang Menado terutama di sore dan malam hari. Letaknya di tepi pantai. Bubur Menado terkenal karena bahan dan cita rasanya. Bibir menggambarkan kecantikan gadis-gadis Menado. Tapi yang selalu kuingat adalah pisang koreng kipas di samping hotel tempatku menginap . Pisang goreng yang dimakan dengan saus sambal pedas. NGO (non governmental organization) luar negeri memang sungguh aktif berkampanye untuk kelestarian alam Bunaken. Di lobby hotel mereka memasang poster untuk menggalang dana. NGO ini berpusat di Jerman. Jadi penyelamatan Bunaken sudah menjadi isu internasional. Saat hendak kembali ke Jakarta, aku sempat berkeliling di bandara yang cukup ramai. Aku menemukan beberapa buah buku karya penulis setempat. Ada dua atau tiga buku kubeli. Salah satunya mengenai kapitalisme lokal orang Bugis Mandar Makasar.Keinginanku untuk menyebrang ke Davao tak menjadi kenyataan karena lupa membawa paspor. Kini di era Presiden Jokowi ada pelayaran kapal roro Davao (Filipina) - Bitung (Indonesia). Aku ingin sekali mencoba pelayaran ini. Sudah terbayang olehku keindahan laut sepanjang pelayaran ini.

Kamis, 17 Januari 2019

Buaya-buaya Hitam di Pelabuhan Nunukan


Kisah ini terjadi di sekitar tahun 2004. Pada saat itu saya bersama beberapa orang kawan melakukan penelusuran jalur buruh migran dari Indonesia ke negara tetangga, Malaysia. Pada subuh pagi itu kami bergegas ke bandara Husein. Selagi boarding, di lounge kami menyempatkan sarapan pagi, secangkir kopi panas dan sepotong roti isi coklat manis. Tak lama kemudian kami memasuki pesawat Citilink yang segera tinggal landas ke Surabaya. Matahari sudah terbit gilang gemilang ketika kami tiba di bandara Juanda. Ada waktu transit sekitar satu jam, maka kami pun turun tanpa membawa barang bawaan. Di dalam bandara kami sempat berjalan jalan di selasar. Seperti biasa aku mencari toko buku dan membeli sebuah buku untuk oleh oleh. Tidak lama kemudian kami pun masuk ke pesawat melalui garbarata. Pesawat tinggal landas, melayang layang di atas tambak ikan dan kemudian memasuki awan meninggalkan laut biru di kejauhan. Satu satu penumpang tertidur. Pesawat menyebrangi Laut Jawa menuju Pulau Kalimantan.
 Matahari sudah mulai meninggi saat pesawat Citilink mendekati jazirah Kalimantan. Daratan yang hijau kebiruan sudah nampak di depan mata. Aliran sungai-sungai nampak berwarna kemerahan dan membentuk delta-delta. Awan tipis mengapung. Tidak lama kemudian landasan bandara Balikpapan terlihat di tepi laut yang biru. Pemandangan yang indah. Pesawatpun menukik dan roda rodanya mulai menyentuh landas pacu menimbulkan suara gemuruh dan getaran yang keras. Aku merasakan dadaku bergemuruh. Akhirnya pesawat mendarat dengan sempurna tiba di landasan kemudian berputar ke apron. Penumpang bergegas turun. Sekali lagi transit selama satu jam. Bandara Supadio Balikpapan menjadi salah satu bandara yang kusuka. Letaknya di tepi pantai berlaut biru dengan buih ombak putih yang berlarian menuju pantai. Dikellilingi pepohonan hijau bandara ini nampak indah jika dilihat dari jendela pesawat. Pesawat yang take off atau landing akan melewati bibir pantai dan laut yang biru. Keindahannya nyaris menyamai Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar. Memang bandara Ngurah Rai lebih dramatik karena landasan pacunya sengaja dibuat menjorok ke laut dengan cara mereklamasi pantai. Selain itu jika hendak mendarat di Bandara Ngurah Rai pesawat harus melintasi jalan raya yang ramai dengan lalu lintas karena menghubungkan Kuta dan Nusa Dua. Setelah transit pesawat Citilink menerbangkan kami ke tujuan terakhir yaitu Tarakan. Kami tiba di bandara Tarakan pada petang hari menjelang ashar. Dari udara kota Tarakan nampak ramai. Pemukiman dan pusat perdagangan nampak padat. Kota Tarakan terletak di tepi pantai sama seperti kota Balikpapan. Begitu mendarat kami langsung menuju kantor walikota. Pak Walikota yang keturunan India menceritakan bagaimana caranya mengelola kota yang banyak didatangi pendatang dari seluruh Indonesia. Ia mengatur masalah kependudukan secara ketat karena jika tidak demikian maka daya dukung kota Tarakan yang tidak terlalu besar tentu tidak akan mampu menghidupi penduduknya. Setelah mendapat gambaran mengenai pola urbanisasi dan mobilisasi penduduk dari berbagai pulau ke Tarakan lalu menyebrang ke Malaysia, kami pun pamit. Malam itu kami berkeliling kota dan mengunjungi tempat pengeboran minyak. Tarakan adalah penghasil minyak bumi sejak zaman Belanda. Sisa-sisa pengeboran minyak masih ada dan sebagian masih berfungsi menyedot minyak dari bumi. Malam itu hujan deras dan angin kencang melanda kota Tarakan. Tiba-tiba aliran listrik terputus dan kota gelap gulita. Pelayanan listrik di Tarakan memang belum sebaik di Pulau Jawa. Jadi jika listrik byar-pet itu sudah dianggap biasa. Setelah sarapan pagi kami berangkat ke pelabuhan. Dengan menaiki sebuah ferry kami berangkat ke Nunukan. Nunukan sebuah kota paling utara di Kalimantan yang berbatasan dengan negara Malaysia. Perjalanan atau tepatnya pelayaran ke Nunukan melalui banyak pulau pulau kecil, delta, muara sungai dan laut lepas. Nyaris tidak ditemui pemukiman penduduk. Hanya ada satu dua pos keamanan yang dijaga Angkatan Laut. Selebihnya hutan. Perairan nampak berwarna kecoklatan. Sesekali ada kapal. Ada juga gelondongan kayu mengapung di permukaan laut. Setelah berlayar beberapa jam tibalah kami di dermaga pelabuhan Pulau Nunukan. Kami bertemu dengan pejabat setempat kemudian berkunjung ke beberapa tempat penampungan tenaga kerja yang menyebar di Nunukan. Ternyata para calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau BMI (Buruh Migran Indonesia) ke Malaysia berasal dari berbagai pulau di tanah air. Di Nunukan mereka dibuatkan paspor oleh para agen penyalur. Banyak yang menggunakan data yang dipalsukan seperti asal, nama dan umur. Banyak dari mereka menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menyebrang ke Malaysia. Ada yang ingin kembali namun tidak mempunyai bekal. TKI biasanya menyebrang dengan menggunakan kapal atau perahu ke Tawau meski ada juga yang melalui darat. Pada umumnya mereka bekerja di negara bagian Sabah. Banyak dari TKI yang pergi mencari kerja di Malaysia tidak menggunakan dokumen yang lengkap. Mereka dipekerjakan di perkebunan dengan gaji tidak memadai. Pada saat kami ke Nunukan, banyak TKI dipulangkan dari Malaysia. Ini menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah Nunukan, Tarakan dan Kalimantan Timur. Itu sebabnya mereka mengimbau agar pemerintah daerah di seluruh Indonesia ikut membantu dalam menyediakan anggaran bagi pemulangan TKI. Setelah berkeliling ke tempat tempat penampungan TKI, sore itu juga kami berniat kembali ke kota Tarakan. Karena jadwal pelayaran ferry untuk sore hari sudah tidak ada maka kami menelpon teman kami di Tarakan untuk mengirim kapal. Sore itu kami pergi pelabuhan Nunukan. Saat kami datang kami melihat ada ferry dari Tawau, yang membawa penumpang dari Malaysia. Di antara mereka ada buruh yang pulang atau dipulangkan dan ada juga orang-orang Malaysia. Rupanya pelayaran dari Tawau selalu dipenuhi penumpang. Kebanyakan para TKI yang mudik atau yang dipulangkan oleh pemerintah Malaysia. Ada juga mereka yang berbisnis antar negara. Kini semakin banyak orang Malaysia berbisnis di Kalimantan terutama dalam bisnis pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sore itu ada yang menarik perhatian di pelabuhan Nunukan. Saat kami berjalan ke dermaga mata kami terpaut pada sebuah kapal besar bercat putih yang sedang bersandar. Itu kapal Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia). Kapal sedang menunggu jadwal keberangkatan ke Pulau Jawa. Di pelabuhan Nunukan yang berukuran kecil dengan kapal ferry dan perahu bermotor ukuran kecil, kapal milik Pelni nampak sangat besar dan menjadi tontonan bagi penduduk setempat. Pelabuhan di luar Pulau Jawa pada umumnya tidak terpisah secara tegas dari pemukiman. Dari pelabuhan bisa menyaksikan kegiatan penduduk dan sebaliknya penduduk bisa melihat kegiatan di pelabuhan. Demikian juga dengan pelabuhan Nunukan. Sore itu cuaca cerah di pelabuhan. Saat kami menunggu dan mengopi di dermaga kami bisa melihat pemandangan ke arah daratan. Di sebrang sana ada perkampungan penduduk. Rumah panggung mereka persis di bibir pantai bahkan menjorok ke laut. Kebanyakan penduduk sedang santai di serambi rumah mereka atau di balik jendela yang terbuka lebar. Laut mulai pasang. Sekonyong-konyong nampak ada makhluk hidup keluar dari arah laut dan bergerak ke daratan berpasir. Satu -satu mereka mendekat ke arah pemukiman. Ternyata sekawanan buaya. Kami yang berada di dermaga melihatnya dengan takjub. Buaya-buaya berwarna hitam itu berkeliaran ke sana kemari di bawah rumah penduduk. Tapi nampaknya para penghuni rumah di atasnya tidak panik dan mereka membiarkan saja buaya-buaya itu muncul ke permukaan. Bagi kami yang sedang menunggu di dermaga, kemunculan buaya-buaya tersebut menjadi hiburan tersendiri. Akhirnya kapal yang kami tunggu tiba. Kami pun memasukinya satu demi satu. Tidak lama kemudian kapal meninggalkan dermaga, bertolak menuju Tarakan. Senja berganti malam. Laut nampak gelap. Hanya suara mesin kapal kami memecah keheningan. Cahaya lampu dari kapal memantulkan riak gelombang laut. Sesekali kami berjumpa dengan kapal atau perahu yang lain. Atau melihat cahaya lampu kapal di kejauhan. Di tengah perjalanan lampu padam. Mesin tak bersuara. Supir kapal terjun ke air dalam gelap memeriksa buritan. Ternyata baling-baling patah. Ia segera menggantinya. Kapal pun berlayar kembali. Tiba-tiba hujan turun. Sekali lagi mesin kapal mati. Kapal terombang ambing gelombang. Kami pun menjadi cemas. Dalam kesunyian dan kegelapan semua penumpang berdoa. Sekali lagi pengemudi kapal mencebur ke laut dan memeriksa kondisi kapal seorang diri. Agak lama ia mencoba menghidupkan mesin namun tidak berhasil. Sebuah kapal yang agak besar mendekat dan nakhodanya menawarkan bantuan. Supir kapal kami menolak dan mengatakan bisa mengatasi keadaan. Kapal itupun berlalu. Laut kembali sunyi. Gelap menyelimuti. Teman kami di Tarakan menelpon kami karena sudah selarut itu kami belum tiba. Setelah beberapa waktu, akhirnya mesin bisa dihidupkan kembali. Kapalpun bergerak menuju pelabuhan Tarakan. Menjelang tengah malam kami tiba di pelabuhan. Kami bersyukur selamat sampai tujuan. Keesokan harinya kami meninggalkan Tarakan kembali ke Bandung. Aku tidak bisa melupakan peristiwa yang kami alami selama perjalanan.

Selasa, 15 Januari 2019

Menjelajahi Kawasan Karst Maros

Sebelum meninggalkan Makasar kawan saya Andi Baso mengajak saya dan tiga kawan saya : Anton, Beni dan Risa berpetualang ke luar kota Makasar. Tepatnya ke Kabupaten Maros. Jaraknya berkisar sekitar 25 km dari kota Makasar. Di tengah perjalanan kami diminta turun dari mobil dan mobilnya pergi entah kemana. Saat itu hujan baru saja mengguyur bumi. Jalan raya pun nampak berair. Di sana sini becek. Andi mulai mengajak kami memasuki sebuah jalan desa. Mulanya kami masih bisa bersepatu. Dari jalan desa kami memasuki jalan setapak yang berbatu putih seperti kapur atau marmer. Kami pun meninggalkan kampung. Di kiri kanan hanya sawah yang terbentang. Tanaman padi yang menghijau subur di antara petak petak sawah yang berair jernih sungguh menyejukkan mata. Oh ternyata Andi mengajak kami menelusuri pematang sawah. Kamipun mulai melepas sepatu dan menjinjingnya. Jalan yang kami tempuh pada treking kali ini makin lama makin menyempit. Juga semakin menjauh dari pemukiman. Di depan kami beberapa tegakan batu karang menghadang. Tiba tiba saya mereka telah berdiri tegak di depan kami. Tingginya mendekati tinggi pohon kelapa. Warnanya bercampur antara hitam dan putih. Kadang ditumbuhi pepohonan perdu atau pakis-pakisan. Batu karang ini kadang berdiri tegak sendirian seolah olah muncul begitu saja dari bumi tapi kadang berhimpun dalam kerumunan. Kami pun berjalan di sela sela batu karang itu. Rasanya seperti di planet lain. Alam membentuk batu karang itu menjadi beraneka rupa. Ada yang seperti candi ada yang berbentuk gua ada pula yang menyerupai wajah makhluk hidup. Keberadaan batu batu karang di antara rimbun pepohonan dan hamparan sawah yang menghijau serta perbukitan di kejauhan serta langit biru, menjadi semacam lansekap yang indah. Kami pun terkagum kagum melihatnya dan tak kuasa untuk tidak mengabadikannya dalam kamera. Kami pun meninggalkan gundukan batu karang itu menuju dinding bukit karst di depan. Ke sanalah kami menuju. Treking kami ini menjadi semacam kampanye untuk menyelamatkan bukit karst Maros dari penghancuran oleh pabrik semen yang kilang-kilangnya sudah mulai terpasang dan beroperasi. Perjalanan kami semakin berat dan melelahkan. Pesawahan mulai kami tinggalkan. Kami berjalan di antara kolam kolam ikan yang dubuat penduduk. Meski begitu tak tampak ada pemukiman. Jalan yang licin dan becek membuat kami sesekali tergelincir dan tercebur hingga basah kuyup. Akhirnya kami mendekati perbukitan dan memasuki hutan berair yang dipenuhi pohon kirai. Pohon ini seperti pohon kelapa namun tidak terlalu tinggi. Bukit bukit karst di depan kami seperti dinding benteng yang kokoh dilapisi oleh tumbuh tumbuhan yang lebat. Kami jadi seperti makhluk kecil di tengah alam raya. Aku merasa ini adalah bagian terakhir perjalanan yang paling berat. Tak dinyana ternyata setelah melewati hutan dan rawa rawa tiba tiba di depan kami ada sebuah rumah pangung. Seperti diperintah kami berhambur ke situ. Tuan rumah menyambut kami dan mempersilakan kami naik ke rumahnya. Setelah membersihkan diri kamipun menaiki tangga rumah itu dan saat tiba di serambi depan kamipun langsung duduk lesehan beralas tikar di atas lantai kayu. Betapa senangnya. Kami saling berkenalan dan bercakap-cakap sambil menikmati minuman panas dan kudapan yang telah disediakan. Tidak lama kemudian tuan rumah mengajak kami ke dalam dan ternyata dia sudah menyiapkan makanan untuk kami santap. Bermacam-macam menu masakan dari ikan tersedia dan kami pun menikmatinya dengan lahap. Ternyata Andi Baso telah menyiapkan perjalanan ini dengan sempurna. Sayang kami tidak menginap di situ. Kamipun harus berpamitan untuk pulang. Meski tidak lama kami singgah di situ tapi sungguh sangat berkesan dan tidak pernah terlupakan. Kami meninggalkan rumah kayu panggung di tengah hutan. Terbayang olehku betapa berat perjalanan pulang yang akan kami tempuh. Untungnya kami pulang melalui jalan yang lain. Kali ini melalui sungai dengan menggunakan perahu. Perahu yang kami gunakan adalah perahu kecil yang menggunakan motor tempel dan hanya bisa ditumpangi dua orang dewasa. Karena itu diperlukan lima perahu dengan pengemudinya. Kami pun berlayar di sungai yang membelah hutan dan perbukitan karst yang berdiri megah di kanan kiri kami. Perjalanan ini ternyata lebih menegangkan. Kami seperti berada di dalam pelukan alam semesta yang amat luas dan perkasa. Aku terkagum kagum dengan apa yang kulihat. Alam yang sungguh indah dan murni. Air sungai yang bening dan deras. Jurang jurang yang menganga. Perahu yang kutumpangi kadang menerobos gua yang gelap lalu bertemu kembali dengan sinar matahari. Suara satwa seperti musik yang terindah yang ada di bumi. Aku tak kuasa untuk tak menyentuh air sungai yang jernih. Betapa dingin terasa. Tubuhkupun seperti menyatu dengan alam. Setelah berlayar mengarungi sungai akhirnya kami sampai di bawah sebuah jembatan beton. Perahu menepi. Kami naik ke jalan raya. Seperti mimpi rasanya. Pada saat itu ada beberapa mobil diparkir ditepi jalan. Ada mobil jenazah. Jenazah diturunkan dari mobil dan digotong menuruni tebing sungai di mana tadi aku naik. Jenazah itupun dinaikkan ke dalam perahu. Beberapa pengiring juga menaiki perahu. Lalu perlahan lahan perahu itu bergerak menyusuri sungai yang tadi kami lalui. Setelah beberapa lama iring iringan perahu pengantar jenazah itu pun memasuki hutan. Kami pun meninggalkan tempat itu.

Terdampar di Pulau Lae-lae

Sekitar tahun 2004 aku berkesempatan kembali berkunjung ke Makasar. Malam itu saat tiba di hotel aku ingin melanjutkan perjalanan ke Toraja. Rencanaku dengan beberapa orang teman kami menyewa kendaraan ke sana. Tetapi karena hari sudah malam beberapa orang yang kami jumpai menyarankan agar kami mengurungkan niat berangkat karena perjalanan ke Toraja bisa mencapai waktu lebih dari lima jam dan harus melalui jalan yang tidak mudah. Akhirnya kamipun membatalkan keberangkatan kami. Kami masih punya waktu sehari besok. Kamipun mencari obyek di sekitar kota Makasar saja. Seusai kegiatan keesokan harinya beberapa teman langsung check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Aku dan tiga orang teman masih tinggal di Makasar. Tadinya ingin ke Air Terjun Bantimurung. Tapi karena seorang teman pernah pergi ke sana kamipun mencari obyek yang lain. Temanku sebut saja Andi orang Makasar mengajak kami ke Maros. Kami setuju. Tapi sebelum ke Maros kami ingin berkunjung ke pulau-pulau di lepas pantai kota Makasar. Ada sebuah pulau dengan pemandangan yang indah di lepas pantai Makasar. Ada pula vila untuk menginap di sana. Maka kamipun menyasar ke sana. Kami pun mendatangi dermaga penyebrangan di dekat pantai Losari. Setelah mendapat sebuah perahu motor tempel dengan supirnya kami pun menaiki perahu tersebut. Berlayarlah perahu menuju pulau yang kami tuju. Cuaca cerah. Setelah beberapa menit meninggalkan kota Makasar di kejauhan tiba tiba terasa hempasan ombak yang keras. Tingginya sekitar satu meter. Supir perahu kelihatannya tenang tenang saja. Namun kami sudah merasa waswas. Pakaian kami pun sudah basah kuyup oleh air laut yang masuk ke dalam perahu. Tubuh kami seperti dibanting-banting dan kami pun menjadi ketakutan. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Makasar. Perahu pun berbalik. Gelombang tidak segarang sebelumnya. Kami menepi di dermaga sebuah pulau. Namanya Pulau Lae-lae. Saat berjalan dari dermaga ke darat kami melewati perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar. Tiba didarat kami disambut bendera dan umbul umbul serta baliho serta ucapan selamat datang dari seorang caleg. Ya saat itu memang musim kampanye. Kamipun mendatangi sebuah posko caleg tersebut dan berfoto bersama kang Anton untuk kenang-kenangan telah tiba di pulau Lae-lae. Pulau Lae-lae tidak begitu besar tetapi di dalamnya terdapat perkampungan yang padat oleh penduduk. Kebanyakan adalah nelayan. Dari sini kota Makasar terlihat di kejauhan. Kami pun berjalan-jalan menelusuri pemukiman penduduk dan bertegur sapa dengan mereka yang kebanyakan duduk santai di serambi rumah mereka. Meski sebentar kami ingin menikmati suasana pulau. Kamipun memilih sebuah sudut berpasir putih di pulau itu ketika senja mulai turun. Masih basah kuyup kami memesan kopi dan mie goreng dari penduduk setempat dan menikmatinya sambil menyaksikan ombak di pantai yang menderu deru dan meninggi. Berbaring di pantai Pulau Lae-lae sungguh merupakan sesuatu. Meski hanya menikmati semangkuk mie goreng dan secangkir kopi tapi tak bisa dibandingkan kenikmatannya dengan makan dan minum di hotel berbintang empat sekalipun. Saat matahari hendak tenggelam kami bergegas menyebrang ke kota Makasar di Pulau Sulawesi senyampang ombak belum lagi tinggi dan perahu kami masih bisa berlayar. Akhirnya malam itu kami kembali menginap di kota Makasar karena hasrat menginap di pulau tak kesampaian. Meski begitu aku tak kecewa. Hari itu sempat berlayar sebentar dan tiba di pulau Lae-lae yang tidak pernah kami bayangkan. Aku menikmati dan mengenangnya hingga sekarang.

Selasa, 08 Januari 2019

Makasar Permata dari Timur

Setidaknya dua atau tiga kali saya berkunjung ke kota Makasar. Kota ini pernah beralih nama menjadi Ujung Pandang dan kemudian kembali menjadi Makasar. Saya ingin bercerita mengenai kunjungan saya ke kota itu, yang pertama dan kedua. Pada kunjungan pertama sekitar tahun 2004 saya dan beberapa kawan menginap di Hotel H yang bagian bawahnya menyatu dengan sebuah super market dan restoran siap saji. Waktu itu kami memanfaatkan waktu akhir tahun untuk suatu keperluan dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Kalau tidak salah itu untuk membahas perda mengenai hak daerah dalam pengelolaan listrik atau pertambangan atau soal tata ruang. Pengamanan agak ketat di situ karena ternyata beberapa hari sebelumnya ada ledakan bom di situ. Pelakunya teridentifikasi dan ditangkap. Pada malam hari hotel terasa lengang, mungkin karena adanya peristiwa pengeboman tapi mungkin juga karena itu adalah malam Natal. Suasana benar-bebar sepi. Dua orang teman kami yang beragama Kristen tidak bisa merayakan Natal di rumah karena kami belum bisa pulang. Seorang teman berinisiatif menghibur teman kami yang seharusnya merayakan Natal di rumah dengan membeli sebuah kue taart yang dipasangi lilin seperti kue ulang tahun. Bukankah Natal juga berarti perayaan kelahiran Yesus atau Nabi Isa al Masih. Kami pun memberi ucapan selamat kepada kedua teman kami itu. Kulihat kedua teman kami tadi berkaca-kaca pada kedua matanya karena rasa haru. Pada kunjungan yang pertamaku, kami punya waktu sedikit untuk melihat-lihat kota Makasar. Di sisi jalan tol kami masih melihat bangunan panggung terbuat dari kayu berarsitektur indah. Jika diperhatikan sungguh-sungguh terdapat sedikit perbedaan antara satu dan lainnya. Menurut informasi yang kami dapat memang ada perbedaan arsitektur bangunan untuk bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan terletak pada hiasan dan bentuk atapnya. Kota Makasar berada di tepi pantai. Ada proyek reklamasi yang sudah selesai dan menjadi hunian. Pelabuhan Sukarno Hatta nampak sibuk dengan keluar masuk kapal maupun perahu layar besar phinisi. Para pekerja membongkar muat barang tak henti-hentinya. Semua ini nampak kasat mata karena pelabuhan dan dermaganya tidak jauh dari jalan raya. Kota ini memang kota sekaligus bandar terbesar di kawasan timur Indonesia. Di jalan protokol terdapat kediaman keluarga Kalla (keluarga Jusuf Kalla) dan beberapa kantor perusahaannya. Ada juga monumen Mandala karena di sinilah tempat Markas Komando Operasi Mandala untuk merebut Irian Jaya. Panglimanya adalah Jendral Suharto. Selain nama Jusuf Kalla dan Suharto, Makasar identik dengan Jendral M. Yusuf yang pernah menjadi Panglima ABRI. Yusuf membangun sebuah masjid yang besar dan megah yang diberi nama Al Markaz Al Islami. Jika malam hari Pantai Losari ramai dengan warga setempat maupun wisatawan dari luar. Suasana menyambut tahun baru sudah terasa sejak sore di bibir pantai. Orang orang duduk di tanggul penahan gelombang sambil memandang laut lepas. Pada malam hari suasana lebih seronok. Cahaya dari lampu taman dan kapal-kapal di lepas pantai membuat suasana menjadi terasa romantik. Di tenda-tenda banyak dijumpai berbagai penganan dan kudapan khas. Yang terkenal adalah es pisang hijau dan pisang epek. Es pisang hijau adalah makanan yang terbuat dari semacam kue berbentuk pisang berwarna hijau yang diberi es. Sedang pisang epek adalah pisang yang dipipihkan kemudian dibakar dan diberi saus manis. Ada pula pisang goreng yang disusun seperti kipas. Kudapan seperti ini juga bisa dijumpai di kota lain seperti di Menado. Uniknya pisang goreng ini disertai saus pedas alias sambal. Untuk makan siang atau malam kita bisa menikmati coto makasar dan sop konro. Kedua makanan ini berbahan dasar daging yang diberi kuah. Pada sop konro dagingnya masih menempel pada tulang. Untuk menikmatinya bisa dengan ditemani nasi atau lontong. Jika ingin menikmati sop konro di sebuah kedai sop konro yang terkenal kadang kita harus antri untuk bisa pesan dan menikmatinya. Makasar memang kota yang menarik untuk dikunjungi. Ada benteng pertahanan peninggalan Kerajaan Makasar saat melawan Belanda yang tidak jauh dari pantai. Ada Pasar Somba Opu yang menjadi pusat suvenir yang menjual kerajinan dari berbagai tempat di Sulawesi Selatan seperti ukir-ukiran kayu dari Toraja. Ada makam Pangeran Diponegoro di tengah kota. Kamipun berkunjung ke tempat-tempat itu. Komplek benteng pertahanan kerajaan Makasar terdiri dari benteng dan bangunan-bangunan kokoh dan megah di dalamnya. Kami mengelilingi dan melihat satu persatu bangunan tua yang masih kokoh megah dan terpelihara peninggalan raja-raja Makasar saat melawan Belanda. Kami pun menyempatkan diri berziarah ke makam Pangeran Diponegoro sambil menyampaikan doa agar beliau ditempatkan di surga karena perjuangannya untuk bangsa dan tanah airnya. Saat pulang dari Makasar pada kunjungan yang pertama kami menggunakan Indonesia Airline. Waktu itu kami dalam penerbangan malam hari berhujan langsung dari Bandara Sultan Hasanuddin menuju Bandara Sukarno Hatta. Di tengah perjalanan kami merasakan ada guncangan-guncangan yang agak besar. Pramugari mengatakan pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di Surabaya. Pesawatpun mendarat di bandara Juanda. Ternyata pesawat yang kami tumpangi tidak bisa membawa kami ke Jakarta. Karena itu kami harus menunggu beberapa jam di bandara untuk mendapatkan pesawat pengganti ke Jakarta. Pada malam hari akhirnya kami bisa diterbangkan ke Jakarta. Dari info yang kami peroleh pesawat Indonesia Airline mengalami kerusakan pada salah satu mesinnya. Kami sempat terguncang saat mendengar infomasi dari mulut ke mulut tersebut. Kini pesawat dari maskapai Indonesia Airline sudah tidak terbang lagi. Maskapainyapun sudah tidak terdengar lagi.