Senin, 16 Desember 2019

Flores Pulau Bunga

Muhibah Ke Ende.
DECEMBER 4 · PUBLIC
3 Reads
Saat bertugas ke Bali sekitar tahun 2009, saya membulatkan tekad terbang ke Ende di Pulau Flores. Sementara kawan-kawan pulang ke Bandung saya terbang dari bandara internasional I Gusti Ngurah Rai dengan pesawat lokal selama kurang lebih dua jam melintasi pulau Lombok, Sumbawa dan Sumba. Cuaca cerah. Langit biru berawan. Saat itu musim kemarau. Dari ketinggian sesekali nampak laut biru, pulau pulau dan perahu. Sekitar pukul 14.00 WIT pesawat mendekati Pulau Ende yang berbentuk bukit, yang terletak di bagian selatan Pulau Flores. Pilot mengambil ancang-ancang untuk mendarat dengan terbang rendah di atas selat. Pramugari meminta penumpang menegakkan sandaran kursi, memasang sabuk pengaman. Aku terkejut, di depan nampak landasan pendek untuk pendaratan yang berujung pada dinding bukit yang berdiri tegak. Ternyata pilot dengan mahir menurunkan pesawat dan saat roda menyentuh landasan terasa getaran di seluruh badan pesawat sebelum melintasi taxi way dan mendarat dengan sempurna di Bandara El Tari. (El Tari adalah nama salah seorang Gubernur NTT).Dari pesawat saya berjalan kaki melintasi apron menuju pintu masuk bandara. Setelah mengambil koper saya pun menuju pintu keluar dan tiba di halaman parkir bandara. Untuk pertama kalinya saya telah tiba di kota Ende dengan selamat.
Setelah tawar menawar dengan supir taksi saya keluar dari halaman bandara. Taksi memasuki bulevar, melintasi pusat pemerintahan dan tidak berapa lama tiba di sebuah hotel. Hotel ini satu dari dua atau tiga hotel di kota Ende. Saya melakukan check in dan menyimpan tas, lalu ke luar. Tujuan saya adalah ke rumah pengasingan Bung Karno. Dari hotel saya berjalan kaki di jalan yang lengang sekitar beberapa ratus meter dan tibalah saya pada tempat yang saya tuju. Rumah Bung Karno. Sebuah bangunan sederhana bersegi empat yang didominasi unsur kayu dengan atap seng. Halamannya tidak seberapa luas. Saat saya datang tidak ada siapapun di situ. Saya lalu berjalan ke bagian belakang ke sebuah sumur di halaman belakang. Saya bertegur sapa dengan beberapa orang yang tinggal di pemukiman di belakang rumah Bung Karno. Mereka adalah para pedagang batik dari Jawa yang kost di situ. Dari mereka saya memperoleh beberapa informasi. Mereka kadang menginap di rumah Bung Karno pada malam Jumat untuk melakukan tirakat atau meditasi di salah satu ruangan yang diyakini sebagai ruangan ibadah (mushola) yang dulu digunakan Bung Karno. Atas bantuan mereka juga akhirnya penjaga rumah Bung Karno bisa didatangkan dari kota dan saya pun bisa mengeksplorasi rumah Bung Karno tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah dua buah lukisan buatan Bung Karno. Sebuah lukisan menggambarkan sosok perempuan berambut panjang mengenakan kebaya. Satunya lagi sebuah kukisan bersuasana Bali, menggambarkan cita-cita Bung Karno akan sebuah negara Indonesia yang merdeka. Setelah banyak bertanya dan mengisi buku tamu, sayapun meninggalkan Rumah Bung Karno yang dihuni oleh Bung Karno, Ibu Inggit dan Ratna Juami saat Bung Karno dibuang Belanda ke Flores pada akhir tahun 1930-an.

Senja di Ende

Dari rumah pengasingan Bung Karno, saya berjalan kaki menelusuri jalan lengang ke masjid yang dulu digunakan Bung Karno. Saya shalat Dzuhur dan Ashar dengan cara disatukan masing masing dua rakaat. Dari sana saya ke tempat perenungan Bung Karno. Sebuah taman yang kini  dihiasi patung Bung Karno. Di situ ada sebatang pohon sukun. Pohon ini ditanam belakangan. Dulu sekali memang ada pohon sukun di situ, di mana Bung Karno sering duduk di bawahnya, memandang ke laut sambil merenung. Hasil renungan Bung Karno ini saya duga yang kemudian dinamakan Pancasila.
Dari taman Pancasila saya berjalan kaki ke arah pantai, mengunjungi sebuah tempat pesiar di situ. Saya lalu melanjutkan perjalanan ke pelabuhan dan pergi ke dermaga. Ada satu dua kapal menurunkan penumpang dan barang. Di seberang nampak pulau Ende berdiri tegak menjaga kota dan menahan gelombang laut selatan.
Puas menikmati pemandangan laut, saya pergi ke alun alun menyaksikan anak-anak bermain bola. Ini merupakan permainan bola termahal yang pernah kusaksikan, jauh di bagian timur Indonesia.
Masih di senja itu, saya berkeliling kota. Mulanya saya berjalan kaki ke arah pasar mencari satu dua cassette recorder lagu-lagu daerah. Lalu saya menaiki sebuah angkutan kota dan tamasya keliling kota. Supirnya anak muda. Sambil mengemudi dia menggerakkan badannya mengikuti irama lagu yang menghentak. Lampu-lampu kecil di dalam mobil berkelip. Sementara mobil terus melaju mengelilingi kota. Penumpang naik dan turun. Tidak banyak. Hanya satu atau dua saja. Tapi hiburan dalam mobil tetap full. Telinga saya harus bertoleransi dengan suasana hingar bingar angkutan kota di kota Ende. Mata saya mengawasi pemandangan sepanjang perjalanan. Di kota ini ibunda dari Inggit Garnasih-istri Bung Karno-meninggal dan dimakamkan. Orang-orang menyebutnya Ibu Ratu. Di kota ini pula Bung Karno mengembangkan bakatnya menjadi produser sandiwara, menulis naskah, menjadi sutradara sekaligus aktor. Tapi di sini pulalah Bung Karno mendalami agama Islam lewat korespondensinya dengan A. Hasan di Bandung.
Menjelang malam saya kembali ke dekat pantai, memasuki sebuah restoran di tepi laut, memesan makanan sambil mendengarkan musik. Itulah makan malam saya yang pertama di Ende. Setelah itu saya pulang berjalan kaki menuju hotel untuk beristirahat. Besok saya harus bangun pagi pagi benar.

Danau Kelimutu

Seusai solat subuh mobil yang kupesan sudah siap di depan hotel. Pagi ini saya berniat menjelajahi Flores dari selatan ke utara dengan tujuan utama mengunjungi Danau Kelimutu. Saat tiba pak supir -sebut saja Frans- yang merangkap menjadi pemandu bercerita bahwa Danau Kelimutu menyimpan misteri. Kadang saat tiba di puncak gunung kabut turun menyelimuti tiga danau di sana.
Kami pun memulai perjalanan melewati pedesaan  dengan rumah-rumah yang kebanyakan terbuat dari  bambu yang dipipihkan menjadi papan, pesawahan dan sungai yang penuh bebatuan. Setelah sekitar dua jam perjalanan menanjak dan berliku-liku tibalah kami di kaki gunung. Mengambil arah ke kanan, mobil angkutan AKDP yang saya tumpangi berdua dengan Frans terus berjalan mendaki. Frans terus bercerita bahwa Kelimutu merupakan tempat Bung Karno bermeditasi. Bung Karno juga bersahabat dengan pastur ...
Akhirnya kami tiba di pintu masuk Kelimutu. Di pintu gerbang petugas penjaga hutan menghampiri dan membuka perintang jalan. Saya dan Frans turun, berbincang dengan polisi hutan bernama Anton. Ia mendampingi kami berjalan kaki menaiki jalan berundak terbuat dari batu melintasi hutan sambil menceritakan secara detil keadaan alam di sana.
Setelah mendaki undakan demi undakan sekitar setengah jam kami tiba di titik triangulasi. Dari sana kami bisa melihat tiga danau di puncak gunung yang berbeda warna. Ada danau berwarna biru, ada yang berwarna hijau dan ada yang berwarna hitam. Setiap danau memiliki cerita dan kisah tersendiri. Ketiga danau Kelimutu merupakan tempat persemayaman roh-roh. Setiap roh yang keluar dari tubuh akan bersemayam di salah satu danau tergantung pada perilakunya selama hidup di dunia. Ada danau untuk orang-orang baik, dan ada yang untuk orang jahat.
Lepas dari soal kisah dari setiap danau Kelimutu, yang bisa dipastikan adalah bahwa udara di puncak gunung sangat dingin namun pemandangan sangat indah. Fenomenal dan spektakuler. Ketika saya tiba matahari sudah mulai bersinar di ufuk timur. Cahaya cerlang cemerlang. Beruntung langit begitu jernih, tak ada kabut turun seperti yang dikhawatirkan. Menurut Frans, itu pertanda baik. Roh roh yang bersemayam menerima baik kehadiran kami.
Di puncak gunung saya sempat berfoto dengan Anton polisi hutan yang bertugas di Kelimutu dengan lantar belakang danau danau berwarna warni.

Maumere

Saat matahari mulai bersinar dari balik hutan yang mengelilingi danau , saya menuruni gunung lalu meninggalkan Taman Nasional Kelimutu. Tak lupa berbagi nomor ponsel lalu berpamitan dengan pak Anton Molikmenua, polisi hutan yang mengantar saya ke puncak gunung di mana ketiga danau berada. Pak Frans pelan pelan mengemudikan mobilnya menuruni pebukitan hingga bertemu jalan utama. Tujuan saya selanjutnya adalah Maumere.
Setelah bertemu jalan nasional, kami berbelok ke kanan. Mulailah jalan panjang membelah Flores sejauh kurang lebih 150 km menelusuri jalan sempit dengan pebukitan berbatu, hutan, kebun,jurang dan ngarai dialiri sungai di kiri kanan. Meski begitu para supir memacu kendaraan dengan kencang. Kadang saling mengambil jalur dari arah berlawanan. Mobil saling berhadapan, mereka saling berteriak lalu jalan kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Sepanjang perjalanan nampak kebun kebun  di kiri kanan ditanami tanaman coklat. Buah coklat banyak dijemur di tepi jalan. Makam makam keluarga yang dilapisi keramik dibangun di depan rumah. Sepanjang perjalanan ada satu dua penumpang lain yang ikut.
Selain pemandangan pegunungan, hutan, kebun dan pesawahan, Flores memiliki pemandangan pantai yang indah. Sepanjang puluhan kilometer saya melihat lautan Indonesia di sebelah kanan jalan berselang seling dengan pemukiman, kebun, resor, dan restoran. Lautan nampak tenang dan damai. Tidak heran jika seorang dubes dari negara sahabat berkeinginan untuk tinggal di pulau bunga ini setelah pensiun.
Dari Paga perjalanan mengarah ke ... di mana kami beristirahat sekitar setengah jam untuk  makan siang. Dari sini perjalanan berlanjut menuju Sikka yang merupakan pusat kegiatan agama Katolik. Frans Seda, salah seorang menteri di era Suharto berasal dari sini. Dari Sikka perjalanan mengarah ke kiri ke arah utara menembus perkebunan dan kampung-kampung yang rimbun dengan pepohonan. Lewat tengah hari kami memasuki Maumere. Suasana gerejawi sangat terasa. Di mana mana terdapat biara gereja kapel dan seminari. Jika Ende terletak di ujung selatan Flores maka Maumere berada di ujung utara Flores.
Menurut info yang saya peroleh dari internet, Maumere adalah sebuah kecamatan dikabupaten Sikka, sekaligus ibu kota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2007, Kecamatan Maumere berubah namanya menjadi Kecamatan Nelle, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 1 Tahun 2007. Kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 50.000 jiwa (2005). Kota ini pernah diguncang tsunami pada1992 menewaskan lebih dari 900 orang. Maumere menjadi kota terkecil di dunia yang pernah dikunjungi Sri Paus Yohanes Paulus II yakni pada tahun 1989.
Tujuan saya ke Maumere salah satunya adalah berkunjung ke rumah ex Bupati Larantuka. Istrinya adalah sepupu saya sekaligus teman sepermainan saat kami masih remaja. Sudah berpuluh tahun kami tidak bertemu. Sekitar satu atau dua jam saya berada di sana melepas rindu, berbincang soal keluarga dan soal politik. Sayapun kemudian bermohon diri. Sebelum kembali ke Ende saya berkunjung ke pelabuhan menikmati pemandangan laut yang indah dan menyaksikan kegiatan orang naik turun kapal di dermaga. Tidak lupa saya melintasi jalan tempat tinggal keluarga Pareira, karena mereka masih terkait   keluarga.
Jalan yang yang saya lewati saat pulang ke Ende adalah jalan yang sama yang saya lalui tadi. Hanya saja kali ini saya sengaja singgah di sebuah restoran yang tersembunyi di tepi pantai. Tentu saja saya menikmati suasana menjelang senja di tepi pantai sambil tidak lupa mengambil gambar. Sayang gambar-gambar itu tersimpan pada ponsel yang kini hilang.
Hari telah malam ketika saya memasuki kota Ende. Setidaknya saya bisa menikmati suasana malam sebelum beristirahat di hotel. Keesokan pagi saya harus terbang ke Bali sebelum mencari pesawat ke Bandung melalui Surabaya.

Minggu, 28 Juli 2019

Istana Karangasem



Beberapa waktu yang lalu saya bercerita mengenai perjalanan saya ke Nusa Penida untuk meninjau demplot energi terbarukan pada konferensi mengenai perubahan iklim dan lingkungan hidup PBB di Nusa Dua. Saat ferry yang membawa kami dari Nusa Penida mendarat di pelabuhan Padangbai, terbersit pikiran untuk tidak langsung kembali ke Denpasar atau Kuta, melainkan mencari obyek-obyek wisata di sekitar Karangasem. Alih-alih berjalan ke barat kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Inilah cerita mengenai perjalanan itu – yang telah berlalu sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu – yang  sebagian masih saya ingat.

Dengan mengendarai kendaraan roda empat SUV, rombongan sebanyak enam orang , bergerak pelahan menanjak meninggalkan pelabuhan Pandangbai, berbelok ke kanan lalu melaju ke arah timur melalui alam pedesaan yang lengang. Meski sudah sekitar sepuluh kali ke Bali, tapi perjalanan ke timur ini baru sekali kali ini kualami. Seperti jalan-jalan di pulau dewata pada umumnya, jalan ke timur tidak kalah eloknya, kalau tidak mau dikatakan lebih indah. Tidak berapa lama perjalanan mengarah ke bibir pantai.

Candidasa

Inilah Candidasa. Kala itu hari telah menjelang atau melewati tengah hari, namun waktu di pantai Candidasa seperti mengapung dalam senja. Waktu sungguh seperti terhenti dan terlupakan. Seluruh perhatian tercurah pada pemandangan alam yang seperti tercitra dalam mimpi. Di sebelah kanan adalah pantai seluas mata memandang, ada pasir dan batu karang serta deburan ombak ke bibir pantai dengan langit terang dan matahari yang bersinar cemerlang namun tak terasa panas. Di sebelah kiri berjajar deretan kafe-kafe dan restoran seperti terabadikan dalam sebuah foto dalam kartu pos yang biasa kita lihat di toko buku atau halaman kantor pos. Kami berhenti sejenak, menikmati bentang alam, mengambil gambar dan segera berlalu, tak mau berlama-lama, khawatir tersedot ke dalam lipatan waktu dan tidak bisa keluar lagi. Dengan keharuan tanpa meneteskan air mata, kamipun meninggalkan kawasan Candisasa, melaju menuju tujuan yang telah kami tetapkan, istana Karangasem di Amlapura.

Setelah berkendara sekitar setengah jam dari Candidasa, melewati kawasan hijau, jalan yang mendaki dan kebun-kebun yang rimbun, kamipun tiba di Amlapura, dan dari sana kami langsung menuju Istana Karangasem.

Istana Karangasem

Istana Karangasem berjarak sekitar lima km dari kota Amlapura, ibukota Kabupaten Karangasem. Bangunan istana bergaya arsitektur Belanda, sedangkan seni ukir yang menghiasi tempat ini merupakan pengaruh dari budaya Bali. Disamping itu, arsitektur Cina dapat terlihat pada bentuk gerbang, gazebo, dan kolam segi delapan. Istana Karangasem dibangun di atas kolam yang luas, sehingga orang harus melalui jembatan panjang untuk mencapainya. Istana ini milik raja Karangasem, namun kini tidak dihuni, tapi dijadikan semacam museum dan obyek wisata. Waktu kami berkunjung, pengunjung yang datang tidak terlalu ramai, sehingga kami bisa leluasa menikmati keindahan istana yang indah dan megah ini. Di dalamnya masih tersimpan banyak foto-foto keluarga kerajaan dan furnitur antik dan indah milik kerajaan. Karena istana ini memang terletak di tengah-tengah kolam, dan kolamnya itu sendiri terletak di tengah-tengah taman yang luas, maka bisa dikatakan kita berada di istana, istana air, atau taman air. Bisa juga dikatakan kita berada di taman luas dengan kolam air besar di tengahnya di mana ada istana di atasnya. Karena itu kokasi Istana Air Karangasem lebih dikenal dengan nama Taman Ujung.

Taman Ujung

Menurut informasi dari biro perjalanan , Taman Ujung—dinamakan  juga Taman Sukasada—didirikan   oleh raja Karangasem yang bernama I Gusti Bagus Jelantik, beliau bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem. Pembangunan taman ini dimulai pada tahun 1909 dan selesai pada tahun 1921, berfungsi sebagai tempat peristirahatan raja Karangasem dan juga sebagai tempat perjamuan tamu-tamu istimewa kerajaan. Sebenarnya Taman Ujung merupakan pengembangan dari Kolam Dirah yang telah dibangun pada tahun 1901. Ada 3 orang arsitek yang terlibat dalam pembangunan taman ini yaitu Van Den Hentz seorang arsitek dari Belanda, Loto Ang seorang arsitek dari Cina, dan seorang arsitek adat Bali (undagi). Luas taman pada saat itu sekitar 400 hektar, namun sekarang luas Taman Ujung kurang lebih 10 hektar.

Berdasarkan sebuah prasasti yang ditulis di atas batu marmer dalam bahasa Bali dan bahasa Melayu, peresmian Taman Ujung dilakukan pada tahun 1937. Pada tahun 1963 terjadi letusan Gunung Agung, dan pada tahun 1976 terjadi gempa hebat di Pulau Bali. Kejadian ini menyebabkan kondisi Taman Ujung rusak parah. Pada tahun 2001-2003, pemerintah kabupaten Karangasem berusaha untuk merekonstruksi kembali Taman Ujung sesuai dengan bentuk aslinya. Dana untuk rekonstruksi obyek wisata ini didapatkan dari bantuan Bank Dunia.

Setelah puas menikmati dan mengagumi kemegahan bangunan istana, kami menyempatkan berkeliling taman. Mengingat begitu luasnya taman ini, maka mengelilinginya juga menjadi aktivitas olah raga yang sehat dan menyenangkan. Landscape  Taman Ujung setidaknya terdiri dari lima bagian. Pertama tempat parkir, kedua taman kebun yang luas yang mengelilingi kolam air dengan tanaman-tanaman yang tertata rapi, ketiga kolam air luas yang mengelilingi istana, keempat adalah istana air yang menjadi fokus taman ini, dan  kelima adalah sebuah bangunan di lahan tinggi menyerupai benteng dengan sebuah menara.

Begitulah kisah perjalanan kami ke ujung timur Pulau Bali. Entah kapan lagi kami bisa bekunjung ke situ.






Jumat, 26 Juli 2019

Nusa Penida

Nusa Penida Pulau Eksotik Di Tenggara Bali

Pagi itu sekitar tahun 2008, setelah sarapan, dari sebuah hotel kami berangkat menggunakan mobil sewaan meninggalkan keriuhan kawasan Kuta menelusuri jalan by pass menuju arah Gianyar. Selepas Denpasar, pemandangan perkampungan dan pemukiman dan pesawahan terasa menyejukkan mata. Di sepanjang jalan rumah rumah penduduk dengan arsitektur yang khas dan unik yang dipagari tembok berukir dengan pintu gerbang khas Bali.Dari Gianyar perjalanan berlanjut ke Bangli dan Semarapura, dan setelah beberapa jam sampailah kami di pelabuhan Padang Bai.
Siang itu pelabuhan padat oleh mobil bus dan truk yang hendak menyebrang ke Lombok. Kami pun berjalan menuju dermaga, menanti kapal ke Nusa Penida. Sebuah kapal pesiar (cruish) merapat. Para penumpang yang terdiri dari wisatawan berkulit putih turun satu persatu. Di dermaga ada sedikit upacara pengalungan bunga dan sambutan disertai tarian setempat. Banyak juga wisatawan yang ikut menari.
Di pelabuhan, kami singgah di warung untuk minum kopi dan menikmati kudapan, kemudian berjalan jalan untuk mengisi waktu menunggu datangnya kapal. Menginjakkan kaki di pasir putih yang lembut di antara perahu nelayan yang sedang bersandar sungguh mengasikkan. Sementara deburan ombak menerpa pantai. Setelah matahari tergelincir ke barat, kapal yang dinanti pun tiba. Satu per satu kami naik ke dalam dan mencari posisi di dekat jendela. Kapalpun bertolak meninggalkan pelabuhan Padangbai menuju pelabuhan Nusa Penida. Ombaknya lumayan besar. Matahari bersinar terik. Langit biru berawan putih. Laut terbentang sejauh mata memandang sebelum berakhir di horison, bertemu dengan lengkungan langit. Sungguh pesiar yang menyenangkan hati.
Setelah sekitar satu jam mengarungi laut bergelombang besar, menjelang ashar kapal merapat di dermaga pelabuhan utama Nusa Penida. Keluar pelabuhan kami berjalan beberapa ratus meter mencari restoran untuk makan siang. Tidak seperti di Kuta, Nusa Penida tidaklah terlalu ramai. Sehingga kami bisa menikmati makan siang dengan nyaman.Sambil berjalan menuju hotel yang sudah kami pesan sejak dari Kuta, kami mencuci mata di pasar dan membeli satu dua barang seperti baju santai yang nyaman di pakai di udara pantai yang panas.
Hotel yang kami tempati seperti rumah penduduk setempat sehingga suasana Bali atau Nusa Penida benar benar kami rasakan. Rumah penduduk di Bali pada umumnya merupakan suatu kumpulan rumah-rumah tersendiri dengan berbagai fungsi yang dilingkari pagar batu bata merah dengan sebuah pintu gerbang untuk masuk dan keluar. Setiap rumah biasanya dibangun di atas ketinggian tertentu, biasanya sekitar 50 cm dari permukaan tanah. Di bagian depan ada beranda beralas ubin tempat duduk-duduk menikmati udara segar.
Tujuan kami ke Nusa Penida salah satunya dan yang utama ingin melihat lokasi percontohan pengadaan tenaga listrik dengan menggunakan energi terbarukan (renewable energy) baik yang berasal dari tenaga surya (PLTS, pembangkit listrik tenaga surya, solar power), tenaga angin (PLTB, pusat listrik tenaga bayu, wind power) maupun biodiesel (PLTB, pembangkit listrik biodiesel) yang dipusatkan di Kutampi. Letaknya di wilayah perbukitan yang lapang. Di sana kami meninjau panel-panel surya dan kincir angin serta luasan lahan tanaman jarak. Selain dalam bentuk pembangkit listrik juga terdapat penerangan jalan yang menggunakan tenaga surya. Sayangnya semuanya tidak beroperasi secara maksimal bahkan cenderung terbengkelai. Menurut laporan Core dari Universitas Udayana, Denpasar, PLTS yang berada di Nusa Penida memiliki 2 unit, daya maksimum yang seharusnya dapat diperoleh sekitar 30 kWP. “Mengingat kondisi cuaca yang berubah-ubah, PLTS tersebut hanya dapat menghasilkan daya sekitar 15 kWP di kondisi cerah, sedangkan apabila kondisi mendung hanya 5 kWP. Sistem PLTS di pulau ini yaitu sistem On-Grid. Selain PLTS, Nusa Penida memiliki pembangkit listrik tenaga Bayu (PLTB/ wind power). Ada 9 unit PLTB yang dibangun di pulau ini, tetapi sayangnya hanya 1 unit saja yang bekerja maksimal. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi angin yang tidak tetap atau berubah-ubah sehingga 9 unit PLTB tersebut tidak bisa bekerja secara maksimal. Sistem pembangkitan listrik yang ada di wilayah tersebut dipantau oleh PT. PLN Distribusi Bali Area Bali Timur Rayon Klungkung Nusa Penida.”
Sejauh yang kuketahui proyek pembangkit listrik dengan menggunakan energi terbarukan ini oleh pemerintahan SBY saat itu dijadikan pilot project dan dipamerkan kepada delegasi Konferensi Perubahan Iklim PBB yang diselenggarakan di Bali tahun 2007. Konferensi ini digelar sebagai upaya lanjutan untuk menemukan solusi pengurangan efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan membahas mengenai cara membantu negara-negara miskin dalam mengatasi pemanasan dunia. Konferensi kali ini mendapat tekanan untuk segera dapat mencari persetujuan global baru untuk memotong tingkat gas rumah kaca yang terus bertambah. Saat ini dari negara-negara maju emiten karbon utama dunia yang menolak menjadi bagian dari Protokol Kyoto adalah Australia dan AS. Kali ini delegasi Australia di bawah kepemimpinan Kevin Ruud berjanji untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
Berdasarkan laporan yang dapat kutelusuri, dalam diskusi konferensi ada dua pihak yang menentukan yakni penghasil emisi dan penyerap emisi. Konferensi berusaha menengahi untuk memberi nilai pada karbon yang dihasilkan penyerap emisi. Selama ini pembangkit listrik yang menggunakan batubara dinilai lebih murah dinilai lebih murah dibanding pembangkit listrik tenaga geothermal (panas bumi) karena karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara tidak dihitung sebagai biaya yang harus ditanggung. Di sisi lain, akibatnya para pemilik lahan (hutan) yang menjadi penyerap karbon harus bertanggung jawab terhadap keberlangsungan lahannya. Atas dasar kenyataan itu maka diperlukan pendapatan bagi pemilik lahan untuk memelihara lahannya. Pemilik lahan biasanya adalah negara-negara berkembang, sedangkan penghasil karbon adalah negara-negara industri maju. Dengan adanya pendapatan sebagai kompensasi dari negara-negara maju maka negara-negara berkembang bisa memelihara hutannya. Dengan demikian semua pihak bertanggung jawab untuk pengelolaan karbon di bumi. Inilah logika berpikir di belakang kebijakan REDD, reforestation dan CDM.
Setelah puas meninjau lapangan, kami menyempatkan berkeliling pulau melihat-lihat bentang alam Nusa Penida. Nusa Penida adalah sebuah pulau dengan kondisi tanah yang kering berbatu kapur tadah hujan. Penduduk yang tidak begitu banyak populasinya pada umumnya berkebun pada lahan yang berkontur pebukitan. Setelah melewati perkampungan kami menuju tepi pantai Samudra Indonesia. Nusa Penida yang dikelilingi tebing-tebing tinggi yang terjal di sebelah selatan mempertontonkan pemandangan alam yang sangat indah. Dari tebing terjal itu kami bisa melihat lautan biru di bawahnya. Pada dinding terjal itulah terdapat sumber air bersih bagi penduduk setempat yang dikelola perusahaan daerah. Kami pun mencoba menuruni ratusan anak tangga yang menempel di dinding tebing beberapa ratus meter ke bawah untuk menikmati indahnya pemandangan.
Pantai pantai Nusa Penida yang menghadap ke Pulau Bali pada umumnya landai. Beberapa di antaranya dijadikan destinasi wisata khususnya bagi turis manca. Kamipun sempat berkunjung untuk menikmati keindahan pasir putihnya. Beberapa kapal datang berlabuh menurunkan penumpang untuk berwisata. Kapal pesiar ini khusus datang dari Pelabuhan Benoa di Denpasar. Tidak seperti pantai Kuta, Seminyak, Sanur atau Lovina di Pulau Bali, pantai-pantai di Nusa Penida cukup tenang dan tidak riuh dengan keramaian sehingga kita bisa benar-benar menikmati keindahannya.
Malam itu kami menginap semalam di Nusa Penida karena ingin mengetahui apakah lampu-lampu penerangan jalan di Nusa Penida menyala seperti yang diharapkan. Karena itu malam itu kami berkendara ke jalan-jalan yang lengang dan melihat memang lampu-lampu yang menggunakan panel tenaga surya masih menyala.
Keesokan harinya setelah menikmati sarapan pagi kami berkemas dan bergegas ke pelabuhan. Mengenakan baju pantai dan sepasang sendal jepit yang kubeli di pasar kemarin, aku merasakan suasana piknik yang sesungguhnya. Sampai di pelabuhan kami masih menunggu keberangkatan kapal lebih dari satu jam. Mengisi waktu lebih dari 60 menit, aku dan kawan-kawan berjalan-jalan di sekitar dermaga. Kami menyusuri pasir putih, duduk di antara perahu nelayan yang berwarna-warni, menikmati udara pantai di pagi hari yang segar. Tidak lupa tentunya kami mengambil foto suasana pelabuhan dan pantai dengan laut yang berombak tenang dan langit yang biru. Kawanku, Beni, seorang apoteker, selalu membawa tustel dan memotret dengan kesungguhan seperti layaknya fotografer sejati. Sesi foto selesai saat waktu kapal menjelang berangkat ke Pulau Bali.
Ketika peluit berbunyi, perlahan-lahan kapal mulai meninggalkan dermaga. Nusa Penida kami tinggalkan. Rasanya seperti mimpi. Nusa Penida memang tidak seseronok Pulau Bali tetapi memberi kesan tersendiri pada diriku. Dalam waktu beberapa puluh menit, Nusa Penida hilang dari pandangan. Gelombang laut makin lama makin tinggi. Udara pun makin terasa panas. Para penumpang banyak yang pindah mencari tempat yang menurut mereka lebih nyaman untuk menikmati pemandangan maupun udara yang lebih segar. Kapal yang kami tumpangi terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Lantai kedua untuk kursi para penumpang. Lantai ketiga terletak di bagian atap yang lebih terbuka. Setelah berlayar kurang lebih satu jam, perahu merapat ke dermaga pelabuhan Padang Bai. Kami pun kembali ke Pulau Bali.
---
Beberapa Catatan :
1. REDD
Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+) is a mechanism developed by Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). It creates a financial value for the carbon stored in forests by offering incentives for developing countries to reduce emissions from forested lands and invest in low-carbon paths to sustainable development. Developing countries would receive results-based payments for results-based actions. REDD+ goes beyond simply deforestation and forest degradation and includes the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks.belakang kebijakan REDD, reforestation dan CDM.
2. CDM
The Clean Development Mechanism (CDM), defined in Article 12 of the Protocol, allows a country with an emission-reduction or emission-limitation commitment under the Kyoto Protocol (Annex B Party) to implement an emission-reduction project in developing countries. Such projects can earn saleable certified emission reduction (CER) credits, each equivalent to one tonne of CO2, which can be counted towards meeting Kyoto targets.
The mechanism is seen by many as a trailblazer. It is the first global, environmental investment and credit scheme of its kind, providing a standardized emissions offset instrument, CERs.
A CDM project activity might involve, for example, a rural electrification project using solar panels or the installation of more energy-efficient boilers.
The mechanism stimulates sustainable development and emission reductions, while giving industrialized countries some flexibility in how they meet their emission reduction or limitation targets.
3. Reforestation
Reforestation is the natural or intentional restocking of existing forests and woodlands (forestatiton) that have been depleted, usually through deforestation. Reforestation can be used to rectify or improve the quality of human life by soaking up pollution and dust from the air, rebuild natural habitats and ecosystems, mitigate global warming since forests facilitate biosequestration of atmospheric carbon dioxide and harvest for resources, particularly timber, but also non-timber forest products.

Senin, 04 Februari 2019

Peninggalan Kerajaan Buton

Sekitar Tahun 2009 Setelah menginap semalam, aku dan kawan-kawan bergegas meninggalkan penginapan menuju pelabuhan Kendari. Jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel. Sekitar lima kilometer saja. Di dermaga suasana sudah ramai dengan orang yang akan berlayar ke berbagai kota di berbagai pulau. Kapal yang akan kami tumpangi sudah menunggu. Cuaca cerah. Langit biru. Matahari baru terbit saat kapal yang kami tumpangi berlayar. Tujuan kami adalah kota Bau-Bau di Pulau Buton. Berlayarlah kapal di laut biru melewati puluhan pulau pulau kecil di kiri kanan. Kami yakin kapal akan benar-benar mengantar ke pulau tujuan. Setelah beberapa jam perjalanan, menjelang tengah hari kapal tiba di pelabuhan Raha di Pulau Muna. Alih-alih melanjutkan perjalanan sang nakhoda memutuskan kembali ke Kendari karena kebanyakan penumpang turun di Raha. Apa boleh buat kami memutuskan mendarat di Raha daripada kembali ke Kendari. Dari dermaga kami menuju kota, singgah sebentar untuk istirahat lantas berputar-putar naik angkutan kota menjelajahi kota yang tidak seberapa luasnya. Begitulah Pelra (pelayaran rakyat), nakhoda kapal bisa menurunkan penumpang begitu saja dengan alasan ombak besar. Apa boleh buat. Akupun menikmati keadaan, menikmati kemewahan menyantap ikan bakar di restoran terbaik kota itu lantas berkeliling kota dengan kendaraan umum, dan di sepanjang jalan melihat tanaman jati nyaris memenuhi kota seperti di Cepu. Jati dari Pulau Muna nyaris menutupi daratan kota Raha. Bentuk pohon jatinya sangat bagus. Tinggi besar dan lurus. Jati dari sini memang terkenal bagus kualitasnya. Supir angkutan kota bercerita bahwa jati Muna akan membawa sial bagi orang-orang yang serakah. Faktanya memang demikian. Jati makin berkurang tanpa ada pengganti sementara penduduk Raha juga tidak beranjak sejahtera. (Kemudian ada berita Raha kekeringan). Kami beruntung pada petang hari itu ada kapal ke Bau-Bau dan dengan penuh perasaan syukur kamipun melanjutkan pelayaran di senja hari. Selepas maghrib kapal yang kami tumpangi dari Raha tiba di pelabuhan Bau-Bau, Pulau Buton, dan kamipun segera menuju hotel. Setelah mandi dan melaksanakan shalat isya kami menyewa mobil angkutan kota untuk berkunjung ke pusat pemerintahan Kabupaten Buton. Setelah berkeliling kami melanjutkan perjalanan ke istana Kerajaan Buton yang terletak di perbukitan. Menurut catatan sejarah, sejak tahun 1580 Kerajaan Buton menjadi kerajaan Islam. Hingga kini kerajaan Buton masih dilestarikan sebagai warisan budaya (cultural heritage). Komplek istana kerajaan dilindungi benteng tinggi yang menghadap ke laut lepas. Moncong meriam diarahkan ke laut karena dari sanalah musuh diperkirakan datang. Kemegahan keanggunan dan keindahan istana kerajaan masih bisa kunikmati meski di malam hari. Sebuah tiang bendera terbuat dari kayu gelondongan utuh dengan ukuran lebih tinggi dari pohon kelapa berdiri tegak di halaman istana. Di dekat situ berdiri masjid kerajaan dan tak jauh dari situ ada kediaman raja. Dari ketinggian komplek istana kami bisa melihat kelap kelip lampu kota dan pelabuhan di bawah. Setelah berkeliling di kompleks istana kerajaan kami turun ke kota dan kemudian menuju pantai. Malam itu, di pantai, panitia sibuk menyiapkan acara karena esok hari Presiden SBY akan datang untuk membuka Festival Laut Buton. Setelah melihat-lihat kamipun kembali ke penginapan. Keesokan harinya, selepas waktu subuh, kami bergegas ke pelabuhan. Pagi hari di pelabuhan Bau-Bau sungguh menarik hati. Cuaca cerah sekali. Kapal laut telah menanti, membawa kami ke Kendari. Penumpang memenuhi semua kursi kapal bahkan beberapa di antaranya tidak mendapat kursi. Barang bawaan mereka cukup banyak. Selain membawa koper dan tas, mereka membawa barang dagangan dan oleh-oleh. Di sebelah ku duduk Wa Ode. Wa Ode adalah gelar untuk bangsawan perempuan. Sedangkan La Ode gelar untuk bangsawan laki-laki. Pelayaran pun berjalan lancar. Pada tengah hari kami telah tiba di Kendari ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Kami langsung menuju bandara Haluoleo untuk terbang ke Makasar dan kemudian kembali ke Jakarta.

Rabu, 30 Januari 2019

Semalam Di Kendari.

Pada kunjunganku yang ketiga Makasar, kang Dadang Naser dipanggil Danas (sekarang Bupati Bandung) mengajak kami ke Kendari. Beliau ingin mengunjungi warganya yang bermukim di sana. Kang Danas saya kenal sejak ia masih bujangan dan menjadi Ketua KNPI Kabupaten Bandung. Waktu itu kami sering bertemu di lapangan upacara Upakarti. Belakangan ia menjadi menantu Pak Obar Sobarna, Bupati Bandung. Pak Obar adalah kenalanku sejak sama-sama aktif di Komisi B DPRD Kabupaten Bandung. Ia dari Fraksi ABRI dan saya dari Fraksi PDI. Jadi aku berteman dengan mertua dan mantunya. Setelah kawan-kawan kembali ke Jakarta, maka kami pun terbang ke Kendari. Pada sore hari pesawat mendarat dengan mulus di bandara Halu Oleo. Dengan mengendarai minibus kami menuju kota. Di mesjid raya Kendari kami melaksanakan sholat dzuhur dan ashar. Mesjid raya sangat besar dan megah dan menjadi landmark kota Kendari. Usai shalat kami melanjutkan perjalanan mengarah ke pantai. Kami bersepakat menginap di pantai alih alih di pusat kota. Setelah memasuki beberapa hotel kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel Melati yang langsung menghadap ke pantai. Usai membersihkan badan dan melaksanakan shalat maghrib kami menyebrangi jalan dan tiba di pantai Kendari yang indah. Cahaya ribuan lampu dari pelabuhan dan kapal yang berlabuh di dermaga di kejauhan menerangi langit malam. Angin berembus dari sela-sela pepohonan rimbun di sepanjang pantai. Pantai ramai oleh orang-orang yang pesiar. Kami berjalan jalan sepanjang pantai berpasir lembut sebelum akhirnya memasuki sebuah tenda warung makan. Warung-warung makan di pantai Kendari menyajikan sea food dari laut setempat. Ikan cumi kepiting dan kerang direbus, digoreng atau dibakar sesuai selera. Aroma dari ikan yang dibakar memenuhi udara mengundang selera. Pemesan bisa menambahinya dengan saus atau potongan cabai, tomat dan bawang sesuai selera. Semua bahan disajikan di meja dan pemesan bisa mengiris-iris sendiri cabai bawang dan tomat itu sesuai keinginannya. Begitulah kami menikmati makan malam yang pertama di kota Kendari. Malam itu dengan menggunakan angkutan kota kami berjalan-jalan ke kota. Jaraknya beberapa kilometer saja dari pantai. Sampai di pusat kota kami memilih berjalan-jalan di trotoar menyaksikan aktivitas malam penduduk kota. Konsentrasi anak-anak muda terpusat di sebuah lapangan. Mereka bermain sepatu roda, memanjat dinding buatan dan ada pula yang bermain musik. Tempat ini awalnya disiapkan untuk penyelenggaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Setelah MTQ usai, spot-spot yang ada digunakan untuk akrivitas anak-anak muda. Menjelang tengah malam kami pulang kembali ke hotel. Esok pagi kami akan ke pelabuhan sementara Kang Dadang akan ke luar kota sejauh beberapa ratus kilometer mengunjungi sebuah pesantren. Pesantren itu didirikan dan dikelola seorang Kiyai asal Ciparay, Kabupaten Bandung. Pak Kiyai awalnya bersekolah di Universitas Kerajaan Arab Saudi dengan bea siswa pemerintah kerajaan. Setelah lulus ia sempat menjadi imam masjid di Arab Saudi. Kemudian dengan sponsor kerajaan ia mendirikan pondok pesantren di pedalaman Sulawesi Tenggara. Kini pesantren itu sudah mulai berjalan. Ini adalah kali pertama aku menginap di pantai Kendari. Kendari adalah ibukota Sulawesi Tenggara. Meski ibukota provinsi tetapi tidak begitu besar. Meskipun demikian di sini tersedia lembaga pendidikan tinggi milik negara seperti Universitas Haluoleo dan Universitas Islam Negri. Salah seorang gubernurnya yang populer bernama Lamajido, sama terkenal dengan Pak Noer di Jawa Timur atau Mang Ihin di Jawa Barat. Anak Pak Lamajido, Andy, sempat bersama-sama denganku mengikuti Sekolah Kader Partai di Bogor. Kini ia menjadi anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan. Saya dengar langsung darinya, anak bung Andy bersekolah di Pesantren Az-Zaytun di Indramayu. Pesantren Az'Zaytun adalah pesantren besar dengan ribuan santri dari seluruh Indonesia yang kebanyakan adalah anak orang kaya dan terpandang.

Sabtu, 19 Januari 2019

Bunaken Tempat Wisata Berkelas Dunia

Bunaken adalah suatu tempat wisata laut--khususnya untuk menyelam--yang terkenal di dunia. Letaknya di Indonesia tepatnya si Sulawesi Utara. Nah kesanalah aku jadinya. Sekitar tahun 2005. Untuk sampai ke Bunaken aku harus ke Menado terlebih dahulu. Maka aku dan beberapa kawan berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, menuju Bandara Sam Ratulangi menggunakan pesawat low cost carrier. Aku sudah lupa apakah itu penerbangan non stop atau memerlukan transit di Surabaya dan Makasar, yang kuingat siang itu kami tiba di Bandara Sam Ratulanggi. Masih terpatri dalam ingatanku saat mendarat terlihat olehku landasan pacu dikelilingi pohon nyiur melambai di kejauhan, mengingatkanku pada Bandara Colombo di Srilangka. Selain itu tempat kedatangan dan keberangkatan Bandara Sam Ratulangi dipenuhi ornamen khas ukir-ukiran dari kayu berciri Minahasa sehingga memberi kesan unik. Setelah keluar dari bandara kami menyempatkan makan siang di sebuah restoran yang bangunannya terbuat dari kayu, tidak jauh dari bandara. Restoran ini menyajikan makanan khas Minahasa seperti berbagai macam olahan ikan dengan bumbu rempah yang pedas. Suasana Menado sudah mulai terasa saat bertemu orang-orang sejak di bandara hingga restoran. Mereka pada umumnya berkulit kuning berbeda dengan kulit kami yang kecoklatan. Bahasanya mirip bahasa Melayu dengan dialek yang khas. Setelah makan siang kami hendak bertemu dengan para pemangku kepentingan. Di perjalanan kami melihat patung Yesus yang sangat besar di suatu bukit seperti sebuah tanda bahwa Menado memang kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Meski begitu kami bisa menemukan masjid di tepi jalan saat hendak melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar. Saat bertemu dengan para pejabat provinsi Sulawesi Utara dan para stakeholders (pemangku kepentingan) seperti organisasi lingkungan hidup, LSM dan pemerintah desa, kami mendapat beberapa informasi bagaimana mereka melakukan upaya untuk menyelamatkan lingkungan hidup Bunaken. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara membuat Perda (Peraturan Daerah) yang memberi peran kepada Pemerintah Desa untuk menjaga kelestarian ekosistem laut Bunaken. LSM-LSM termasuk NGO dari luar negri ikut terlibat dalam penyelamatan dan pelestarian Bunaken. Masalah yang muncul di Bunaken adalah rusaknya terumbu karang akibat aktivitas ekonomi yang tidak mempedulikan kelestarian alam. Terumbu karang Bunaken merupakan salah satu yang terindah di dunia. Banyak orang dari dalam dan luar negri datang menyelam untuk melihat keindahan terumbu karang yang merupakan habitat dari bermacam-macam ikan yang indah dan langka. Kini terumbu karang tersebut rusak oleh peralatan dan bahan-bahan kimia yang digunakan oleh para nelayan. Dengan menggunakan boat kami melakukan short trip (kunjungan singkat) ke laut Bunaken. Kami berangkat dari dermaga Menado menuju Pulau Menado Tua di mana Bunaken berada. Dari jauh gunung di Menado Tua nampak sangat indah. Boat yang kami tumpangi berhenti di perairan Bunaken. Tanpa menyelam kami bisa melihat dasar laut karena pada dasar boat diberi semacam jendela dari kaca. Dari situ kami bisa melihat keindahan terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni bermacam bentuk sedang bersliweran. Sungguh pemandangan bawah laut yang luar biasa indahnya. Setelah puas menyaksikan pemandangan bawah laut Bunaken, boat bergerak kembali ke Menado. Dalam perjalanan, kami memang melihat boat dari coast guard (penjaga pantai) berpatroli di pantai Bunaken. Dengan menggunakan pengeras suara para pengawas pantai menegur orang-orang yang dianggap tidak peduli pada keselamatan ekosistem. Mereka berasal dari desa-desa di Bunaken. Sore itu kami tiba di dermaga Menado. Kami pun menikmati suasana Boulevard, suatu tempat hang out yang terkenal di kota Manado. Ada anekdot Menado terkenal dengan 3B nya yaitu Boulevard, Bubur dan Bibir. Boulevard tempat berkumpulnya orang Menado terutama di sore dan malam hari. Letaknya di tepi pantai. Bubur Menado terkenal karena bahan dan cita rasanya. Bibir menggambarkan kecantikan gadis-gadis Menado. Tapi yang selalu kuingat adalah pisang koreng kipas di samping hotel tempatku menginap . Pisang goreng yang dimakan dengan saus sambal pedas. NGO (non governmental organization) luar negeri memang sungguh aktif berkampanye untuk kelestarian alam Bunaken. Di lobby hotel mereka memasang poster untuk menggalang dana. NGO ini berpusat di Jerman. Jadi penyelamatan Bunaken sudah menjadi isu internasional. Saat hendak kembali ke Jakarta, aku sempat berkeliling di bandara yang cukup ramai. Aku menemukan beberapa buah buku karya penulis setempat. Ada dua atau tiga buku kubeli. Salah satunya mengenai kapitalisme lokal orang Bugis Mandar Makasar.Keinginanku untuk menyebrang ke Davao tak menjadi kenyataan karena lupa membawa paspor. Kini di era Presiden Jokowi ada pelayaran kapal roro Davao (Filipina) - Bitung (Indonesia). Aku ingin sekali mencoba pelayaran ini. Sudah terbayang olehku keindahan laut sepanjang pelayaran ini.

Kamis, 17 Januari 2019

Buaya-buaya Hitam di Pelabuhan Nunukan


Kisah ini terjadi di sekitar tahun 2004. Pada saat itu saya bersama beberapa orang kawan melakukan penelusuran jalur buruh migran dari Indonesia ke negara tetangga, Malaysia. Pada subuh pagi itu kami bergegas ke bandara Husein. Selagi boarding, di lounge kami menyempatkan sarapan pagi, secangkir kopi panas dan sepotong roti isi coklat manis. Tak lama kemudian kami memasuki pesawat Citilink yang segera tinggal landas ke Surabaya. Matahari sudah terbit gilang gemilang ketika kami tiba di bandara Juanda. Ada waktu transit sekitar satu jam, maka kami pun turun tanpa membawa barang bawaan. Di dalam bandara kami sempat berjalan jalan di selasar. Seperti biasa aku mencari toko buku dan membeli sebuah buku untuk oleh oleh. Tidak lama kemudian kami pun masuk ke pesawat melalui garbarata. Pesawat tinggal landas, melayang layang di atas tambak ikan dan kemudian memasuki awan meninggalkan laut biru di kejauhan. Satu satu penumpang tertidur. Pesawat menyebrangi Laut Jawa menuju Pulau Kalimantan.
 Matahari sudah mulai meninggi saat pesawat Citilink mendekati jazirah Kalimantan. Daratan yang hijau kebiruan sudah nampak di depan mata. Aliran sungai-sungai nampak berwarna kemerahan dan membentuk delta-delta. Awan tipis mengapung. Tidak lama kemudian landasan bandara Balikpapan terlihat di tepi laut yang biru. Pemandangan yang indah. Pesawatpun menukik dan roda rodanya mulai menyentuh landas pacu menimbulkan suara gemuruh dan getaran yang keras. Aku merasakan dadaku bergemuruh. Akhirnya pesawat mendarat dengan sempurna tiba di landasan kemudian berputar ke apron. Penumpang bergegas turun. Sekali lagi transit selama satu jam. Bandara Supadio Balikpapan menjadi salah satu bandara yang kusuka. Letaknya di tepi pantai berlaut biru dengan buih ombak putih yang berlarian menuju pantai. Dikellilingi pepohonan hijau bandara ini nampak indah jika dilihat dari jendela pesawat. Pesawat yang take off atau landing akan melewati bibir pantai dan laut yang biru. Keindahannya nyaris menyamai Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar. Memang bandara Ngurah Rai lebih dramatik karena landasan pacunya sengaja dibuat menjorok ke laut dengan cara mereklamasi pantai. Selain itu jika hendak mendarat di Bandara Ngurah Rai pesawat harus melintasi jalan raya yang ramai dengan lalu lintas karena menghubungkan Kuta dan Nusa Dua. Setelah transit pesawat Citilink menerbangkan kami ke tujuan terakhir yaitu Tarakan. Kami tiba di bandara Tarakan pada petang hari menjelang ashar. Dari udara kota Tarakan nampak ramai. Pemukiman dan pusat perdagangan nampak padat. Kota Tarakan terletak di tepi pantai sama seperti kota Balikpapan. Begitu mendarat kami langsung menuju kantor walikota. Pak Walikota yang keturunan India menceritakan bagaimana caranya mengelola kota yang banyak didatangi pendatang dari seluruh Indonesia. Ia mengatur masalah kependudukan secara ketat karena jika tidak demikian maka daya dukung kota Tarakan yang tidak terlalu besar tentu tidak akan mampu menghidupi penduduknya. Setelah mendapat gambaran mengenai pola urbanisasi dan mobilisasi penduduk dari berbagai pulau ke Tarakan lalu menyebrang ke Malaysia, kami pun pamit. Malam itu kami berkeliling kota dan mengunjungi tempat pengeboran minyak. Tarakan adalah penghasil minyak bumi sejak zaman Belanda. Sisa-sisa pengeboran minyak masih ada dan sebagian masih berfungsi menyedot minyak dari bumi. Malam itu hujan deras dan angin kencang melanda kota Tarakan. Tiba-tiba aliran listrik terputus dan kota gelap gulita. Pelayanan listrik di Tarakan memang belum sebaik di Pulau Jawa. Jadi jika listrik byar-pet itu sudah dianggap biasa. Setelah sarapan pagi kami berangkat ke pelabuhan. Dengan menaiki sebuah ferry kami berangkat ke Nunukan. Nunukan sebuah kota paling utara di Kalimantan yang berbatasan dengan negara Malaysia. Perjalanan atau tepatnya pelayaran ke Nunukan melalui banyak pulau pulau kecil, delta, muara sungai dan laut lepas. Nyaris tidak ditemui pemukiman penduduk. Hanya ada satu dua pos keamanan yang dijaga Angkatan Laut. Selebihnya hutan. Perairan nampak berwarna kecoklatan. Sesekali ada kapal. Ada juga gelondongan kayu mengapung di permukaan laut. Setelah berlayar beberapa jam tibalah kami di dermaga pelabuhan Pulau Nunukan. Kami bertemu dengan pejabat setempat kemudian berkunjung ke beberapa tempat penampungan tenaga kerja yang menyebar di Nunukan. Ternyata para calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau BMI (Buruh Migran Indonesia) ke Malaysia berasal dari berbagai pulau di tanah air. Di Nunukan mereka dibuatkan paspor oleh para agen penyalur. Banyak yang menggunakan data yang dipalsukan seperti asal, nama dan umur. Banyak dari mereka menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menyebrang ke Malaysia. Ada yang ingin kembali namun tidak mempunyai bekal. TKI biasanya menyebrang dengan menggunakan kapal atau perahu ke Tawau meski ada juga yang melalui darat. Pada umumnya mereka bekerja di negara bagian Sabah. Banyak dari TKI yang pergi mencari kerja di Malaysia tidak menggunakan dokumen yang lengkap. Mereka dipekerjakan di perkebunan dengan gaji tidak memadai. Pada saat kami ke Nunukan, banyak TKI dipulangkan dari Malaysia. Ini menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah Nunukan, Tarakan dan Kalimantan Timur. Itu sebabnya mereka mengimbau agar pemerintah daerah di seluruh Indonesia ikut membantu dalam menyediakan anggaran bagi pemulangan TKI. Setelah berkeliling ke tempat tempat penampungan TKI, sore itu juga kami berniat kembali ke kota Tarakan. Karena jadwal pelayaran ferry untuk sore hari sudah tidak ada maka kami menelpon teman kami di Tarakan untuk mengirim kapal. Sore itu kami pergi pelabuhan Nunukan. Saat kami datang kami melihat ada ferry dari Tawau, yang membawa penumpang dari Malaysia. Di antara mereka ada buruh yang pulang atau dipulangkan dan ada juga orang-orang Malaysia. Rupanya pelayaran dari Tawau selalu dipenuhi penumpang. Kebanyakan para TKI yang mudik atau yang dipulangkan oleh pemerintah Malaysia. Ada juga mereka yang berbisnis antar negara. Kini semakin banyak orang Malaysia berbisnis di Kalimantan terutama dalam bisnis pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sore itu ada yang menarik perhatian di pelabuhan Nunukan. Saat kami berjalan ke dermaga mata kami terpaut pada sebuah kapal besar bercat putih yang sedang bersandar. Itu kapal Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia). Kapal sedang menunggu jadwal keberangkatan ke Pulau Jawa. Di pelabuhan Nunukan yang berukuran kecil dengan kapal ferry dan perahu bermotor ukuran kecil, kapal milik Pelni nampak sangat besar dan menjadi tontonan bagi penduduk setempat. Pelabuhan di luar Pulau Jawa pada umumnya tidak terpisah secara tegas dari pemukiman. Dari pelabuhan bisa menyaksikan kegiatan penduduk dan sebaliknya penduduk bisa melihat kegiatan di pelabuhan. Demikian juga dengan pelabuhan Nunukan. Sore itu cuaca cerah di pelabuhan. Saat kami menunggu dan mengopi di dermaga kami bisa melihat pemandangan ke arah daratan. Di sebrang sana ada perkampungan penduduk. Rumah panggung mereka persis di bibir pantai bahkan menjorok ke laut. Kebanyakan penduduk sedang santai di serambi rumah mereka atau di balik jendela yang terbuka lebar. Laut mulai pasang. Sekonyong-konyong nampak ada makhluk hidup keluar dari arah laut dan bergerak ke daratan berpasir. Satu -satu mereka mendekat ke arah pemukiman. Ternyata sekawanan buaya. Kami yang berada di dermaga melihatnya dengan takjub. Buaya-buaya berwarna hitam itu berkeliaran ke sana kemari di bawah rumah penduduk. Tapi nampaknya para penghuni rumah di atasnya tidak panik dan mereka membiarkan saja buaya-buaya itu muncul ke permukaan. Bagi kami yang sedang menunggu di dermaga, kemunculan buaya-buaya tersebut menjadi hiburan tersendiri. Akhirnya kapal yang kami tunggu tiba. Kami pun memasukinya satu demi satu. Tidak lama kemudian kapal meninggalkan dermaga, bertolak menuju Tarakan. Senja berganti malam. Laut nampak gelap. Hanya suara mesin kapal kami memecah keheningan. Cahaya lampu dari kapal memantulkan riak gelombang laut. Sesekali kami berjumpa dengan kapal atau perahu yang lain. Atau melihat cahaya lampu kapal di kejauhan. Di tengah perjalanan lampu padam. Mesin tak bersuara. Supir kapal terjun ke air dalam gelap memeriksa buritan. Ternyata baling-baling patah. Ia segera menggantinya. Kapal pun berlayar kembali. Tiba-tiba hujan turun. Sekali lagi mesin kapal mati. Kapal terombang ambing gelombang. Kami pun menjadi cemas. Dalam kesunyian dan kegelapan semua penumpang berdoa. Sekali lagi pengemudi kapal mencebur ke laut dan memeriksa kondisi kapal seorang diri. Agak lama ia mencoba menghidupkan mesin namun tidak berhasil. Sebuah kapal yang agak besar mendekat dan nakhodanya menawarkan bantuan. Supir kapal kami menolak dan mengatakan bisa mengatasi keadaan. Kapal itupun berlalu. Laut kembali sunyi. Gelap menyelimuti. Teman kami di Tarakan menelpon kami karena sudah selarut itu kami belum tiba. Setelah beberapa waktu, akhirnya mesin bisa dihidupkan kembali. Kapalpun bergerak menuju pelabuhan Tarakan. Menjelang tengah malam kami tiba di pelabuhan. Kami bersyukur selamat sampai tujuan. Keesokan harinya kami meninggalkan Tarakan kembali ke Bandung. Aku tidak bisa melupakan peristiwa yang kami alami selama perjalanan.

Selasa, 15 Januari 2019

Menjelajahi Kawasan Karst Maros

Sebelum meninggalkan Makasar kawan saya Andi Baso mengajak saya dan tiga kawan saya : Anton, Beni dan Risa berpetualang ke luar kota Makasar. Tepatnya ke Kabupaten Maros. Jaraknya berkisar sekitar 25 km dari kota Makasar. Di tengah perjalanan kami diminta turun dari mobil dan mobilnya pergi entah kemana. Saat itu hujan baru saja mengguyur bumi. Jalan raya pun nampak berair. Di sana sini becek. Andi mulai mengajak kami memasuki sebuah jalan desa. Mulanya kami masih bisa bersepatu. Dari jalan desa kami memasuki jalan setapak yang berbatu putih seperti kapur atau marmer. Kami pun meninggalkan kampung. Di kiri kanan hanya sawah yang terbentang. Tanaman padi yang menghijau subur di antara petak petak sawah yang berair jernih sungguh menyejukkan mata. Oh ternyata Andi mengajak kami menelusuri pematang sawah. Kamipun mulai melepas sepatu dan menjinjingnya. Jalan yang kami tempuh pada treking kali ini makin lama makin menyempit. Juga semakin menjauh dari pemukiman. Di depan kami beberapa tegakan batu karang menghadang. Tiba tiba saya mereka telah berdiri tegak di depan kami. Tingginya mendekati tinggi pohon kelapa. Warnanya bercampur antara hitam dan putih. Kadang ditumbuhi pepohonan perdu atau pakis-pakisan. Batu karang ini kadang berdiri tegak sendirian seolah olah muncul begitu saja dari bumi tapi kadang berhimpun dalam kerumunan. Kami pun berjalan di sela sela batu karang itu. Rasanya seperti di planet lain. Alam membentuk batu karang itu menjadi beraneka rupa. Ada yang seperti candi ada yang berbentuk gua ada pula yang menyerupai wajah makhluk hidup. Keberadaan batu batu karang di antara rimbun pepohonan dan hamparan sawah yang menghijau serta perbukitan di kejauhan serta langit biru, menjadi semacam lansekap yang indah. Kami pun terkagum kagum melihatnya dan tak kuasa untuk tidak mengabadikannya dalam kamera. Kami pun meninggalkan gundukan batu karang itu menuju dinding bukit karst di depan. Ke sanalah kami menuju. Treking kami ini menjadi semacam kampanye untuk menyelamatkan bukit karst Maros dari penghancuran oleh pabrik semen yang kilang-kilangnya sudah mulai terpasang dan beroperasi. Perjalanan kami semakin berat dan melelahkan. Pesawahan mulai kami tinggalkan. Kami berjalan di antara kolam kolam ikan yang dubuat penduduk. Meski begitu tak tampak ada pemukiman. Jalan yang licin dan becek membuat kami sesekali tergelincir dan tercebur hingga basah kuyup. Akhirnya kami mendekati perbukitan dan memasuki hutan berair yang dipenuhi pohon kirai. Pohon ini seperti pohon kelapa namun tidak terlalu tinggi. Bukit bukit karst di depan kami seperti dinding benteng yang kokoh dilapisi oleh tumbuh tumbuhan yang lebat. Kami jadi seperti makhluk kecil di tengah alam raya. Aku merasa ini adalah bagian terakhir perjalanan yang paling berat. Tak dinyana ternyata setelah melewati hutan dan rawa rawa tiba tiba di depan kami ada sebuah rumah pangung. Seperti diperintah kami berhambur ke situ. Tuan rumah menyambut kami dan mempersilakan kami naik ke rumahnya. Setelah membersihkan diri kamipun menaiki tangga rumah itu dan saat tiba di serambi depan kamipun langsung duduk lesehan beralas tikar di atas lantai kayu. Betapa senangnya. Kami saling berkenalan dan bercakap-cakap sambil menikmati minuman panas dan kudapan yang telah disediakan. Tidak lama kemudian tuan rumah mengajak kami ke dalam dan ternyata dia sudah menyiapkan makanan untuk kami santap. Bermacam-macam menu masakan dari ikan tersedia dan kami pun menikmatinya dengan lahap. Ternyata Andi Baso telah menyiapkan perjalanan ini dengan sempurna. Sayang kami tidak menginap di situ. Kamipun harus berpamitan untuk pulang. Meski tidak lama kami singgah di situ tapi sungguh sangat berkesan dan tidak pernah terlupakan. Kami meninggalkan rumah kayu panggung di tengah hutan. Terbayang olehku betapa berat perjalanan pulang yang akan kami tempuh. Untungnya kami pulang melalui jalan yang lain. Kali ini melalui sungai dengan menggunakan perahu. Perahu yang kami gunakan adalah perahu kecil yang menggunakan motor tempel dan hanya bisa ditumpangi dua orang dewasa. Karena itu diperlukan lima perahu dengan pengemudinya. Kami pun berlayar di sungai yang membelah hutan dan perbukitan karst yang berdiri megah di kanan kiri kami. Perjalanan ini ternyata lebih menegangkan. Kami seperti berada di dalam pelukan alam semesta yang amat luas dan perkasa. Aku terkagum kagum dengan apa yang kulihat. Alam yang sungguh indah dan murni. Air sungai yang bening dan deras. Jurang jurang yang menganga. Perahu yang kutumpangi kadang menerobos gua yang gelap lalu bertemu kembali dengan sinar matahari. Suara satwa seperti musik yang terindah yang ada di bumi. Aku tak kuasa untuk tak menyentuh air sungai yang jernih. Betapa dingin terasa. Tubuhkupun seperti menyatu dengan alam. Setelah berlayar mengarungi sungai akhirnya kami sampai di bawah sebuah jembatan beton. Perahu menepi. Kami naik ke jalan raya. Seperti mimpi rasanya. Pada saat itu ada beberapa mobil diparkir ditepi jalan. Ada mobil jenazah. Jenazah diturunkan dari mobil dan digotong menuruni tebing sungai di mana tadi aku naik. Jenazah itupun dinaikkan ke dalam perahu. Beberapa pengiring juga menaiki perahu. Lalu perlahan lahan perahu itu bergerak menyusuri sungai yang tadi kami lalui. Setelah beberapa lama iring iringan perahu pengantar jenazah itu pun memasuki hutan. Kami pun meninggalkan tempat itu.

Terdampar di Pulau Lae-lae

Sekitar tahun 2004 aku berkesempatan kembali berkunjung ke Makasar. Malam itu saat tiba di hotel aku ingin melanjutkan perjalanan ke Toraja. Rencanaku dengan beberapa orang teman kami menyewa kendaraan ke sana. Tetapi karena hari sudah malam beberapa orang yang kami jumpai menyarankan agar kami mengurungkan niat berangkat karena perjalanan ke Toraja bisa mencapai waktu lebih dari lima jam dan harus melalui jalan yang tidak mudah. Akhirnya kamipun membatalkan keberangkatan kami. Kami masih punya waktu sehari besok. Kamipun mencari obyek di sekitar kota Makasar saja. Seusai kegiatan keesokan harinya beberapa teman langsung check out dari hotel dan terbang ke Jakarta. Aku dan tiga orang teman masih tinggal di Makasar. Tadinya ingin ke Air Terjun Bantimurung. Tapi karena seorang teman pernah pergi ke sana kamipun mencari obyek yang lain. Temanku sebut saja Andi orang Makasar mengajak kami ke Maros. Kami setuju. Tapi sebelum ke Maros kami ingin berkunjung ke pulau-pulau di lepas pantai kota Makasar. Ada sebuah pulau dengan pemandangan yang indah di lepas pantai Makasar. Ada pula vila untuk menginap di sana. Maka kamipun menyasar ke sana. Kami pun mendatangi dermaga penyebrangan di dekat pantai Losari. Setelah mendapat sebuah perahu motor tempel dengan supirnya kami pun menaiki perahu tersebut. Berlayarlah perahu menuju pulau yang kami tuju. Cuaca cerah. Setelah beberapa menit meninggalkan kota Makasar di kejauhan tiba tiba terasa hempasan ombak yang keras. Tingginya sekitar satu meter. Supir perahu kelihatannya tenang tenang saja. Namun kami sudah merasa waswas. Pakaian kami pun sudah basah kuyup oleh air laut yang masuk ke dalam perahu. Tubuh kami seperti dibanting-banting dan kami pun menjadi ketakutan. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Makasar. Perahu pun berbalik. Gelombang tidak segarang sebelumnya. Kami menepi di dermaga sebuah pulau. Namanya Pulau Lae-lae. Saat berjalan dari dermaga ke darat kami melewati perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar. Tiba didarat kami disambut bendera dan umbul umbul serta baliho serta ucapan selamat datang dari seorang caleg. Ya saat itu memang musim kampanye. Kamipun mendatangi sebuah posko caleg tersebut dan berfoto bersama kang Anton untuk kenang-kenangan telah tiba di pulau Lae-lae. Pulau Lae-lae tidak begitu besar tetapi di dalamnya terdapat perkampungan yang padat oleh penduduk. Kebanyakan adalah nelayan. Dari sini kota Makasar terlihat di kejauhan. Kami pun berjalan-jalan menelusuri pemukiman penduduk dan bertegur sapa dengan mereka yang kebanyakan duduk santai di serambi rumah mereka. Meski sebentar kami ingin menikmati suasana pulau. Kamipun memilih sebuah sudut berpasir putih di pulau itu ketika senja mulai turun. Masih basah kuyup kami memesan kopi dan mie goreng dari penduduk setempat dan menikmatinya sambil menyaksikan ombak di pantai yang menderu deru dan meninggi. Berbaring di pantai Pulau Lae-lae sungguh merupakan sesuatu. Meski hanya menikmati semangkuk mie goreng dan secangkir kopi tapi tak bisa dibandingkan kenikmatannya dengan makan dan minum di hotel berbintang empat sekalipun. Saat matahari hendak tenggelam kami bergegas menyebrang ke kota Makasar di Pulau Sulawesi senyampang ombak belum lagi tinggi dan perahu kami masih bisa berlayar. Akhirnya malam itu kami kembali menginap di kota Makasar karena hasrat menginap di pulau tak kesampaian. Meski begitu aku tak kecewa. Hari itu sempat berlayar sebentar dan tiba di pulau Lae-lae yang tidak pernah kami bayangkan. Aku menikmati dan mengenangnya hingga sekarang.

Selasa, 08 Januari 2019

Makasar Permata dari Timur

Setidaknya dua atau tiga kali saya berkunjung ke kota Makasar. Kota ini pernah beralih nama menjadi Ujung Pandang dan kemudian kembali menjadi Makasar. Saya ingin bercerita mengenai kunjungan saya ke kota itu, yang pertama dan kedua. Pada kunjungan pertama sekitar tahun 2004 saya dan beberapa kawan menginap di Hotel H yang bagian bawahnya menyatu dengan sebuah super market dan restoran siap saji. Waktu itu kami memanfaatkan waktu akhir tahun untuk suatu keperluan dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Kalau tidak salah itu untuk membahas perda mengenai hak daerah dalam pengelolaan listrik atau pertambangan atau soal tata ruang. Pengamanan agak ketat di situ karena ternyata beberapa hari sebelumnya ada ledakan bom di situ. Pelakunya teridentifikasi dan ditangkap. Pada malam hari hotel terasa lengang, mungkin karena adanya peristiwa pengeboman tapi mungkin juga karena itu adalah malam Natal. Suasana benar-bebar sepi. Dua orang teman kami yang beragama Kristen tidak bisa merayakan Natal di rumah karena kami belum bisa pulang. Seorang teman berinisiatif menghibur teman kami yang seharusnya merayakan Natal di rumah dengan membeli sebuah kue taart yang dipasangi lilin seperti kue ulang tahun. Bukankah Natal juga berarti perayaan kelahiran Yesus atau Nabi Isa al Masih. Kami pun memberi ucapan selamat kepada kedua teman kami itu. Kulihat kedua teman kami tadi berkaca-kaca pada kedua matanya karena rasa haru. Pada kunjungan yang pertamaku, kami punya waktu sedikit untuk melihat-lihat kota Makasar. Di sisi jalan tol kami masih melihat bangunan panggung terbuat dari kayu berarsitektur indah. Jika diperhatikan sungguh-sungguh terdapat sedikit perbedaan antara satu dan lainnya. Menurut informasi yang kami dapat memang ada perbedaan arsitektur bangunan untuk bangsawan dan rakyat biasa. Perbedaan terletak pada hiasan dan bentuk atapnya. Kota Makasar berada di tepi pantai. Ada proyek reklamasi yang sudah selesai dan menjadi hunian. Pelabuhan Sukarno Hatta nampak sibuk dengan keluar masuk kapal maupun perahu layar besar phinisi. Para pekerja membongkar muat barang tak henti-hentinya. Semua ini nampak kasat mata karena pelabuhan dan dermaganya tidak jauh dari jalan raya. Kota ini memang kota sekaligus bandar terbesar di kawasan timur Indonesia. Di jalan protokol terdapat kediaman keluarga Kalla (keluarga Jusuf Kalla) dan beberapa kantor perusahaannya. Ada juga monumen Mandala karena di sinilah tempat Markas Komando Operasi Mandala untuk merebut Irian Jaya. Panglimanya adalah Jendral Suharto. Selain nama Jusuf Kalla dan Suharto, Makasar identik dengan Jendral M. Yusuf yang pernah menjadi Panglima ABRI. Yusuf membangun sebuah masjid yang besar dan megah yang diberi nama Al Markaz Al Islami. Jika malam hari Pantai Losari ramai dengan warga setempat maupun wisatawan dari luar. Suasana menyambut tahun baru sudah terasa sejak sore di bibir pantai. Orang orang duduk di tanggul penahan gelombang sambil memandang laut lepas. Pada malam hari suasana lebih seronok. Cahaya dari lampu taman dan kapal-kapal di lepas pantai membuat suasana menjadi terasa romantik. Di tenda-tenda banyak dijumpai berbagai penganan dan kudapan khas. Yang terkenal adalah es pisang hijau dan pisang epek. Es pisang hijau adalah makanan yang terbuat dari semacam kue berbentuk pisang berwarna hijau yang diberi es. Sedang pisang epek adalah pisang yang dipipihkan kemudian dibakar dan diberi saus manis. Ada pula pisang goreng yang disusun seperti kipas. Kudapan seperti ini juga bisa dijumpai di kota lain seperti di Menado. Uniknya pisang goreng ini disertai saus pedas alias sambal. Untuk makan siang atau malam kita bisa menikmati coto makasar dan sop konro. Kedua makanan ini berbahan dasar daging yang diberi kuah. Pada sop konro dagingnya masih menempel pada tulang. Untuk menikmatinya bisa dengan ditemani nasi atau lontong. Jika ingin menikmati sop konro di sebuah kedai sop konro yang terkenal kadang kita harus antri untuk bisa pesan dan menikmatinya. Makasar memang kota yang menarik untuk dikunjungi. Ada benteng pertahanan peninggalan Kerajaan Makasar saat melawan Belanda yang tidak jauh dari pantai. Ada Pasar Somba Opu yang menjadi pusat suvenir yang menjual kerajinan dari berbagai tempat di Sulawesi Selatan seperti ukir-ukiran kayu dari Toraja. Ada makam Pangeran Diponegoro di tengah kota. Kamipun berkunjung ke tempat-tempat itu. Komplek benteng pertahanan kerajaan Makasar terdiri dari benteng dan bangunan-bangunan kokoh dan megah di dalamnya. Kami mengelilingi dan melihat satu persatu bangunan tua yang masih kokoh megah dan terpelihara peninggalan raja-raja Makasar saat melawan Belanda. Kami pun menyempatkan diri berziarah ke makam Pangeran Diponegoro sambil menyampaikan doa agar beliau ditempatkan di surga karena perjuangannya untuk bangsa dan tanah airnya. Saat pulang dari Makasar pada kunjungan yang pertama kami menggunakan Indonesia Airline. Waktu itu kami dalam penerbangan malam hari berhujan langsung dari Bandara Sultan Hasanuddin menuju Bandara Sukarno Hatta. Di tengah perjalanan kami merasakan ada guncangan-guncangan yang agak besar. Pramugari mengatakan pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di Surabaya. Pesawatpun mendarat di bandara Juanda. Ternyata pesawat yang kami tumpangi tidak bisa membawa kami ke Jakarta. Karena itu kami harus menunggu beberapa jam di bandara untuk mendapatkan pesawat pengganti ke Jakarta. Pada malam hari akhirnya kami bisa diterbangkan ke Jakarta. Dari info yang kami peroleh pesawat Indonesia Airline mengalami kerusakan pada salah satu mesinnya. Kami sempat terguncang saat mendengar infomasi dari mulut ke mulut tersebut. Kini pesawat dari maskapai Indonesia Airline sudah tidak terbang lagi. Maskapainyapun sudah tidak terdengar lagi.