Jumat, 22 April 2016

"The City of Heaven"



14 Mei 2007. Pulang dari puncak Huangshan kami masih sempat berjalan-jalan di sekitar hotel, menyaksikan keindahan Huang shan yang memang luar biasa indahnya. Setelah makan siang terakhir di puncak Yellow Mountain kami check out dari hotel Shilin. Kami mengulang perjalanan kembali perjalan kemarin melalui jalan setapak kemudian menggunakan cable car untuk sampai di kaki gunung. Hari telah siang ketika bus yang kami tumpangi meninggalkan Huangshan menuju Hangzou. Oh ya dari pemandu aku mengetahui baik pemandu perjalanan maupun pengemudi bus semuanya adalah anggota PKT (Partai Komunis Tiongkok). Mereka sangat disiplin menjaga nama baik negaranya. Aku dilarang memotret seorang kuli pikul yang membawa satu sak semen dari kaki Yellow Mountain menuju puncak. Saat kuwawancarai dia berkata bahwa dalam sehari kerjanya hanya membawa satu sak semen ke puncak Huangshan melalui tangga yang tak terhitung jumlahnya dan pulang membawa tongkat pemikul. Mereka digaji untuk satu hari kerja. Kerja seperti itu di Indonesia dikenal dengan istilah padat karya. Entah mengapa aku dilarang memotret kuli pikul semen tersebut. Mungkin mereka tidak mau gambar para kulit itu menyebar di dunia maya.

Samar-samar dalam ingatanku kami sempat berhenti di sebuah restauran di sebuah kota tua yang dipenuhi bangunan-bangunan lama. Restauran tempat kami makan terbuat dari bangunan dengan material yang didominasi kayu. Kami makan di lantai dua dengan sajian khas Cina yang disajikan bertahap dimulai dengan dengan menu pembuka, menu utama dan menu penutup. Seperti biasa restoran menyajikan makanan yang diolah dari produk petani lokal, dan seperti di restoran atau hotel yang lain selalu ada tomat merah segar berukuran kecil yang bisa dimakan dengan menggunakan sumpit.

Menjelang malam bus memasuki sebuah kawasan pedesaan yang makmur dan indah. Ini adalah sebuah kawasan pertanian bunga dan tanaman hias. Sejauh mata memandang hanya keindahan yang nampak disertai bayang-bayang kemakmuran penduduknya karena bunga dan tanaman hias telah memberi limpahan rejeki bagi kehidupan mereka. Akupun teringat kawasan Parongpong di Bandung yang terkenal sebagai sentra bunga dan tanaman hias. Andai saja pemerintah daerah bisa mengelola potensi ini, tentu penduduk Parongpong pun akan menjadi kaya raya seperti para petani bunga di Cina. Saat mendekati Hangzou pemandu menjelaskan bahwa kami memasuki tempat yang menjadi sumber cerita legenda Ular Putih. Legenda Ular Putih pernah diputar di teve Indonesia di tahun 90-an.

Hari telah malam ketika kami tiba di Hangzhou. Aku terpana melihat keindahan kota dengan taman-taman yang indah dan lampu yang gemerlapan. Tidak salah jika Marco Polo mengatakan bahwa Hangzhou adalah “the city of Heaven, the most magnificent in all the world.” Marco Polo pernah berkunjung ke Hangzhou bahkan sempat menjadi Gubernur Yangzhou selama tiga tahun di era Dinasti Yuan. Dia menggambarkan Hangzhou sebagai surga dan tempat terindah di dunia yang dihiasi dengan pasar-pasar, perahu yang indah dan wanita penghibur.

Hangzhou adalah sebuah kota kosmopolitan sejak Dinasti Song Selatan menjadikannya sebagai ibukota pada tahun 1138 sampai dengan 1279. Belakangan ketika orang Mongol berkuasa ibukota dipindahkan ke Beijing dan Hangzhou menjadi kota perdagangan. Meskipun pemberontakan Taiping merusak gedung-gedung tua, Danau Barat (West Lake atau Xi Hu) yang menarik dan wilayah sekitarnya yang indah seperti di Situ Patenggang Bandung masih menarik untuk pengunjung.

Malam itu kami menginap di sebuah hotel setelah sebelumnya diajak berkunjung ke pusat kota, pusat pemerintahan dan pusat perbelanjaan. Kota Hangzou sangat modern sedikit lebih megah dari Jakarta. Di Hangzhou seperti juga di Shanghai banyak barang-barang bagus bermerk tetapi sebenarnya barang KW atau barang ilegal. Barang ilegal ini adalah barang bermerk yang tidak dijual dengan harga sebagaimana mestinya melainkan lebih murah tetapi penjualannya dilakukan secara sembunyi sembunyi. Aku bertemu dengan tenaga pemasaran di pinggir jalan dan diajak melihat show room yang terletak di lantai dua ruko. Konon jika diketahui oleh aparat keamanan maka transaksi tersebut bisa dianggap melanggar hukum.
Pagi pagi kami meninggalkan penginapan dan melakukan city tour. Kami diajak melihat bangunan stadion olah raga mereka yang modern. Hampir di setiap kota atau provinsi mereka memiliki bangunan-bangunan olahraga yang megah dan mewah sekelas Senayan. Selain itu mereka  punya gedung kesenian atau sirkus yang setiap malam menyajikan pertunjukan yang bagus. Konon para pemain sirkus adalah anak-anak yang terlantar yang diurus oleh Negara. Jadi ingat UUD 1945 ya.

Tempat yang menarik di Hangzhou adalah Xi Hu atau Danau Barat (West Lake). Danau ini mirip dengan Situ Patenggang di Bandung Selatan. Xi Hu berlokasi di jantung kota Hangzou, luasnya sekitar 8 km2 . dikelilingi oleh perbukitan hijau, dibayangi oleh pepohonan wilow dan dipenuhi wangi bunga teratai danau ini telah lama menjadi inspirasi bagi para seniman. Xi Hu asalnya adalah aliran sungai Qiantang yang kemudian menjadi danau saat sungai mengisinya penuh di abad ke-empat. Karena danau berpotensi menimbulkan banjir maka dibuatlah beberapa tanggul dan pintu air seperti Bai dan Su. Berperahu dari sisi timur di waktu senja menyusuri tanggul sangat direkomendasikan.

Kamipun tidak lupa mengunjungi Desa Longjing yang merupakan penghasil pelbagai teh hijau terbaik di Cina. Pengunjung bisa mendatangi pengolahan teh dan melihat pelbagai tahap produksi seperti memetik, memilah, mengeringkan dan bisa membelinya dengan harga bervariasi tergantung grade nya. Desa Longjing tampak makmur. Rumah petani dibangun seragam seperti villa dan dijadikan tempat menginap para wisatawan yang berkunjung. Pelayanan diberikan langsung oleh para petani teh pemilik rumah. Di setiap rumah disediakan hiburan bagi wisatawan antara lain mahyong.

Di situ ada pula Museum Teh yang menyajikan sejarah produksi teh. Banyak informasi menarik seputar macam-macam teh, penanamannya, serta perkembangan penyajian teh serta upacara meminum teh. Aku melihat gaya shaolin saat mengeringkan teh, yakni menggoreng teh hijau di wajan besar dan membolak-baliknya dengan tangan kosong. Lalu menikmati cara penyajian teh yang dikucurkan dari teko dari ketinggian satu meter serta memperoleh informasi mengenai kebolehan memakan ampas teh hijau yang katanya berkhasiat. Di museum ini ada beberapa foto dari pemimpin dunia yang berkunjung ke sana termasuk Presiden RI Megawati Sukarnoputri dan Ratu Elizabeth.

Setelah menikmati city tour malam itu kami menuju bandara Hangzou yang merupakan bandara domestik namun dengan fasilitas internasional. Sekitar pukul 22.00 waktu RRT pesawat lepas landas menuju Shanghai.

Yellow Mountain (Huangshan)






13 Mei 2007. Setelah urusan di Beijing selesai saya  masih punya satu acara lagi  di Shanghai. Karena waktunya berselang satu dua hari, aku dan rombongan keesokan harinya  mengadakan perjalanan dari Beijing menuju Shanghai. Itu artinya dari  North China (Cina Utara)  menuju Central China (Cina Tengah)  melalu beberapa provinsi.

Pagi-pagi benar bus telah bersiap di depan hotel dan kamipun memulai perjalanan darat memasuki kota-kota dan pedesaan China. Perjalanan dari Beijing rasanya sangat panjang dan lama mungkin kurang lebih mencapai 500 kilo meter. Bus menyusuri jalan tol dan jalan biasa menembus pepohonan bambu yang ditanam rapi, tepian sungai, desa-desa dengan rumah penduduk yang bagus dan rapi, pesawahan yang tidak terlalu subur, pegunungan, kabut tipis dan hutan. Sesekali kami berhenti untuk makan di restoran dengan menu dan bahan pangan lokal yang ditanam petani setempat. (Pemerintah China membagi tanah kepada semua penduduk dan mengharuskan para pengusaha setempat membeli produk para petani). Kami pun berhenti di galeri  yang memproduksi dan menjual batu mulia seperti jade (giok). Tidak lupa pula pemandu mengajak kami ke pusat pengobatan herbal untuk memperoleh pelayanan gratis merendam kaki di air hangat yang telah diberi ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Tentu saja kami membeli produk mereka barang satu atau dua bungkus.

Seingatku destinasi  yang pertama kami kunjungi adalah Huang Shan atau Yellow Mountain. Huang Shan merupakan tempat wisata paling populer di Provinsi Anhui.  Terkenal sebagai pegunungan tercantik di China, bukit-bukitnya yang selalu berkabut mendapat pujian dari para pelukis dan penyair selama ratusan tahun.  Meskipun puncak tertingginya hanya sekitar 6.200 ft (1.900 m) tetapi 70 bukit-bukit granitnya spektakuler untuk dipanjat dan jalan setapaknya sangat terjal dan menantang. Karena waktu kami tidak banyak, alih-alih menapaki jalan setapak yang sudah dibangun permanen, untuk mencapai puncaknya kami menggunakan cable car dari salah satu pintu pendakian.  Melintasi perbukitan karang kami seperti melayang di awan menyaksikan pemandangan jurang-jurang dengan beragam tanaman setempat. Menyaksikan itu aku menahan nafas dan teringat perbukitan marmer di Cipatat yang bukit-bukitnya kian melenyap digusur para pengusaha.  

Setelah turun di shelter bukan berarti sudah sampai di puncak. Kami harus berjalan di jalan setapak yang dibuat permanen sejauh beberapa kilometer sambil menyaksikan vegetasi pegunungan seperti pelbagai macam cemara dan bunga-bungaan yang menawan.  Untuk itu kami harus melewati Huan Ke Song (Welcoming Guest Pine) atau Pinus Penyambut Tamu, yang konon sudah berusia ribuan tahun menyambut tamu yang datang. Waktu kami  tidak lama karena sebelum malam tiba sudah harus tiba di puncak.   Untunglah meski dengan nafas terengah-engah kami pun sampai di puncak. Hebatnya di puncak Huang Shan tersedia akomodasi seperti di Puncak. Hotel-hotel, restoran, toko-toko dan fasilitas lainnya. Penerangan listrik menambah keindahan malam yang dingin. Aku lupa  kami menginap di Lianhua Feng  (Lotus Flower Peak) di ketinggian 6.145 kaki atau Guangming Ding (Brighr Summit Peak) di ketinggiana  6.035 kaki. Kalau nama hotel tempat kami menginap bisa kupastikan bernama Shilin. Fasilitas hotelnya tidak begitu bagus tapi memiliki pemanas ruangan sehingga bisa menjadi tempat istirahat malam itu.

14 Mei 2007. Pukul 03.00 dini hari wake up call membangunkanku. Beberapa orang termasuk diriku bergegas meninggalkan kamar dan dengan berbekal lampu senter dari hotel menyusuri pebukitan menuju Qingliang Tai (Refreshing Terrace) untuk menyaksikan matahari terbit bersama para wisatawan domestik maupun mancanegara.  Ini adalah perjalanan yang terberat kurasakan karena jalan ke menuju puncak sangat terjal, sempit, mendaki, berliku dan berkabut dengan suhu mendekati 0 o  . Namun melihat beberapa wisatawan lokal yang sudah berusia lanjut berjalan dengan santai membuat semangatku meningkat. Belum lagi tetumbuhan dengan aneka bebungaan khas daratan Cina yang indah menambah keinginanku mencapai puncai bertambah. Dengan nafas tersengal-sengal karena kadar oksigen yang menipis akupun dapat menyelesaikan pendakian. Inilah klimaks perjalanan ke Huang Shan atau Gunung Kuning yaitu menyaksikan matarahari terbit. Memang sangat indah. Berbeda dengan melihat matahari terbit di Gunung Bromo yang berada di padang pasir, matahari terbit di Huang Shan muncul di antara banyak bukit yang bersaput awan tipis.

Setelah  kembali ke hotel aku membeli sebuah CD yang memviasualisasikan pemandangan Huang Shan sebagai kenang-kenangan.  Huang Shan memang  gunung yang indah. Tidak mengherankan UNESCO menjadikannya sebagai World Heritage (Warisan Dunia). Hal itu yang menambah daya tarik Huang Shan, belum lagi ada sebuah pernyataan Deng Xiao Ping di sebuah baliho di tempat parkir yang menyatakan bahwa mereka yang belum mendaki Huang Shan belum mengetahui Cina yang sebenarnya.