Kamis, 31 Maret 2011

Trauma Naik Mikrobus (Elf)



Hino Poncho






Tak berapa lama, istriku harus kembali ke Cidaun ditemani ibuku. Kedua anakku ikut ke sana. Akupun sendirian di rumah. Ini berlangsung hampir setahun. Baru kira-kira tahun 1992 istriku bisa pindah ke Puskesmas Solokanjeruk yang dekat dari rumah, karena masa kerjanya sudah lebih dua tahun.



peta Cidaun












Di Cidaun, Keluargaku (isri, anak-anak: Dea dan Dimas, dan ibuku) tinggal di rumah pak Ulis (Sekdes), yang biasa kami panggil Apih. Anak-anakku nampak senang tinggal di sana karena alamnya masih indah dan udaranyapun segar. Udara yang dipenuhi tiupan angin laut dari Samudra Indonesia. Samudra Indonesia hanya beberapa meter di belakang rumah, hanya terhalang sawah, bukit pasir dan laguna. Anak-anakku kadang hanya menggunakan kaus singlet jika berangkat tidur, karena meskipun malam hari, udara tetap hangat. Meski hanya makan makanan dari sekitar rumah, mereka tumbuh sehat. Tubuh mereka kekar dan kulit mereka segar. Sesekali jika kudatang kami berjalan-jalan di pantai menyaksikan gulungan ombak tinggi sambil berlarian di atas pasir. Sesudah itu kami makan ikan segar tangkapan nelayan di pelabuhan Jayanti yang dijual para pedagang ke kampung-kampung sekitar dengan berjalan kaki.























Untuk beberapa lama anak-anakku trauma jika naik bus karena perjalanan dari kota Cianjur ke Cidaun sangat jauh (120 km) dan melelahkan. Belum lagi jalannya yang berliku-liku dan turun naik. Aku memang bisa memahami trauma anak-anakku karena aku sendiri pun cemas jika pergi ke sana karena mobil dipacu dengan kecepatan tinggi di atas jalan sempit yang tidak selalu rata dengan jurang menganga di kiri kanan jalan yang banyak berhutan dan bertebing tinggi.


Rakit penyeberang sungai Cipandak dekat Sindangbarang di tahun 1917







Ketika itu satu-satunya jalan ke Cidaun memang melalui kota Cianjur melewati Sukanegara, Tanggeung, Sindangbarang. Perjalanan melewati pegunungan, hutan, sungai-sungai, jurang, tebing, perkebunan teh, perkebunan cengkeh, tegalan dan persawahan. Pemandangan memang indah, kadangkala ada air terjun di tepi jalan menyembul dari balik pepohonan besar. Memang ada akses yang lebih dekat melalui Ciwidey dan Naringgul tetapi tidak ada kendaraan umum, jadi tak ada pilihan kami harus melalui Cianjur. Dihitung-hitung jarak Bandung-Cidaun tak kurang dari 200 kilometer. Wajarlah kalah anak-anakku yang masih balita trauma karena kelelahan.

Bumi Rancaekek Kencana



Stasiun KA Rancaekek











Sejak akad kredit di notaris ditandatangani aku mulai memantau “rumah baruku”. Suatu hari bersama Bob aku ke Rancaekek menggunakan kereta api ekonomi. Aku tertegun melihat situasi di sana, rasanya seperti terlempar ke masa lalu. Stasiun dengan bangunan tua buatan Belanda terletak di tengah hamparan pesawahan sejauh mata memandang. Persis di sebrang rel kereta api itulah rumah impianku nantinya. Proyek pembangunan sedang berlangsung, akupun belum tahu di mana persisnya rumahku nanti tapi yang jelas di komplek itulah.

Beberapa waktu kemudian perumahan itupun selesai dibangun secara bertahap. Aku sudah bisa mengenali rumah baruku, sebuah rumah T 36 cult de sac sekitar 50 cm lebih tinggi dari jalan, bersumur pantek dan belum dialiri listrik. Tepatnya di Jalan Melati V nomor 54 Blok 3 Bumi Rancaekek Kencana. Beberapa kali kami mengunjungi rumah itu sebelum benar-benar pindah.


Stasiun Hall






Perjalanan ke Rancaekek dari stasiun Hall Bandung memang seperti travelling, karena sepanjang perjalanan kita bisa melihat padatnya pemukiman di kota dan kemudian hamparan pesawahan di kiri kanan jalan selepas stasiun Kiaracondong. Sepanjang perjalanan beragam kudapan ditawarkan para pedagang asongan, mulai dari tahu, es, jeruk, telur puyuh, apel malang, salak, dan lain-lain. Sambil makan kudapan kita tak henti-hentinya dihibur musik dangdut hingga alunan suara suling dari para pengamen. Pengemis pun ikut mendoakan agar kita selamat di perjalanan. kita bisa bermurah hati memberi mereka uang receh, jika tidak maka mereka akan ngeloyor pergi ke gerbong lainnya tanpa memaki.

Saat jangka waktu kontrak rumah di Babakan Tarogong berakhir, kamipun pindah dengan menggunakan sebuah truk pengangkut barang. Kakak ipar kami mbak Yayah dan suaminya –kak Ugi ikut mengantar. Ketika memasuki pintu gerbang perumahan mereka terkagum-kagum karena indahnya pemandangan. Jalan raya dan trotoar terbuat dari paving block, di kiri kanannya pohon-pohon palm raja dan lampu-lampu taman berbentuk bola-bola transparan yang disangga besi berbentuk trisula. Memang benar kalau dikatakan itulah komplek Perumnas terbaik yang pernah dibangun. (beberapa menteri dari negara asing pernah berkunjung seperti dari Cina dan Suriname. Beberapa media nasional dan lokal pun membuat feature tentang perumahaan itu).



Di rumah kami yang asri












Rumah baru kami adalah sebuah rumah sederhana berbentuk kopel berdinding batako tanpa plester. Kamar tidurnya hanya dua buah. Ada ruang tamu kecil, kamar makan dan dapur kecil yang menyambung ke kamar mandi. Meski belum ada aliran listrik dan air leiding kami menganggapnya seperti hotel bintang empat. Rumah di kiri kanan dan depan belakang kami kebanyakan masih kosong, hanya ada dua atau tiga rumah yang sudah dihuni. Merekalah tetangga kami yang pertama: pak Atang, pak Bagio dan di jajaran lain pak Parman, pak Adang, pak Endang dan pak Dedi Ho Liong.

Jika malam hari datang kami memasang pelita dengan bahan bakar minyak tanah. Rasanya seperti sedang berkemah. Baru beberapa bulan kemudian listrik PLN sampai di rumah kami, untuk air minum kami minta dari haji Maman tetangga di belakang rumah karena air leiding dari PDAM baru mengalir beberapa bulan kemudian. Untuk transportasi kami menggunakan kereta api ke kota. Pukul 5.30 aku harus sudah di stasiun. Kadangkala kereta api datang lebih dulu, akupun berlari-lari sepanjang rel mengejarnya. Mengasikkan sekali.


KA Patas

Rabu, 30 Maret 2011

MELAYARKAN BAHTERA 2

Bali


Tanah Lot







SMP Santa Angela membuat acara berwisata ke Pulau Bali bagi para guru. Aku pun pergi ke sana bersama Isworo – tidak bersama rombongan-- dengan menggunakan kereta api ekonomi. Seingatku tiket kereta api terusan Bandung Banyuwangi Denpasar waktu itu hanya Rp 22 ribu saja. Selama di Bali kami menginap di Balindo Cottage di Jalan Tuban, beberapa meter dari pantai Kuta. Inilah kesempatan kami pergi ke Bali yang menjadi impian sejak lama. Kami berkeliling ke beberapa tempat dengan menggunakan angkutan umum, terutama ke pantai Sanur, pantai Kuta, pasar cendera mata Sukowati dan Tanah Lot. Karena kami menggunakan kereta api ekonomi pergi pulang, maka kami dapat menghemat ongkos perjalanan. Hasil dari efisiensi kubelikan tape recorder atau televisi hitam putih (aku agak lupa). Itulah tape recorder atau televisi hitam putih milik kami yang pertama, yang kubeli di Tegallega. Itu sebagai permintaan maafku pada keluarga karena tidak mengajak mereka pergi bersamaku ke Bali. Tape recorder itu sudah tak bagus lagi tapi masih berfungsi dan dapat menangkap frekuensi radio. Benda kenangan itu kusimpan di loteng rumah bersama begitu banyak berkas-berkas pelbagai tulisan dan benda-benda lain yang tak tega aku membuangnya.

Sejak saat itu entah sudah berapa kali aku pergi ke pulau Dewata entah karena alasan dinas, seminar atau pun kongres. Setidaknya sudah tujuh kali atau lebih, sehingga aku hafal seluk beluk pulau itu bahkan jalan-jalan sempit di Kuta. Harus kuakui pulau itu selalu menarik untuk dikunjungi. Anugrah Allah SWT pada bangsa Indonesia yang terpermanai nilainya.

Titik Menikah

Setelah selesai bersekolah di tingkat SLTA semua adikku menyusul ke Bandung. Sementara Wiwin sudah lulus dari SPG ketika itu dan bekerja di toko buku di Bogor. Titik mencoba mencari sekolah dengan ikatan dinas tapi tak berhasil dan memutuskan bekerja di pabrik tekstil, demikian juga Retno dan Yuni. Aku tidak punya kemampuan untuk menyekolahkan mereka ke jenjang pendidikan tinggi.

Pada saat-saat itu Yus (nama lengkapnya Ahmad Firdaus) anak tetangga di Babakan Tarogong seringkali bermain di teras rumahku bersama kedua anakku : Dea dan Dimas. Ternyata dia juga dekat dengan adik-adikku terutama Wiwin. Yang mengejutkan kami ternyata dia suatu saat melamar Titik. Ibu menyerahkannya padaku, aku memutuskan untuk bertunangan saja dulu sambil bertanya pada bapak yang ketika itu tinggal di Jakarta.

Pertunangan Titik dan Yus dilakukan di Depok, tempat om Slamet (paman angkat dari Yanik), dengan harapan bapak bisa hadir. Ternyata sampai acara berakhir bapak belum datang, lamaran secara resmi sudah kami terima dan pernikahan tinggal menunggu waktu.

Untuk pernikahan adikku itu, istriku memutuskan dilakukan di rumahnya di Banjaran, karena di rumah kontrakan kami selain sempit juga sulit mencari tenaga bantuan ini itu. Maka di Banjaranlah pernikahan itu dilangsungkan dengan cara sederhana namun hikmat. Istriku tetap menyiapkan resepsi kecil dengan mendekorasi rumah, mendandani pengantin dan menyediakan santapan istimewa. Hanya satu yang mengganjal di hati kami adalah bahwa pernikahan Titik itu melangkahi dua orang kakak perempuannya yang belum menikah : Retno dan Yuni. Itu yang menjadi beban bagi bapakku sebagai orang tua, tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Semoga Allah meridhai pernikahan mereka. (Keluarga Ahmad Firdaus kini sudah dikarunai enam orang anak : empat perempuan dan dua laki-laki : Nisa, Lulu, Aisyah, …, Habib dan Adnan. Nisa sudah kuliah dan yang terkecil masih bersekolah di SD).

PNS

Saat tinggal di Babakan Tarogong itulah istriku mencoba berkarir menjadi Pegawai Negeri Sipil dan diterima menjadi bidan desa. Sebagai PNS Provinsi Jawa Barat ia diperbantukan di Kabupaten Cianjur dan ditempatkan di sebuah desa di Kecamatan Cidaun. Dengan demikian ia pun keluar dari RS Immanuel yang telah menjadi tempat sekolah maupun bekerja selama lebih 13 tahun.

Ketika tahu bahwa dia ditugaskan di daerah terpencil yang bernama Cidaun istriku menangis dan menjadi bimbang. Tapi aku memberi semangat agar dia menjalani tugasnya itu karena sudah menjadi pilihannya. Maka aku dan bapak (mertua) mengantarnya ke sana. Tempat itu memang begitu jauhnya sehingga dari kota Cianjur kami harus mengendarai minibus selama kurang lebih tujuh jam sampai di Sindang Barang. Dari Sindang Barang kami menggunakan ojeg sejauh kurang lebih 20 km dengan menyebrangi tujuh sungai tanpa jembatan sehingga sepeda motor harus dinaikkan rakit atau perahu.

Kira-kira pukul dua siang kami tiba di kota kecamatan Cidaun. Pintu masuk kota kecamatan itu adalah sebuah jembatan gantung berwarna kuning sepanjang 50 m. ketika itu belum ada sambungan listrik atupun telpon di sana sehingga kota itu benar-benar terisolasi dari dunia luar. Bapak kembali ke Bandung petang itu juga. Aku menginap di rumah dinas dokter. Esok paginya aku berjalan-jalan ke pelabuhan Jayanti, dan siangnya aku pulang. Sejak saat itu istriku pulang balik ke Cidaun sendirian karena aku harus tetap bekerja di Bandung. Ia tinggal di rumah pak Lurah untuk sementara waktu.

Beli Rumah

Monumen Peringatan Bandung Lautan Api di Tegallega



















Suatu petang aku mengajak Dea berjalan-jalan ke Pameran Hari Kesaktian Pancasila di lapangan Tegallega. Tatkala melihat-lihat stand dari Perum Perumnas ada promosi penjualan rumah dengan menggunakan kredit dari BTN di Rancaekek. Aku melihat denah lokasinya dan yang menarik perhatianku adalah perumahan itu menyatu dengan stasiun kereta api, sehingga untuk mencapai Bandung bisa ditempun dengan kereta api dengan waktu 30 menit. Akupun mencari tahu cara memperoleh rumah tersebut. Ternyata karena sedang promosi maka hanya dengan uang Rp 35 ribu kami dapat memesan rumah termasuk memilih lokasinya. Tanpa pikir panjang aku memesan sebuah rumah di Jalan Melati Nomor 54. Hatiku berbunga-bunga menerima kwitansi tanda jadi pembelian rumah (DP = down payment). Sisa uang muka sebesar Rp 750 ribu harus kusiapkan selama dua mingu ke depan. Akupun menyatakan siap meski aku tak tahu darimana mendapatkan uang sebesar itu.

Setengah tidak percaya aku pulang ke rumah dan kusampaikan pada istriku apa yang terjadi. Tentu saja istriku pun seperti bermimpi saat kuberitahu bahwa aku sudah membeli sebuah rumah. Harapan baru pun mekar. Rumah tangga kami nyaris sempurna karena sebentar lagi kami akan punya rumah sendiri, tidak mengontrak ke sana ke mari.

Bapak mertuaku meminjami kami uang Rp 750 ribu untuk uang muka rumah. Sisanya sekitar Rp 7 juta dibayar oleh BTN (Bank Tabungan Negara), dengan demikian aku memiliki pinjaman ke BTN dan harus kuangsur selama 10 tahun @ Rp 135.000 per bulan. Perjanjinan antara Perum Perumnas, aku dan BTN ditandatangani di depan Notaris. Sahlah sudah jual beli rumah antara Perum Perumnas dan aku. Kini aku mempunyai sebuah rumah.

MELAYARKAN BAHTERA





















Nakhoda

UMURKU 28 tahun ketika aku menikahi gadisku. Alhamdulillah aku sudah dapat menjalankan sunah Nabi. Mungkin ada benarnya kata orang bahwa kelahiran, kematian, rejeki dan jodoh ditentukan Allah SWT. Aku sudah memutuskan untuk menjadikan Aat Atikah bin Une Hidayat sebagai istriku. Kami berdua siap melayarkan bahtera rumah tangga di samudra kehidupan yang kami sama-sama belum tahu seperti apa gelombangnya, atau berapa lama kami sampai di pelabuhan tujuan, selat-selat mana yang harus dilalui, pulau-pulau mana saja yang harus kami singgahi. “Ar Rizalu qawamuna ala Nisa”, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, maka akupun sejak tanggal 16 Maret 2007 bertindak sebagai nakhoda, istriku sebagai navigator –meski mungkin istilah itu tidak begitu tepat.

Aku percaya bahwa perkawinan bukan hanya ikatan suci antara aku dan istriku, tapi juga keluargaku dan keluarga istriku. Itupula pertimbanganku ketika memutuskan melamar Aat dan menikah dengannya, tidak memilih yang lain. Aku merasa kami se-kufu . dengan demikian aku berharap bahwa keluargaku dapat menerima dan menghargai keluarga istriku demikian pula sebaliknya.

Keluargaku



















Keluargaku ketika itu tidak dalam keadaan yang dapat dikatakan sebagai keluarga bahagia sejahtera. Ayah sedang terpuruk dalam segala hal. Ibuku dalam kategori “swarga nunut neraka katut” (ikut bagaimana suami). Ekonomi rumah tangga berantakan. Aku harus memikirkan bagaimana membantu adik-adikku yang masih kecil. Biaya sekolah mereka adalah masalah besar yang harus diatasi. Retno bersekolah di SMA Negeri 2 Ngawi dan tinggal bersama bupuh di Gendingan. Yuni bersekolah di sebuah SMEA swasta di Walikukun, dan dia tinggal berama pak Slamet teman bapak dalam kegiatan politik, dia anggota DPRD Kabupaten Ngawi dari PDI . Titik bersekolah di SMA Negeri 1 Ngawi dan nge-kost di sana. Wiwin bersekolah di SMP Negeri 1 Sine. Untunglah mereka tinggal di desa, sehingga sanak saudara dan handai taulan tidak membiarkan mereka kelaparan atau kehujanan karena tiada tempat berteduh. Mbah putri Truno adalah malaikat penyelamat keluarga kami. Kami berhutang budi pada beliau, dan hutang budi ini terbawa sampai mati. Semoga Allah memberikan kebaikan dunia akhirat bagi beliau.

Keluarga Istriku
























Istriku berasal dari keluarga yang cukup sejahtera dan tinggal di jalan raya Pangalengan, Banjaran. Di sana mereka tinggal di lingkungan keluarga besarnya yang masih berkerabat dengan Kiai pengasuh pondok pesantren, dengan lurah dan dengan beberapa pengusaha . Une Hidayat ayahnya seorang petani setelah keluar dari dinas di ketentaraan sebagai supir pengangkut amunisi persenjataan militer. Ibunya Titi Maryati ketika itu masih bekerja di Puskesmas Banjaran yang asri. Teh Tatat dan teh Yayah kakak istriku sudah berkeluarga. Mas Iman masih lajang. Eni adiknya masih bersekolah di SPMA Baleendah, sedangkan Nani masih SMP. Mereka tinggal di rumah yang luas dan nyaman dengan halaman depan dan belakang yang luas. Halaman belakang berbatasan dengan pesawahan yang hijau sebatas mata memandang. Aku sangat menikmati situasi di rumah itu, meskipun demikian kurang lebih seminggu setelah hari pernikahan aku memutuskan kembali ke kamar kontrakanku di Sasakgantung karena kami masih harus menyelesaikan studi.

Sasakgantung

Inilah pulau pertama kami. Pulau kecil seukuran kurang lebih 3x4 m. kamar kontrakan yang biasanya kuisi sendiri kini kuisi berdua. Kegiatan pagi kami adalah berangkat kerja dan sore hari berangkat ke kampus berdua. Saat itu aku sudah selesai menyusun skripsi dan tinggal menyelesaikan ujian negara. Sementara istriku baru memulai melakukan penelitian lapangan. Skripsiku berkaitan dengan credit union dan penelitian istriku berkaitan dengan sektor informal. Pergaulan dengan teman-teman kuliah berjalan seperti biasa, kadang-kadang mereka menjemput ke rumah dan kami pun pergi bersama ke kampus atau ke Kopertis untuk menempuh ujian negara. Bahkan pernah kami ke kampus dalam keadaan istriku mengandung anak kami yang pertama. Uniknya pada saat demikian aku terserang cacar air, sehingga saat ujian wajahku penuh dengan bintik-bintik luka.




















Istriku adalah wanita perkasa. Dalam keadaan mengandung dia bekerja dan melakukan penelitian. Penelitiannya berlangsung di sekitar tempat tinggal kami, jalan Pangarang dan alun-alun Bandung. Aku membantu membuatkan instrument penelitian dan dia keluar masuk gang mewawancarai dan mengobservasi kehidupan para PKL (pedagang kaki lima). Salah satu yang ditelitinya adalah penghasilan mereka dalam sebulan. Ketika itu para PKL bisa memperoleh penghasilan Rp 800 ribuan sedangkan gaji istriku sebagai bidan hanya sekitar Rp 125 ribu sebulan sama dengan penghasilanku. Saat hasil penelitian tersebut dipresentasikan dosen pembimbingnya tidak percaya, karena gaji mereka tidak lebih dari Rp 500 ribu sebulan.

Adik bungsuku, Wiwin suatu saat datang seorang diri. Dari Ngawi dia naik kereta api. Dia sudah lulus SMP dan ibu menyerahkan segala urusan padaku. Aku dan istriku memutuskan agar dia bersekolah di SPG Santa Angela. Jadi kini kami tinggal bertiga. Jika malam tiba dan kami menjelang tidur maka hiburan kami adalah mendengarkan sandiwara melalui radio transistor dua band. Waktu itu hampir tiap malam kami mendengarkan cerita mengenai mak Lampir dan Sembara hingga kami tertidur.

Anak Pertama


























Pada tanggal 10 bulan Desember 1987, aku mengantar istriku ke RS Immanuel, karena ia merasa akan melahirkan anak pertama kami. Memang itulah yang terjadi. Pada malam Jumat kurang lebih pukul 22.00 istriku melahirkan seorang bayi perempuan dengan berat kurang lebih 4 kg. aku menyuarakan adzan dan iqomat di telinga anakku dengan harapan ia akan selalu mengingat
siapa Penciptanya dan selalu memujaNya setiap waktu dalam sembahyang yang khidmat dan khusyu. Setelah tiga hari di RS kami membawa putrid kami ke Banjaran.

Pada hari ketujuh kami memotong rambut anak kami dalam sebuah acara selamatan yang dipimpin seorang ustadz. Kami memberi nama putri kami yang pertama itu Idea Wening Nurani dengan harapan anak kami selalu melahirkan gagasan-gagasan dari hati yang jernih dan bening.
Dengan dikarunai seorang anak maka aku menjadi seorang ayah dan istriku menjadi seorang ibu. Sempurnalah perkawinan kami.

Mengontrak Rumah

Rasanya tidak mungkin lagi kami tinggal di Sasakgantung, maka kami mengontrak sebuah rumah di perumahan Margahayu Permai di dekat Pangkalan Udara Sulaeman. Rumah yang bagus dengan halaman rumput yang luas. Dea, begitu nama panggilan putri kami, senang bermain di halaman rumput itu. Dia tidak senang bermain dengan mainan anak perempuan seperti boneka, tapi ia senang bermain bola: melempar, mengejar dan menendangnya. Selain itu dia senang sekali menyelusup ke kursi di bawah meja makan bahkan sering tertidur di situ.

Masa ini adalah masa-masa tersulit dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami harus hidup berlima : aku, istriku, Dea, ibu dan Wiwin. Kadangkala kami harus rela hanya makan nasi goreng selama beberapa hari karena hanya itu yang bisa kami makan. Untungnya aku sudah dapat menamatkan pendidikan dan memperoleh gelar Drs (doctorandus), meskipun aku tidak langsung mengikuti wisuda sarjana karena masih menunggu istriku yang belum menyelesaikan studinya. Entah karena pengaruh dari kelelalahan atau apa, istriku harus masuk rumah sakit selama seminggu karena terserang typhus, pada saat itu dia sedang mengandung anak kami yang kedua. Selama kehamilan kami membaca surat Yusuf dan surat Maryam.

Hanya setahun kami tinggal di Margahayu Permai. Setelah itu kami mencari rumah kontrakkan yang agak dekat dengan tempat kerja. Akhirnya kami memperoleh tempat di Babakan Tarogong, hanya beberapa meter dari RS Immanuel. Dengan demikian istriku bisa pulang pergi bekerja dengan jalan kaki saja. Sedangkan aku cukup naik bus kota sekali saja untuk sampai ke Santa Angela.

Selama di Babakan Tarogong aku terlibat di gerakan koperasi sehingga aku sering mengikuti seminar, rapat anggota dan pelatihan-pelatihan manajemen. Di samping itu aku juga mengikuti kursus bahasa Jepang di Pusat Kebudayaan Jepang di jalan Purnawarman. Penguasaan bahasa Jepang tadi sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan di bidang pekerjaan sosial di Jepang, karena ada seorang professor di sana yang mau membantuku agar bisa belajar di sana. Mitsuko Kojima namanya. Sayang karena satu dan lain hal aku batal berangkat ke Jepang dan bahasa Jepangku perlahan-lahan menghilang.

Anak Kedua
























Pada tanggal 20 Juli 2009 istriku melahirkan anak kami yang kedua. Ketika dilahirkan sekujur tubuh anak kami penuh dengan bulu. Tapi kami bersyukur anak kami sehat tidak kurang suatu apa meski kulitnya nampak gelap. Kami memang cemas akan kesehatannya karena ibunya selama sebulan dalam perawatan rumah sakit dan meminum banyak sekali obat-obatan. Alhamdulillah dia sehat wal afiat. Akupun memperdengarkan adzan dan iqomat pada anak kedua kami. Setelah seminggu kami cukur sendiri rambutnya hingga botak dan kami beri nama

Abdurrahman Sidiq Suryasemesta. Kami berharap dia menjadi hamba Allah yang pemurah jujur dan menjadi penerang bagi alam semesta. (entah kebetulan atau tidak pengurus PBNU yang terpilih adalah Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah dan Kiai Sidiq sebagai Ketua Suriah). Sehari-hari kami memanggilnya Dimas karena dia adik dari anak pertama kami. Ketika itu ada slogan KB : dua anak sudah cukup. Laki-laki dan perempuan sama saja.











(Anak ketiga kami : Muhammad Agustus Prajakusuma (Parja) lahir tujuh tahun kemudian).

Selasa, 29 Maret 2011

PERKAWINAN

Berkah Terselubung


















AAT ATIKAH nama gadis itu, seorang perawat di RS Immanuel di Jalan Kopo yang lebih dikenal dengan nama Situsaeur. Seperti halnya denganku, ia kuliah di kelas karyawan. Kesamaan itu menjadi sebuah berkah terselubung. Kami kuliah di universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama dan kelas yang sama pula. Aku lupa-lupa ingat apakah perhatianku padanya bermula di tahun 1982 sewaktu mahasiswa baru masih belum dibagi ke dalam jurusan atau di tahun 1983 ketika mahasiswa FISIP dibagi ke dalam jurusan Administrasi Niaga dan Kesejahteraan Sosial. Yang pasti kuingat adalah bahwa ketika itu mataku mengalami low vision, sehingga mulai kesulitan untuk melihat tulisan dosen di papan tulis. Saat itu kulihat ia sudah berkacamata sehingga aku mulai berbincang-bincang mengenai kacamata dan ia mau mengantarku mencari lensa yang tepat untuk mataku yang minus.

Selesai kuliah sekitar pukul 17.00 aku pergi ke toko kacamata Victory Optical di Jalan Lengkong Besar tidak jauh dari kampus Universitas Pansundan. Seingatku ada Bob dan Wahyu ikut mengantar. Sejak saat itu aku memiliki perhatian khusus padanya. (Tetapi di kelak kemudian hari aku tahu bahwa ia mulai memperhatikanku saat menghadap Pembantu Rektor II Aan Burhanuddin untuk bisa membayar uang kuliah dalam dua termin, sungguhpun uang kuliah ketika itu hanya Rp 200.000 setahun. Ketika itu memang terasa berat, karena uang kuliah di PTN berkisar Rp 100.000,00).

Playen

Playen adalah nama sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul DIY. Ke tempat itulah kami mahasiswa jurusan KS melakukan studi ekskursi. Dari Bandung kami berkereta api ke Yogyakarta dan dengan menggunakan bus rombongan menuju Playen setelah sebelumnya diterima di pendopo Kabupaten di Wonosari. Tidak semua mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, tapi aku dan Aat ikut. Ia menjadi panitia seksi P3K dan aku di seksi humas dan dokumentasi dengan tugas mengambil gambar dari seluruh kegiatan untuk dijadikan dokumentasi dan bahan laporan.















Rombongan tinggal di rumah-rumah penduduk yang menyebar di pelbagai dusun di satu desa. Aku, Aat, beberapa teman dan beberapa dosen tinggal di rumah mas Sigit, kakak kelasku. Siang hari kami melakukan wawancara dengan masyarakat untuk mengetahui kehidupan sosial di sana dan adakalanya kami bekerja bakti : ada yang ikut memperbaiki jalan desa, ada pula yang membersihkan mesjid. Di saat-saat seperti itulah aku mulai dekat dengannya. Bila ada tugas yang harus kami jalani berdua, aku mencari kesempatan mengajaknya pergi ke dangau di tengah sawah yang indah dan berbincang-bincang dengan asyiknya.

Sebenarnya pada saat itu bukan hanya Aat yang menarik perhatianku, ada mahasiswi lain pada siapa aku menaruh perhatian. Dewi, ia kakak kelas kami. Kebetulan ia pun tinggal di base camp yang sama denganku. (Dua orang ini telah mengisi hatiku dengan perasaan bahagia sepanjang masakuliahku). Pada suatu senja yang indah, aku berkesampatan menemaninya berjalan-jalan di jalan desa yang damai menuju ke suatu pedukuhan (kampung) untuk menemui temannya. Kami berpayung bersama dan berbicara mengenai hal-hal yang tentunya tidak begitu penting untuk dibicarakan. Aku hanya merasa bahagia dekat dengannya. Dan perasaan ini berlangsung lama. Mungkin juga abadi.

Kadangkala jika aku sedang termenung, aku mengingat-ingat kenangan masa awal kuliah itu dan hinggap pada sebuah tempat di sebuah desa nun jauh di Gunung Kidul bernama Playen, pada saat itu aku merasa tergetar karena semua kenangan ketika itu begitu indah dan seolah baru terjadi kemarin. Tak dapat kubayangkan betapa sedihnya hidup tanpa kenangan.

RS Immanuel









Hubunganku dengan Aat terus terjalin, mungkin juga disebabkan karena aku memerlukan penyeimbang dalam kehidupanku setelah mbak Lis menikah. Aku kemudian jadi sering berkunjung ke RS Immanuel dan biasannya bertemu di ruang tamu asrama putri. RS Immanuel adalah sebuah rumah sakit milik Gereja Kristen Pasundan dan Aat bekerja di sana setelah sebelumnya belajar di Sekolah Perawat RS Immanuel. Kebetulan pula ada seorang sahabatku mas Mukimin yang juga teman kuliah satu kelas. Jadi jika Aat sedang bekerja aku bisa ke asrama putra tempat mas Mukimin bekerja, bahkan adakalanya aku menginap di kamarnya. Begitulah RS itu seperti rumah keempatkuku setelah kamar kost, St Angela dan kampus. Selama bertahun-tahun aku berputar-putar di empat tempat itu. Kadangkala di malam minggu aku ikut begadang menemani mas Mukimin yang sedang bertugas merawat pasien, pada saat Aat bertugas di ruang ICU (Intensive Care Unit).

Jika malam minggu aku tidak ke RS, minggu pagi kadang aku menjumpai Aat yang entah sejak kapan kuanggap sebagai sebagai kekasih, demikian juga sebaliknya. Kami seringkali berjalan-jalan jika kebetulan ia tidak bertugas. Biasanya kami mengunjungi rumah mas Tarno di Cimahi, berkunjung ke mas Isworo di Susteran Dominikan Baros untuk bermain bulutangkis, atau ke panti asuhan anak milik Departemen Sosial di Cibabat. Di sana ada sahabat kami pak Baban yang menjadi bapak asuh, dan kami sudah kenal baik dengan keluarganya serta anak-anak asuhnya. Depsos mengembangkan pola pengasuhan yang menyatukan anak asuh dalam keluarga bapak atau ibu asuhnya, sehingga mereka tidak seperti tinggal di asrama. Sebegitu sering aku berkunjung ke sama sehingga anak-anak itu begitu dekat dengan kami.

Baranangsiang

Suatu ketika aku tertarik untuk belajar acting dan ingin sekali mengikuti acting course di STB (Studiklub Teater Bandung), sayang sekali saat acting course berlangsung aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan sehingga aku gagal mengikuti kursus peran di STB. Namun kesenanganku pada sastra dan teater tetap kupelihara dengan sesekali melihat pertunjukkan di gedung teater Baranangsiang dekat pasar Kosambi. Ada kalanya aku menonton bersama Aat, karena aku ingin ia juga turut menikmati pertunjukkan yang bagus-bagus ketika itu. STB mementaskan Badak-badak karya Ionesco atau King Lear karya Shakespeare. Ada pula teater Koma mementaskan Opera Kecoa. Biasanya setelah itu kami pulang naik becak hingga ke Kebon Kelapa dan memperbincangkan pertunjukkan selama perjalanan.

Tempat kencan kami lainnya adalah bioskop. Tahun-tahun 80-an banyak bioskop di kota Bandung, jadi kami bisa nonton di Dian, Mayestic, Braga Sky, Panti Karya, Palaguna Nusantara, atau Kings. Selain itu akupun mengajak kekasihku ke Jakarta untuk melihat karya seni rupa dan patung di Museum Seni Rupa Indonesia di samping melihat-lihat koleksi Museum Fatahillah yang menggambarkan sejarah Jakarta. Pendek kata masa pacaran kami penuh dengan kenangan indah. Semua itu dapat sejenak membuat kami terlupa pada rutinitas pekerjaan dan kuliah.

Pertunangan

Di tahun 1985, kami lulus sarjana muda dan mendapat gelar BSW (Bachelor of Social Worker) atau sarja muda pekerjaan sosial. Aku merasa bahwa hubungan kami sudah terlalu lama dan aku ingin mengakhiri masa pacaran. Pada suatu saat di sekitar hari raya Idul Fitri aku memberanikan diri melamar Aat untuk menjadi istriku. Pak Une, ayahnya menerima lamaranku. Maka hubunganku dengan Aat maju selangkah ke hubungan pertunangan.

Tanggal 17 Agustus 1986, kami bertunangan dan bertukar cincin yang melambangkan ikatan antara kami berdua. Karena orangtuaku jauh di Jawa Timur, maka aku hanya ditemani teman-teman kuliahku: Bob, Bono, Wahyu, Rizal, Aceng, Eni dan Yani; teman sekolahku di SMEA dulu : Ribut; temanku di Jakarta : Slamet, yang ketika itu sudah bekerja di BPKP dan adikku Yani. Hari itu begitu mengesankan karena bangsa Indonesia sedang merayakan hari kemerdekaannya, sehingga sepanjang jalan pulang dari rumah Aat di Banjaran hingga ke Bandung, kami menyaksikan keramaian di jalan-jalan : lari marathon serta lomba-lomba yang lain yang penuh sukacita dan gelak tawa. Bendera merah putih melambai-lambai di langit siang yang biru terang, umbul-umbul pun menghiasi jalan-jalan.

Perkawinan










Setelah pertunangan itu aku mulai mengajak Aat ke rumah orang tuaku di Ngawi, juga mengenalkannya pada saudara-saudaraku. Nampaknya kedua orang tuaku dapat menerimanya dengan baik. Karena itu kendati kami berdua belum menyelesaikan kuliah hingga sarjana, tapi kami berdua memutuskan untuk segera menikah. Kami menetapkan tanggal 16 Maret 1987 sebagai hari perkawinan dan resepsi pernikahan kami.

Aat sangat serius menyiapkan acara pernikahan kami, nampaknya ia ingin memberi kesan yang baik mengenai diriku di mata keluarganya. Berhari-hari kami mengumpulkan pelbagai barang yang akan kujadikan cendera mata pada saat seserahan, termasuk menyiapkan beberapa gram perhiasan dari mas untuk dijadikan mas kawin.
Teman-teman dekatku ikut sibuk membantuku menyiapkan segala sesuatu. Ada yang mencarikan perias pengantin, ada yang mencarikan penata hiasan buah tangan, ada yang menyiapkan mobil dan lain sebagainya.

Malam hari menjelang perkawinan, Eni bermurah hati meminjamkan mobilnya agar aku bisa datang ke rumah Aat dalam acara ngeyeuk seureuh. Ngeyeuk sereuh adalah sebuah prosesi adat sebelum hari perkawinan berlangsung. Ada acara berebut uang logam dalam baskom berisi air, mengangkat bungkusan berisi pakaian kami berdua secara bersama-sama dan lain sebagainya. Mas Tarno dan mbak Tatik juga datang mewakili keluargaku. Malam itu juga kami pulang. Slamet dan Ribut datang dari Jakarta untuk menemaniku malam itu.

Keesokan harinya tante Yola datang ke tempat kost untuk meriasku di samping mengatur busana yang harus kukenakan. Dikenakannya kain batik, jas warna putih dan blangkon padaku di samping diselipkan sebilah keris hiasan.

Sekitar jam 06.00 pagi rombonganku berangkat. Induk semangku, teman-teman dekat, dan beberapa orang tetangga ikut mengantar sambil membawa pelbagai buah tangan yang dibentuk menjadi pelbagai hiasan. Pak Benyamin ketua jurusanku ikut mengantar sekaligus kumintai tolong untuk mewakili keluargaku.

Setiba di rumah mempelai perempuan, kami disambut dengan acara penyambutan yang meriah seperti layaknya menyambut raja atau tamu yang dimuliakan. Ada tari-tarian dan musik gamelan, tidak lupa mang Lengser yang menjadi mascot penyambutan.
Setelah rombongan duduk di tempat yang disediakan, upacara masih berlanjut. Aku dan Aat duduk berdampingan sambil dipayungi dan diberi nasihat dalam bentuk kawih. Kemudian tuan rumah memberikan sambutan dan pak Abbas mewakili keluargaku menyampaikan maksud kedatangan, karena memang demikianlah tatacaranya. Setelah itu dilanjutkan dengan seserahan. Seserahan adalah acara memberikan buah tangan berupa barang-barang keperluan mempelai perempuan dariku untuk calon istriku.

Dipandu petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA), ayah dari mempelai perempuan menikahkan anaknya padaku, aku pun menerima Aat Atikah binti Une Hidayat sebagai istriku dengan mas kawin berupa perhiasan mas beberapa gram serta peralatan shalat. Ritual itu dinamakan ijab qabul, atau walimatul nikah. Dengan diucapkannya ijab qabul yang disaksikan banyak orang dari kedua belah pihak maka Aat sah menjadi istriku.

Resepsi pernikahan diselenggarakan hari itu juga. Siang hari ada pertunjukan degung, yaitu tembang yang diiringi gamelan yang sesekali diiringi tari jaipongan. Para tetamu berdatangan untuk mengucapkan selamat pada pasangan suami istri baru. Merekapun mencicipi hidangan ala kadar yang disiapkan keluarga istriku dalam bentuk prasmanan sehingga terbentuklah antrian panjang seperti ular. Kami dipotret dengan pelbagai pose dan gaya busana yang berganti-ganti: berdua, dengan orang tua kami masing-masing dan teman-teman yang datang silih berganti. Keluargaku tidak hadir semua, hanya ada bapak, dik Yani dan dik Retno. Teman-teman kami dari kampus datang, juga teman-teman sekerja: dari RS Immanuel (teman-teman istriku) dan Santa Angela (teman-temanku). Acara baru selesai sore hari.

Pada malam hari acara berlanjut dengan pengajian, dengan mendengarkan ceramah dari seorang mubaligh yang sengaja diundang oleh mertuaku. Teman-temanku dari GMNI datang. Yayat, Yudi, dan lain-lain yang tidak dapat lagi kuingat namanya satu persatu.

Minggu, 20 Maret 2011

MEMASUKI ALAM KEDEWASAAN





















Surakarta



Mengingat kondisi ekonomi keluargaku yang tidak menggembirakan akibat banyaknya dana yang dikeluarkan bapak untuk membiayai pencalonannya menjadi lurah, aku memutuskan untuk tidak berangkat ke Jember untuk mencari tahu apakah aku diterima di FISIP Universitas Negeri Jember. Mbak Lis mendorongku untuk berangkat ke sana, tapi aku berpikir bahwa akan sulit bagiku nantinya membiayai kuliah, apalagi adik-adik perempuanku masih memerlukan biaya untuk melanjutkan sekolah mereka. Jadi kuputuskan untuk melupakan kuliah. Sekarang yang terpenting bagiku adalah bekerja untuk memperoleh penghasilan sendiri barulah nanti melanjutkan studi.

Pada saat itu rumah limasan mbah putri sudah dijual. Kami tinggal di pendopo. Bapak mencoba memulai hidup baru setelah kekalahannya dengan mencoba membuat penggilingan padi. Kami membuat fondasi untuk bangunan selepan (rice mill) dan membuat tempat penjemuran, namun pinjaman dari bank tidak kunjung tiba, maka proyek itu pun terbengkelai. Kenyataan ini menguatkan niatku untuk sigra pergi dari rumah dan mencoba peruntungan dengan bekerja apapun.

Saat mendengarkan siaran dari sebuah radio swasta melalui radio transistor ada jeda komersial berupa iklan penerimaan karyawan untuk bekerja di sebuah perusahaan asuransi yang berlokasi di kota Solo (Surakarta). Tanpa berpikir panjang aku berkemas dan berangkat ke kota itu. Aku melamat kerja di PT Mahkota Jaya Abadi yang beralamat di sekitar Manahan, tepatnya di jalan Karangnangka. Manajer perusahaan itu seorang Bali yang kukira bernama pak Made (aku lupa-lupa ingat), menerimaku bekerja dengan sistem komisi. Artinya aku memperoleh penghasilan dari komisi pembayaran premi nasabah. Tidak ada pilihan lain bagiku saat itu untuk menolak. Beruntung pak manajer memberi izin aku tinggal di kantor dan sebelum aku memperoleh nasabah aku diberi bantuan Rp 100,00 (seratus rupiah) sehari untuk makan.

Waktu itu tahun 1980, di Solo dengan uang seratus rupiah aku bisa makan dua kali sehari, kadangkala aku masih bisa menabung lima puluh rupiah. Makanan termurah yang sering menjadi menu makanku adalah nasi pecel. Kadangkala aku makan bersama tukang becak atau pekerja kasar lainnya di warung-warung kaki lima sejenis warteg (warung Tegal). Dari sinilah aku mulai belajar survival dalam kehidupan, menghargai uang, menghargai jerih payah orang yang bekerja apapun, berterima kasih pada rakyat kecil yang tanpa mereka aku pasti akan kesulitan hidup dengan uang seratus perak sehari.

Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010)[1] dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.[2]. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta)

Nama Surakarta digunakan dalam konteks formal, sedangkan nama Solo untuk konteks informal. Akhiran -karta merujuk pada kota, dan kota Surakarta masih memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Kartasura. Nama Solo berasal dari nama desa Sala. Ketika Indonesia masih menganut Ejaan Repoeblik, nama kota ini juga ditulis Soerakarta.Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[3]).











Eksistensi kota ini dimulai di saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745. Akibat perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, menjadikan kota Solo sebagai kota dengan dua administrasi. Kekuasaan politik kedua kerajaan ini dilikuidasi setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama 10 bulan, Solo berstatus sebagai daerah setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Selanjutnya, karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, maka pada tanggal 16 Juni 1945 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa. Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah 5.677 km². Tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Solo era modern.Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah.


Dalam bekerja aku dipandu teman yang sudah berpengalaman. Dengan menggunakan sepeda motor aku pergi keliling kota hingga ke perkampungan untuk mencari nasabah. Kegiatan mencari nasabah itu disebut canvas. Teori-teori marketing (pemasaran) yang kuperoleh selama belajar di SMEA PPS kucoba praktikkan di lapangan. Meskipun di jurusan tata niaga pemasaran lebih diarahkan pada produk berupa barang, tapi bisa dimodifikasi untuk memasarkan produk berupa jasa asuransi. Prinsipnya adalah menggunakan seni menjual untuk memperoleh kosumen, pembeli ataupun nasabah. Kuncinya adalah bagaimana meyakinan konsumen untuk mau membeli produk yang kujual. Beberapa kawan melakukan pelbagai cara untuk mengambil hati mereka sampai akhirnya dapat menaklukkan mereka.

Kurang lebih sebulan aku mencoba meng-canvas tapi belum satupun nasabah kudapat. Manajer dan teman-teman tetap memberi dorongan semangat, tapi aku merasa malu memakan gaji buta. Maka ketika ada lowongan posisi penyiar di radio Argasunya (?) di kawasan Candi di Semarang atas, akupun berangkat ke sana untuk melamar.


Semarang













Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Semarang merupakan kota yang dipimpin oleh wali kota Drs. H. Soemarmo HS, MSi dan wakil wali kota Hendrar Prihadi, SE, MM. Kota ini terletak sekitar 466 km sebelah timur Jakarta, atau 312 km sebelah barat Surabaya. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal di barat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Semarang)

Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).

Pada akhir abad ke-15 M ada seseorang ditempatkan oleh Kerajaan Demak, dikenal sebagai Pangeran Made Pandan (Sunan Pandanaran I), untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.
Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak disebut sebagai Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran II atau Sunan Pandanaran Bayat atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran saja). Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang.

Kemudian pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram, berjanji kepada VOC untuk memberikan Semarang sebagai pembayaran hutangnya, dia mengklaim daerah Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705 Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Wali kota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang.

Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang dikepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari.

Tahun 1946 Inggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Ini terjadi pada tanggal l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, wali kota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian di luar kota sampai dengan bulan Desember 1948. daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti di masa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. tanggal I April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri di Yogyakarta. Ia menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan.


Semarang menjadi tujuanku selanjutnya. Kebetulan ada mbak Wiwik anak bupuh Aris Wonosobo (saudara sepupu sebuyut dari garis ibu) yang tinggal di Semarang, tepatnya di daerah Sampangan Kaligarang, dekat Perumnas. Dia bekerja di RS Panti Wilasa sebagai bidan dan suaminya mas Tok seorang pelaut yang biasa menjadi crew kapal-kapal tanker di luar negri khususnya di Malaysia. Mas Yanto adik mbak Wiwik tinggal bersama mereka, dialah yang mengantarku ke tempat yang kucari di Semarang. Akupun ikut tes vocal sebagai presenter. Tim seleksi mengatakan bahwa jika lulus tes pertama akan ada panggilan melalui surat untuk tes wawancara. Sayangnya panggilan selanjutnya tidak segera sampai padaku karena pak pos mengantarkan surat tersebut ke pak RT, sementara namaku belum terdaftar di RT tersebut sehingga surat tidak diantarkan ke rumah mbak Wiwik. Maka akupun gagal menjadi penyiar.

Aku sudah keluar dari perusahaan asuransi di Solo, dan aku belum memperoleh pekerjaan di Semarang. Luntang-lantung aku jadinya. Saat itu mbak Wiwik sudah punya anak pertama Rosy. Aku turut membantu apapun yang bisa dilakukan di rumah itu, dari membersihkan rumah hingga menggendong Rosy. Sore hari aku berkeliling kota dengan mas Yanto dengan menggunakan
skuter. Masih sempat aku mengunjungi Pepi kenalanku yang tinggal di daerah Banjir Kanal, juga mencoba melamar kerja ke beberapa supermarket atau department store, namun semuanya belum ada yang mau menerimaku.

Bandung

Suatu saat mas Yanto mengajakku ke Bandung mengunjungi saudara perempuannya, mbak Tatik, yang tinggal di Cibeber Cimahi. Itulah pertama kali aku mengunjungi Bandung. Subuh dinihari kami tiba di terminal bus Kebon Kelapa, aku sempat shalat subuh di Mesjid Raya Bandung di alun-alun Bandung. Udara pagi yang dingin pun menyergap dan aku tak menyangka udara dingin itu telah mengikatku untuk berlama-lama tinggal di Bandung hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.












Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat sekaligus menjadi ibu kota provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara Jakarta, dan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Sedangkan wilayah Bandung Raya merupakan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabotabek. Di kota yang bersejarah ini, berdiri sebuah perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia (Technische Hoogeschool, sekarang ITB)[1], menjadi ajang pertempuran di masa kemerdekaan[2], serta pernah menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika 1955,[3] suatu pertemuan yang menyuarakan semangat anti kolonialisme, bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya mengatakan bahwa Bandung adalah ibu kotanya Asia-Afrika.[4]

Pada tahun 1990 kota Bandung menjadi salah satu kota teraman di dunia berdasarkan survei majalah Time.[5]
Kota kembang merupakan sebutan lain untuk kota ini, dan dahulunya disebut juga dengan Parijs van Java. Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota belanja, dengan mall dan factory outlet yang banyak tersebar di kota ini. Dan pada tahun 2007, British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur.[6] Saat ini kota Bandung merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata dan pendidikan.

Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga bentuk morfologi wilayahnya bagaikan sebuah mangkok raksasa,[7] secara geografis kota ini terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Barat, serta berada pada ketinggian ±768 m di atas permukaan laut, dengan titik tertinggi di berada di sebelah utara dengan ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut dan sebelah selatan merupakan kawasan rendah dengan ketinggian 675 meter di atas permukaan laut.
Kota Bandung dialiri dua sungai utama, yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya yang pada umumnya mengalir ke arah selatan dan bertemu di Sungai Citarum. Dengan kondisi yang demikian, Bandung selatan sangat rentan terhadap masalah banjir.


Kata "Bandung" berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung mengatakan bahwa nama "Bandung" diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.

Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu itu Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810 tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk kawasan ini. Dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.

Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906[10] dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.[11]

Pada masa perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946, sebagian kota ini di bakar oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bagian dalam strategi perang waktu itu. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Selain itu kota ini kemudian ditinggalkan oleh sebagian penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.

Pada tanggal 18 April 1955 di Gedung Merdeka yang dahulu bernama "Concordia" (Jl. Asia Afrika, sekarang), berseberangan dengan Hotel Savoy Homann, diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika yang kemudian kembali KTT Asia-Afrika 2005 diadakan di kota ini

Kota Bandung merupakan kota terpadat di Jawa Barat, di mana penduduknya didominasi oleh etnis Sunda, sedangkan etnis Jawa merupakan penduduk minoritas terbesar di kota ini dibandingkan etnis lainnya.
Pertambahan penduduk kota Bandung awalnya berkaitan erat dengan ada sarana transportasi Kereta api yang dibangun sekitar tahun 1880 yang menghubungkan kota ini dengan Jakarta (sebelumnya bernama Batavia).[10] Pada tahun 1941 tercatat sebanyak 226.877 jiwa jumlah penduduk kota ini[13] kemudian setelah peristiwa yang dikenal dengan Long March Siliwangi, penduduk kota ini kembali bertambah dimana pada tahun 1950 tercatat jumlah penduduknya sebanyak 644.475 jiwa.[14]

Dalam administrasi pemerintah daerah, kota Bandung dipimpin oleh walikota. Sejak 2008, penduduk kota ini langsung memilih walikota beserta wakilnya dalam pilkada, sedangkan sebelumnya dipilih oleh anggota DPRD kotanya.

Sesuai konstitusi yang berlaku DPRD kota Bandung merupakan representasi dari perwakilan rakyat, pada Pemilu Legislatif 2004 sebelumnya anggota DPRD kota Bandung berjumlah 45 orang.[16] Sesuai dengan perkembangan dan pertambahan penduduk maka pada Pemilu Legislatif 2009 anggota DPRD kota Bandung bertambah menjadi 50 orang, yang kemudian tersusun atas perwakilan delapan partai,[15] dan terdiri atas 41 lelaki dan 9 perempuan.[17]

Kota Bandung merupakan salah satu kota pendidikan, dan Soekarno, presiden pertama Indonesia, pernah menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada masa pergantian abad ke-20.



Cimahi

Mbak Tatik tinggal bersama mas Tarno suaminya di Cibeber yang termasuk dalam Kotip (kota administrative) Cimahi. Ketika kudatang, keluarga Tarno baru saja memiliki rumah baru berukuran kira-kira 36 meter persegi. Mbak Tatik sedang hamil anak pertama. Aku diizinkan tinggal di rumahnya sambil mencari-cari pekerjaan. Tak lama kemudian mbak Tatik melahirkan anak pertamanya : Anita Mentari yang sekarang sudah menjadi seorang Guru TK dan telah punya seorang anak.

Cimahi sebagai kota administrative berarti kota yang tidak mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri, dalam hal belanja masih tergantung ke induknya yaitu Kabupaten Bandung yang kala itu beribukota di Baleendah, bahkan Bupatinya masih bermukim di pendopo di sekitar alun-alun Bandung. Dulu kota ini adalah tempat militer Belanda yang hingga kini meninggalkan banyak peninggalan yang masih dilestarikan oleh pemerintah dalam bentuk markas-markas, asrama-asrama, komando pendidikan dan latihan, rumah sakit, stasiun kereta api perumahan perwira dan prajurit, penjara, lapangan olahraga, lapangan tempat latihan menembak dan padang rumput tempat menggembala. Konon Belanda menghendaki Bandung sebagai ibukota pemerintahan Hindia Belanda sehingga Cimahi dijadikan kota militer untuk menjamin pertahanan dan keamanan. Dengan posisi seperti itu Cimahi memiliki banyak bangunan besar, megah dan indah, lapangan dan taman-taman yang luas, jalan raya yang besar dan rapi dengan pepohonan besar di kiri kanannya, sebuah tempat yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal.














Di sore hari biasanya aku berkeliling kota dengan menggunakan sepeda, ke jalan Sriwijaya dan Gatot Subroto, yang menjadi tempat favoritku untuk jjs (jalan-jalan sore, diambil dari sebuah lagu gubahan Guruh Sukarnoputra yang dinyanyikan Deni Malik). Antara jalan Sriwijaya dan jalan Gatot Subroto terletak pasar Antri, pasar terkenal di Cimahi, yang waktu itu jika sore tiba makan akan penuh dengan para pedagang sayur mayur dari Lembang dan Cisarua. Lembang adalah kota di pegunungan di kaki gunung Tangkuban Parahu. Jika udara bersih Gunung Tankuban Parahu dapat terlihat dari arah selatan jalan Gandawijaya yang merupakan daerah pertokoan paling ramai di kota Cimahi.

Kota Cimahi adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak di sebelah barat Kota Bandung. Cimahi dahulu bagian dari Kabupaten Bandung, yang kemudian ditetapkan sebagai kota administratif pada tanggal 29 Januari 1976. Pada tanggal 21 Juni 2001, Cimahi ditetapkan sebagai kota otonom. Kota Cimahi terdiri atas 3 kecamatan, yang dibagi lagi atas 15 kelurahan


Cimahi mulai dikenal ketika pada tahun 1811, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membuat jalan Anyer-Panarukan, dengan dibuatnya pos penjagaan di alun-alun Cimahi sekarang. Tahun 1874–1893, dilaksanakan pembuatan jalan kereta api Bandung-Cianjur sekaligus pembuatan Stasiun Cimahi. Tahun 1886 dibangun pusat pendidikan militer beserta fasilitas lainnya seperti Rumah Sakit Dustira dan rumah tahanan militer. Pada tahun 1935, Cimahi ditetapkan sebagai kecamatan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Cimahi menjadi bagian dari Kabupaten Bandung Utara. Pada tahun 1962, dibentuk Kawedanaan Cimahi yang meliputi Kecamatan Cimahi, Padalarang, Batujajar, dan Cipatat. Berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1975, Cimahi ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif pada tanggal 29 Januari 1976, dan menjadi kota administratif pertama di Jawa Barat. Mulai 21 Juni 2001 status Cimahi menjadi kota.

Kini Cimahi menjadi salah satu kawasan pertumbuhan Kota Bandung di sebelah barat. Jumlah penduduknya saat ini adalah sekitar 483.000 jiwa, meningkat dari 290.000 pada tahun 1990 dengan pertumbuhan rata-rata 2,12% per tahun.




Guru mengaji dan anggota Partai

Di kota Cimahi aku sempat menjadi guru mengaji di sebuah mushola di RT tempat keluarga Tarno tinggal. Jadi meskipun keluarga Tarno adalah keluarga Katolik yang taat, tapi tak menghalangiku menjadi guru mengaji. Pada saat bersamaan akupun mulai berkenalan dengan dunia politik karena aku mendaftarkan diri menjadi anggota PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Dua dunia ini telah menimbulkan masalah bagiku, suatu ketika saat aku mengajar mengaji aku dipanggil ke rumah pak RW dan diinterogasi berkaitan dengan aktivitas politikku. Ketika itu Orde Baru begitu kuat dan berkuasanya sehingga semua kekuatan politik di luar ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) dianggap berbahaya.

Hubunganku dengan partai terjadi begitu saja tanpa direncanakan. Berawal ketika aku berjalan-jalan di kota, aku melihat papan nama PDI di depan sebuah rumah. Aku berpikir adalah lebih baik aku memperluas pergaulanku dengan berkenalan dengan banyak orang melalui partai, maka akupun memasuki kantor partai. Ibu Marini yang istri Ketua DPC (Dewan Pengurus Cabang) menerimaku di ruang tamu dan menanyakan maksud kedatanganku. Akupun mengatakan bahwa aku ingin menjadi anggota. Bu Marini kemudian mengenalkanku dengan Happy, yang lantas membuatkanku sebuah KTA (Kartu Tanda Anggota) PDI. Maka sejak saat itulah aku resmi menjadi anggota.

Benar saja, aku kemudian memiliki akses terhadap pergaulan yang lebih luas dan bertemu dengan Pak Abbas (Ketua DPC), pak Bambang (Sekretaris), pak Syamsudin (Bendahara) , fungsionaris dan aktifis partai yang lain seperti Happy, Ajat dan Toto. Aku sering diajak berdiskusi mengenai politik nasional, ajaran Bung Karno dan kepartaian. Aku pun diajak menghadiri rapat-rapat partai serta berkeliling daerah di Kabupaten Bandung untuk bertemu dengan pengurus partai di Kecamatan (Korcam) dan para anggota. Pak Abbas meminjamiku buku DBR (Dibawah Bendera Revolusi) jilid I, dan aku mulai mencoba untuk memahami pemikiran Bung Karno.

Santa Angela

Di luar partai aku berteman dengan rekan-rekan kerja mas Tarno di Susteran Dominikan di Jalan Baros yang memiliki lembaga pendidikan formal yaitu TK,SD dan SMP Santa Maria serta pendidikan non formal berupa kursus menjahit bagi penduduk sekitar yang tidak mampu. Susteran juga menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan mendirikan klinik kesehatan. Di susteran ini aku berkenalan dengan para biarawati (suster) guru dan para pegawai lainnya. Mas Isworo adalah teman dekatku hingga saat ini.

Suatu saat mas Tarno mengatakan bahwa Suster Marisa dari SMP Santa Angela meminta mas Isworo bekerja untuknya, namun karena dia dibutuhkan oleh Susteran Dominikan maka namaku ditawarkan untuk bekerja di sana. Tidak kusia-siakan akupun melamar bekerja dan Suster Marisa sebagai Kepala Sekolah langsung menerimaku bekerja di bagian tata usaha dengan gaji Rp 55.000,00 sebulan. Itu terjadi kira-kira pada bulan Juli 1981. Sejak saat itu aku memiliki pekerjaan tetap karena aku diangkat sebagai pegawai dengan golongan II/a pada Yayasan Widya Bhakti. Yayasan ini didirikan oleh biarawati dari ordo Santa Ursula yang memiliki beberapa lembaga pendidikan formal di kota-kota besar di Jawa khususnya. Di Bandung ada dua lembaga pendidikan yang dikelolalanya : Santa Angela dan Santa Maria. Santa Angela terletak di Jalan Merdeka Bandung, di seberang Kantor Walikota, terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan Kursus Bahasa Inggris. Di tempat inilah aku bekerja dari tahun 1981 hingga tahun 1992.


S- Self Motivation and Dicipline
E- Empathy
R- Respect and Serve Others
V- Value Integrity of Creation
I- Integrity
A- Achievemnt Motivation
M- Moral and Ethical Resposibility



Dengan penghasilan Rp 55.000,00 per bulan aku merasa sudah bisa mandiri, maka akupun memutuskan mengontrak sebuah rumah di ujung Jalan Mulia, Cipaganti bersama Balthazar, guru agama Katolik yang berasal dari Ngada, Flores, NTT. Dia adalah sahabat dekatku selama aku bekerja di Santa Angela. Di samping bekerja akupun aktif menjadi pengurus Credit Union “Tunas Merdeka” yang menambah wawasanku mengenai ekonomi kerakyatan dan income generating (meningkatkan pendapatan). Langkahku selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Sambil menunggu waktu itu tiba aku mulai belajar menulis. Aku membuat bulletin yang berkaitan dengan kondisi politik. Pasokan informasi cukup tersedia untukku karena perpustakaan Santa Angela sangat bagus dan lengkap, hampir semua buku ada di sana. Berita sehari-hari kudapat dari koran lokal dan nasional yang ada di perpustakaan yang bisa kubaca saat istirahat. Bulletin itu kugandakan dengan cara distensil dan kuberi nama Indonesia Baru lalu kusebarkan ke desa-desa melalui jaringan partai.


Wiwin, adik bungsu yang datang dari Ngawi setamat SMP kusekolahkan di SPG. Sayang sekali ketika dia lulus dan berpengharapan besar menjadi seorang guru, Menteri Pendidikan membuat kebijakan menghapuskan SPG dan guru SD harus dari D1 bahkan selanjutnya ditingkatkan menjadi Sarjana. Maka impiannya menjadi guru, kandas untuk sementara waktu. Ia kemudian bekerja di Bogor dan kemudian ke Batam.

Kekasihku  beberapa kali datang dari Madiun  ke Bandung sehingga hubungan kami semakin dekat dan nyaris berujung ke sebuah perkawinan. Tapi pelbagai faktor menghalangi hubungan kami, maka dia pun memutuskan menikah dengan seorang pejabat daerah tepat ketika terjadi gerana matahari total dan mengikuti suaminya itu ke NTT. Belakangan aku rasakan bahwa aku memang benar-benar mencintainya sehingga semua kenangan bersamanya terasa begitu indah. Tapi aku tidak larut dalam kenangan karena hidup terus bergerak maju dan ujungnya belum aku tahu.

Mahasiswa Universitas Pasundan

Pada tahun 1982 aku mulai kuliah di perguruan tinggi. Tadinya aku bermaksud kuliah hukum di STHB (Sekolah Tinggi Hukum Bandung) karena berlokasi antara tempat tinggalku dengan tempat kerja, namun ijazah ku yang SMEA tak memungkinkanku masuk ke sana. Akupun mencari jurusan sosial politik, dan hanya ada jurusan Kesejahteraan Sosial yang bisa menerima lulusan SMEA, maka akupun berkuliah di jurusan KS FISIP Unpas di Lengkong Besar 68. Ketika itu biaya kuliah satu semester Rp 200.000,00 bisa kuangsur dua kali. Karena aku pengurus Credit Union maka tidak sulitlah bagiku menyediakan dana untuk pendidikan meskipun harus kuangsur pembayarannya dari gajiku yang dipotong. Saat-saat mengurus rekomendasi untuk diizinkan mengangsur biaya kuliah inilah pertama kali aku bertemu dengan Aat, teman sekampus, sefakultas, sejurusan dan sekelas. Beberapa tahun kemudian dia menjadi istriku.













Universitas Pasundan (UNPAS) berdiri tanggal 14 November 1960, keberadaan dan pengembangannya tidak lepas dari tujuan dan cita-cita Paguyuban Pasundan, sebagai organisasi induk yang lahir tahun 1913. Sehingga esensi dan eksistensinya tidak terlepas dari garapan pengabdian Paguyuban Pasundan terutama dalam turut mencerdaskan kehidupan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Pasundan)














Gedung Kampus Unpas di Jl.Tamansari 6-8Pada saat berdirinya, UNPAS didukung oleh kehadiran dua fakultas, yakni Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Fakultas Hukum terdiri atas dua jurusan yakni: Hukum Perdata dan Hukum Pidana, sedangkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik terdiri atas jurusan-jurusan: Administrasi Negara, Kesejahteraan Sosial, dan Hubungan Internasional. Mengingat kebutuhan masyarakat, selanjutnya dibuka jurusan baru pada dua fakultas tersebut, yakni Jurusan Administrasi Niaga dan Jurusan Ilmu Komunikasi di FISIP dan Jurusan Hukum Tata Negara di FH. Namun berdasarkan keputusan Konsorsium Ilmu Hukum pada tahun 1993, jurusan-jurusan di FH ditiadakan.

Pada tahun 1961 dibuka fakultas baru yaitu Fakultas Teknologi (FT) dengan jurusan Teknologi Makanan dan Teknik Produksi. Jurusan Teknologi Makanan selanjutnya diubah menjadi Jurusan Teknologi Pangan, dan Jurusan Teknik Produksi kemudian diubah menjadi Jurusan Teknik dan Manajemen Industri.

Pertengahan dasawarsa 70-an kembali dibuka fakultas baru, yakni Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). FE sampai saat ini didukung oleh tiga jurusan yaitu : Jurusan Manajemen, Akuntansi, dan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan; sedangkan FKIP saat ini terdiri atas lima program studi, yaitu : PPKN, Pendidikan Ekonomi Akuntansi, Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi, dan Pendidikan Guru SD S1.



Sejak tahun 1983 aku pindah ke kamar kontrakan milik Mamah Titin di dalam sebuah gang di Jalan Sasakgantung IV No 20 A/17 D sekitar 500 meter dari kampus Lengkong. Mamah memperlakukanku seperti anak saja dan sehari-hari kami berbahasa Sunda sehingga akupun mulai berkomunikasi dengan bahasa itu dengan lancar. Mak Las yang ikut mamah adalah wanita tua yang banyak menolongku menyetrika baju meskti tidak diminta. Anak mamah : teteh dan Avip sudah seperti keluarga sendiri. Pak Jafar ketu RT juga dekat denganku karena sering bertemu si mesjid saat shalat. Mas Kasdi tukang baso yang berasal dari Wonogiri mangkal di depan rumah setiap hari dan akupun berlangganan padanya. Melalui jejaring sosial facebook, Teddy dari grup nasyd SNADA pernah mengutarakan betapa ia masih terkesan dengan enaknya baso racikan mas Kasdi itu.

Setiap hari aku berkuliah di petang hari sepulang bekerja. Teman-teman kuliahku banyak juga yang sudah bekerja baik di pemerintahan maupun swasta. Lama kelamaan kami saling akrab satu sama lain hingga seperti saudara layaknya. Akupun aktif dalam kegiatan kampus, menjadi panitia ini itu, menjadi ketua kelas, menjadi ketua himpunan mahasiswa KS, menjadi ketua umum senat mashasiswa FISIP dan lain sebagainya. Inilah masa-masa paling menggairahkan dalam kehidupanku yang memberikan pengalaman dari yang paling menyenangkan hingga yang paling konyol dan memalukan. Namun semua itu sungguh berharga dalam mendewasakan diriku.

Hubunganku dengan para dosen cukup baik, bahkan di antaranya seperti sahabat. Bahkan menjelang pemilihan ketua umum senat mahasiswa, beberapa dosen menunjukkan dukungannya padaku. Mereka mengajakku ke kelas dan mengenalkannya pada para mahasiswa. Tentu saja hal ini memuluskan jalanku sehingga di hari pemilihan suara aku meraih 200 suara meninggalkan kandidat lainnya. Seingatku ketika itu ada lima kandidat termasuk diriku, bahkan ada yang merupakan teman sekelasku yaitu Diar, sedangkan lainnya berasal dari jurusan administrasi negara, bahkan ada yang merupakan kakak kelasku.

Sebagai mahasiswa yang sudah memiliki penghasilan sendiri, aku bisa berlangganan majalah sastra Horison dan majalah umum Intisari di samping berlangganan susu murni. Susu murni ini merupakan minuman yang membuatku sehat sehingga dapat mengikuti pelbagai aktifitas. Akupun bisa mengoleksi buku-buku sedikit demi sedikit karena waktuku di kamar kontrakan memang hanya membaca dan menulis. Kumpulan tulisanku pernah kuterbitkan dengan judul Kebersamaan, Dialog dan Demokrasi. Di kamar sempit itu pula kawan-kawanku datang berdiskusi dan kadangkala bermalam. Yaya adik kelasku beda jurusan juga pernah bermain ke kamar kontrakanku. Dia kini menjadi Pembantu Rektor di Unpas. Bono, Wahyu, Bob, Rizal dan Aceng adalah teman-teman dekatku. Kami saling tolong menolong satu sama lain dalam menghadapi sulitnya kehidupan sebagai mahasiswa.

Tempat makan siang dam makan malamku adalah sebuah warung di jalan Sasakgantung milik pak Adang. Dia menyediakan makan enak bergizi dengan harga terjangkau. Dia pun hafal makanan kesukaanku yaitu tumis tempe. Di warung inilah aku sering bertemu teman-teman untuk makan , ngobrol ngalor ngidul dan bercanda. Kadangkala kami saling mentraktir satu sama lain atau saling membayari jika ada teman yang kehabisan bekal. Pada umumnya teman-teman memang tidak pandai mengatur uang, uang kiriman cepat habis di awal bulan.

GMNI

Aku tak ingat bagaimana mulanya, tapi pada tahun 1983 aku ikut PPAB (Pekan Penerimaan Anggota Baru) GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Bandung bertempat di gelanggang generasi muda (GGM) Bandung. Di GMNI aku bertemu dengan mahasiswa Bandung dari pelbagai perguruan tinggi. GMNI adalah organisasi makasiswa ekstra kampus yang mendasarkan diri pada asas Marhaenisme ajaran Bung Karno. Marhaenisme adalah asas perjuangan politik berbangsa dan bernegara yang berpihak pada rakyat marhaen dalam melawan kolonialisme dan capitalism guna mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dalam marhaenisme ada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme berarti nasionalisme yang berperikemanusiaan, sedangkan sosio-demokrasi adalah demokrasi politik dan ekonomi atau demokrasi yang berkeadilan sosial. Namun asas ini sempat ditinggalkan oleh GMNI karena menguatnya hegemoni politik Orde Baru yang membuat presidium (dewan kolektif tertinggi) GMNI dalam Kongres Lembang menyatakan bahwa asas GMNI adalah Pancasila. GMNI Bandung dimotori Yudi Ardiwilaga dan Yayat T. Sumitra pun menyatakan hal yang sama ketika terpilih menjadi Ketua dan Sekretaris GMNI Cabang Bandung. Kendatipun demikian sebenarnya Marhaenisme tidak pernah benar-benar ditinggalkan karena ajarannya yang revolusioner memang sesuai dengan semangat mahasiswa yang pada umumnya anti kapitalisme kolonialisme dan imperialisme, sesuai dengan semboyan GMNI yang tidak pernah berubah sedari dulu : pemikir pejuang dan pejuang pemikir. Di GMNI aku menjadi salah seorang pimpinan cabang dan sempat mengikuti Kongres GMNI di Samarinda tahun 1987. Akupun merupakan salah seorang instruktur kader.













Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah sebuah organisasi mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme. GMNI dibentuk pada tanggal 22 Maret 1954 sebagai hasil gabungan dari tiga organisasi mahasiwa, masing-masing Gerakan Mahasiswa Marhenis, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Nasional_Indonesia)

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan tiga organisasi mahasiswa yang berasaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:
Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta
Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya
Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta.

Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.

Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
Setuju untuk melakukan fusi
Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia" (GMNI).
Asas organisasi adalah: Marhaenisme ajaran Bung Karno.
Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini.
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:
Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
1. Slamet Djajawidjaja
2. Slamet Rahardjo
3. Heruman
Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
1. Wahyu Widodo
2. Subagio Masrukin
3. Sri Sumantri martosuwiignyo
Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
1. S.M. Hadiprabowo
2. Djawadi Hadipradoko
3. Sulomo

Kongres I
Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang berfusi, juga untuk menetapkan personil pimpinan di tingkat pusat.

Kongres II
Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan Kongres II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.

Kongres III
Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan Kongres III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.

Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa!".


Kongres V
Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.
Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana Kongres V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.
Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai lam pikiran para aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke "Khittah" dan "Fitrah" nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.

Kongres VI
Setelah gejolak politik reda GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan Kongres VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: "Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Asas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.
Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.

Kongres VII
Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam Kongres VII GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Asas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.


World Peace Exhibition

Sebagai mahasiswa aku tertarik dengan masalah-masalah internasional termasuk yang berkaitan dengan perdamaian dunia. Bersama teman-teman aku menyelenggarakan Pameran Perdamaian Dunia. Pameran tersebut diisi dengan seminar perdamaian dunia dengan pembidara Dr Johan Syahperi dari Departemen Luar Negri yang juga Ketua Asian Youth Council. Negara-negara besar seperti AS, US, Jepang, Perancis, Jerman dan Australia juga ikut berpartisipasis dengan mengirim buku-buku dan film. Negara-negara blok timur banyak mengirim kami poster-poster pertunjukan teater mereka dan buku-buku sastra yang bermutu. Lembaga-lembaga di bawah PBB juga berpartisipasi. Aku berterima kasih pada Prof Cecep Syarifudin yang mendukung kegiatan kami ini meski Dekan sendiri nampaknya kurang mendukung. Bono menghidupkan pameran ini dengan menggelar happening art di waktu pembukaan. Dia memboyong anak-anak binaannya di TOOT (Teater Orang-orang Terlantar) ke kampus dan menyampaikan pesan perdamaian dengan melepas burung merpati ke udara. Tak lama kemudian Gorbachov membawa semangat reformasi di Uni Sovyet dengan glasnost dan perestroika. Federasi US kemudian mengalami disintegrasi luar biasa menjadi negara-negara merdeka yang berdiri sendiri. Maka pameran tersebut menjadi bagian dari sejarah keberadaan sebuah negara adidaya yang bernama Uni Sovyet yang rontok karena reformasi politik dan ethno-nasionalisme.