Rabu, 12 Oktober 2016

Shanghai Kota yang Tidak Tidur




16 Mei 2007. Dini hari pesawat China Air dengan nomor penerbangan nomor sekian dari bandara Hangzhou mendarat dengan mulus di Shanghai International Aiport. Bangunan bandara sangat besar sehingga memasukinya serasa seperti di dalam mal. Begitu besar dan luasnya seperti bandara Beijing, aku tidak ingat lagi rincian bangunannya. Orang nampak sibuk, hiruk pikuk bersliweran dengan membawa trolley berisi koper tas dan bawaan lainnya. Ini memang kota bisnis yang supersibuk dan mungkin yang terbesar di Cina melebihi kesibukan Hong Kong atau Beijing.

Karena sudah tengah malam atau dini hari kami langsung menuju hotel. Tetapi perjalanan yang agak jauh dari bandara memberi kesempatan padaku menyaksikan pemandangan kota di waktu malam. Kesan pertama : glamour, bercahaya, penuh warna, ramai, tidak pernah tidur, struktur yang massif dan  raksasa. Jalan-jalan bebas hambatan dibuat bertingkat-tingkat, meliuk-liuk, vernakular, seperti menggiring kendaraan yang melaju di atasnya ke satu titik yang menyedot kita entah menuju ke mana. Seperti roaller coaster saja.
Mata yang terkantuk-kantuk pun menjadi nyalang saat mendengar pemandu yang bercerita tentang sektor properti yang dirajai oleh orang-orang Rusia yang menguasai tanah dengan harga termahal mendekati miliaran rupiah per meter persegi. Dan akhirnya kami pun tiba di penginapan. Namun saya lupa nama penginapannya.

17 Mei 2007.
Udara dingin iklim sub tropis dapat kunikmati di pagi hari sambil duduk tenang di lobby hotel. Entah karena berada di tepi sungai Huangpu atau karena tidak begitu jauh dari laut sehingga angin dapat berembus dengan bebas, udara Shanghai (yang artinya di atas permukaan laut) di pagi hari sungguh menyegarkan kulit. Padahal penduduk Shanghai sangat padat melebihi angka 13 juta. Sehingga ada pepatah Cina mengatakan kalau pergi ke Shanghai itu seperti “menonton kepala orang” karena jalan dipadati begitu banyak orang yang lalu lalang nyaris saling bertabrakan sehingga yang nampak hanya kepala nya saja.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan aku bergegas ikut rombongan menuju Shanghai Exhibition Center di wilayah konsesi Perancis karena memang ke sini tujuan utamaku datang ke kota ini. Shanghai secara administratif setara dengan sebuah provinsi atau kabupaten di Tanah Air.  Oh ya meskipun  secara geografis terbelah oleh Sungai Huangpu menjadi dua bagian, yakni Puxi (barat) dan Pudong (timur), Shanghai terbagi  ke dalam tiga area utama Tiga area utama di kota Shanghai adalah French Concessions dan Old City (Kota Tua) yang berada di barat Sungai Huangpu  dan Pudong di timur sungai. Old City di bagian selatan berlanggam China dengan gang-gang, pasar-pasar dan kuil-kuil. French Concessions di bagian barat Old City dan British and American Concessions yang secara kolektif disebut sebagai International Settlement (pemukiman internasional) berada di utara. The Bund yang berada di sepanjang sisi sungai ditandai dengan bagunan-bangunan kolonial yang megah serta dua jalan utama perbelanjaan, Nanjing Lu dan Huaihai Lu. Sedangkan Pudong , distrik yang paling baru berada di sisi timur sungai dan kini menjadi pusat bisnis dangan bangunan-bangunan pencakar langit tertinggi di dunia.

Pada area bekas wilayah Perancis terdapat bangunan tempat pertemuan bersejarah, di mana perwakilan sel-sel komunis China membentuk partai nasional pada 23 Juli 1921. Mereka terdiri dari12 peserta resmi termasuk Mao Zedong. Polisi menemukan tempat ini sehingga para peserta segara diungsikan ke dalam boat di Danau Nan di Zhejiang.

Pudong sampai pertengahan abad ke-20 merupakan bagian kota yang termiskin, dengan pemukiman kumuh dan tempat bagi gangster terkenal Du Yuesheng. Pada tahun 1990 Pudong memperoleh status sebagai Specific Economic Zone dan menjadi tempat gedung-gedung pencakar langit kenamaan di dunia. Di sini pula terdapat The Oriental Pearl TV Tower setinggi 457 m yang menawarkan pemandangan kota Shanghai.
The Bund yang dikenal dengan nama Zongshan Lu adalah jantung kolonial kota Shanghai selain dengan Sungai Huangpu juga dengan hotel-hotel, bank-bank, perkantoran dan klub yang menjadi simbol kebesaran kekuatan komersial Barat. Bangunan-bangunan tua masih berdiri megah, ada yang telah dibangun tahun 1906 seperti The Palace Hotel dan ada pula yang dibangun tahun 20-30 an seperti Hong Kong & Shanghai Bank. Di sisi sungai  terdapat trotoar yang luas dan merupakan tempat yang terbaik untuk menyaksikan lalu lintas sungai dan setiap pagi hari penduduk lokal  melakukan senam (tai chi) di tempat itu.

Sungai Huangpu yang membelah Shanghai mengalir 110 km dari sumbernya, Danau Dianshan dan kemudian melanjutkan alirannya sepanjang 28 km ke bawah untuk bertemu Sungai Yangzi. Selain menyuguhkan pemandangan indah lansekap tepian sungai beserta metropolitan modern Pudong juga dipenuhi dok yang selalu sibuk, boat yang lalu lalang dan paket perjalanan menyusuri sungai selama tiga setengah jam menuju Sungai Yangzi. Orang Shanghai selalu mengklaim bahwa sepertiga perdagangan internasional memasuki Cina melalui Sungai Huangpu yang selalu sibuk abadi.

Shanghai dulu dan sekarang

Sampai tahun 1842 Shanghai hanyalah pelabuhan kecil, tapi sejak pemerintah China menyerah pada keinginan Barat untuk memperoleh konsesi perdagangan maka pelabuhan-pelabuhan di timur China termasuk Shanghai menjadi pos luar negara-negara Barat yang penting. Mereka memperoleh hak ekstra teritorialitas di mana orang-orang Barat boleh tinggal dengan menggunakan hukum negara mereka sendiri. Sehingga orang AS, Inggris dan Perancis memperolah konsesi yang ekslusif dengan sistem pengadilan dan kepoliasian tersendiri. Situasi itu menarik tidak saja para pengusaha, tetapi juga pengungsi, kriminal dan revolusionerian. Campuran ini berpotensi menjadikan Shanghai bersinar dan terseret ke dalam situasi politik yang riuh di antara dua perang dunia yang baru berakhir tahun 1940-an ketika orang-orang asing menyerahkan hak mereka kepada pihak oposisi yang mulai berkembang.

Shanghai juga merupakan destinasi belanja utama di China. Sebelum PD II penduduk asing kota Shanghai yang glamor membutuhkan barang-barang terbaik dan reputasi Shanghai akan kemewahan berlanjut hingga kini dengan toko-toko yang memuaskan selera dan kantong. Shanghai juga kota yang cemerlang secara kebudayaan, dengan pergelaran opera, teater, akrobat, musik klasik dan jazz yang berlanjut. Kehidupan malamnya dipenuhi dengan restoran, bar, cinema dan klub malam yang fashionable. Dengan demikian Shanghai menjadi kota metropolitan yang tidak pernah tidur seperti kesan pertama saya saat menyusuri jalan-jalan yang gemilang dengan sinar lampu antara bandara dan tempat penginapan meski waktu telah melewati tengah malam.





Jumat, 22 April 2016

"The City of Heaven"



14 Mei 2007. Pulang dari puncak Huangshan kami masih sempat berjalan-jalan di sekitar hotel, menyaksikan keindahan Huang shan yang memang luar biasa indahnya. Setelah makan siang terakhir di puncak Yellow Mountain kami check out dari hotel Shilin. Kami mengulang perjalanan kembali perjalan kemarin melalui jalan setapak kemudian menggunakan cable car untuk sampai di kaki gunung. Hari telah siang ketika bus yang kami tumpangi meninggalkan Huangshan menuju Hangzou. Oh ya dari pemandu aku mengetahui baik pemandu perjalanan maupun pengemudi bus semuanya adalah anggota PKT (Partai Komunis Tiongkok). Mereka sangat disiplin menjaga nama baik negaranya. Aku dilarang memotret seorang kuli pikul yang membawa satu sak semen dari kaki Yellow Mountain menuju puncak. Saat kuwawancarai dia berkata bahwa dalam sehari kerjanya hanya membawa satu sak semen ke puncak Huangshan melalui tangga yang tak terhitung jumlahnya dan pulang membawa tongkat pemikul. Mereka digaji untuk satu hari kerja. Kerja seperti itu di Indonesia dikenal dengan istilah padat karya. Entah mengapa aku dilarang memotret kuli pikul semen tersebut. Mungkin mereka tidak mau gambar para kulit itu menyebar di dunia maya.

Samar-samar dalam ingatanku kami sempat berhenti di sebuah restauran di sebuah kota tua yang dipenuhi bangunan-bangunan lama. Restauran tempat kami makan terbuat dari bangunan dengan material yang didominasi kayu. Kami makan di lantai dua dengan sajian khas Cina yang disajikan bertahap dimulai dengan dengan menu pembuka, menu utama dan menu penutup. Seperti biasa restoran menyajikan makanan yang diolah dari produk petani lokal, dan seperti di restoran atau hotel yang lain selalu ada tomat merah segar berukuran kecil yang bisa dimakan dengan menggunakan sumpit.

Menjelang malam bus memasuki sebuah kawasan pedesaan yang makmur dan indah. Ini adalah sebuah kawasan pertanian bunga dan tanaman hias. Sejauh mata memandang hanya keindahan yang nampak disertai bayang-bayang kemakmuran penduduknya karena bunga dan tanaman hias telah memberi limpahan rejeki bagi kehidupan mereka. Akupun teringat kawasan Parongpong di Bandung yang terkenal sebagai sentra bunga dan tanaman hias. Andai saja pemerintah daerah bisa mengelola potensi ini, tentu penduduk Parongpong pun akan menjadi kaya raya seperti para petani bunga di Cina. Saat mendekati Hangzou pemandu menjelaskan bahwa kami memasuki tempat yang menjadi sumber cerita legenda Ular Putih. Legenda Ular Putih pernah diputar di teve Indonesia di tahun 90-an.

Hari telah malam ketika kami tiba di Hangzhou. Aku terpana melihat keindahan kota dengan taman-taman yang indah dan lampu yang gemerlapan. Tidak salah jika Marco Polo mengatakan bahwa Hangzhou adalah “the city of Heaven, the most magnificent in all the world.” Marco Polo pernah berkunjung ke Hangzhou bahkan sempat menjadi Gubernur Yangzhou selama tiga tahun di era Dinasti Yuan. Dia menggambarkan Hangzhou sebagai surga dan tempat terindah di dunia yang dihiasi dengan pasar-pasar, perahu yang indah dan wanita penghibur.

Hangzhou adalah sebuah kota kosmopolitan sejak Dinasti Song Selatan menjadikannya sebagai ibukota pada tahun 1138 sampai dengan 1279. Belakangan ketika orang Mongol berkuasa ibukota dipindahkan ke Beijing dan Hangzhou menjadi kota perdagangan. Meskipun pemberontakan Taiping merusak gedung-gedung tua, Danau Barat (West Lake atau Xi Hu) yang menarik dan wilayah sekitarnya yang indah seperti di Situ Patenggang Bandung masih menarik untuk pengunjung.

Malam itu kami menginap di sebuah hotel setelah sebelumnya diajak berkunjung ke pusat kota, pusat pemerintahan dan pusat perbelanjaan. Kota Hangzou sangat modern sedikit lebih megah dari Jakarta. Di Hangzhou seperti juga di Shanghai banyak barang-barang bagus bermerk tetapi sebenarnya barang KW atau barang ilegal. Barang ilegal ini adalah barang bermerk yang tidak dijual dengan harga sebagaimana mestinya melainkan lebih murah tetapi penjualannya dilakukan secara sembunyi sembunyi. Aku bertemu dengan tenaga pemasaran di pinggir jalan dan diajak melihat show room yang terletak di lantai dua ruko. Konon jika diketahui oleh aparat keamanan maka transaksi tersebut bisa dianggap melanggar hukum.
Pagi pagi kami meninggalkan penginapan dan melakukan city tour. Kami diajak melihat bangunan stadion olah raga mereka yang modern. Hampir di setiap kota atau provinsi mereka memiliki bangunan-bangunan olahraga yang megah dan mewah sekelas Senayan. Selain itu mereka  punya gedung kesenian atau sirkus yang setiap malam menyajikan pertunjukan yang bagus. Konon para pemain sirkus adalah anak-anak yang terlantar yang diurus oleh Negara. Jadi ingat UUD 1945 ya.

Tempat yang menarik di Hangzhou adalah Xi Hu atau Danau Barat (West Lake). Danau ini mirip dengan Situ Patenggang di Bandung Selatan. Xi Hu berlokasi di jantung kota Hangzou, luasnya sekitar 8 km2 . dikelilingi oleh perbukitan hijau, dibayangi oleh pepohonan wilow dan dipenuhi wangi bunga teratai danau ini telah lama menjadi inspirasi bagi para seniman. Xi Hu asalnya adalah aliran sungai Qiantang yang kemudian menjadi danau saat sungai mengisinya penuh di abad ke-empat. Karena danau berpotensi menimbulkan banjir maka dibuatlah beberapa tanggul dan pintu air seperti Bai dan Su. Berperahu dari sisi timur di waktu senja menyusuri tanggul sangat direkomendasikan.

Kamipun tidak lupa mengunjungi Desa Longjing yang merupakan penghasil pelbagai teh hijau terbaik di Cina. Pengunjung bisa mendatangi pengolahan teh dan melihat pelbagai tahap produksi seperti memetik, memilah, mengeringkan dan bisa membelinya dengan harga bervariasi tergantung grade nya. Desa Longjing tampak makmur. Rumah petani dibangun seragam seperti villa dan dijadikan tempat menginap para wisatawan yang berkunjung. Pelayanan diberikan langsung oleh para petani teh pemilik rumah. Di setiap rumah disediakan hiburan bagi wisatawan antara lain mahyong.

Di situ ada pula Museum Teh yang menyajikan sejarah produksi teh. Banyak informasi menarik seputar macam-macam teh, penanamannya, serta perkembangan penyajian teh serta upacara meminum teh. Aku melihat gaya shaolin saat mengeringkan teh, yakni menggoreng teh hijau di wajan besar dan membolak-baliknya dengan tangan kosong. Lalu menikmati cara penyajian teh yang dikucurkan dari teko dari ketinggian satu meter serta memperoleh informasi mengenai kebolehan memakan ampas teh hijau yang katanya berkhasiat. Di museum ini ada beberapa foto dari pemimpin dunia yang berkunjung ke sana termasuk Presiden RI Megawati Sukarnoputri dan Ratu Elizabeth.

Setelah menikmati city tour malam itu kami menuju bandara Hangzou yang merupakan bandara domestik namun dengan fasilitas internasional. Sekitar pukul 22.00 waktu RRT pesawat lepas landas menuju Shanghai.

Yellow Mountain (Huangshan)






13 Mei 2007. Setelah urusan di Beijing selesai saya  masih punya satu acara lagi  di Shanghai. Karena waktunya berselang satu dua hari, aku dan rombongan keesokan harinya  mengadakan perjalanan dari Beijing menuju Shanghai. Itu artinya dari  North China (Cina Utara)  menuju Central China (Cina Tengah)  melalu beberapa provinsi.

Pagi-pagi benar bus telah bersiap di depan hotel dan kamipun memulai perjalanan darat memasuki kota-kota dan pedesaan China. Perjalanan dari Beijing rasanya sangat panjang dan lama mungkin kurang lebih mencapai 500 kilo meter. Bus menyusuri jalan tol dan jalan biasa menembus pepohonan bambu yang ditanam rapi, tepian sungai, desa-desa dengan rumah penduduk yang bagus dan rapi, pesawahan yang tidak terlalu subur, pegunungan, kabut tipis dan hutan. Sesekali kami berhenti untuk makan di restoran dengan menu dan bahan pangan lokal yang ditanam petani setempat. (Pemerintah China membagi tanah kepada semua penduduk dan mengharuskan para pengusaha setempat membeli produk para petani). Kami pun berhenti di galeri  yang memproduksi dan menjual batu mulia seperti jade (giok). Tidak lupa pula pemandu mengajak kami ke pusat pengobatan herbal untuk memperoleh pelayanan gratis merendam kaki di air hangat yang telah diberi ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Tentu saja kami membeli produk mereka barang satu atau dua bungkus.

Seingatku destinasi  yang pertama kami kunjungi adalah Huang Shan atau Yellow Mountain. Huang Shan merupakan tempat wisata paling populer di Provinsi Anhui.  Terkenal sebagai pegunungan tercantik di China, bukit-bukitnya yang selalu berkabut mendapat pujian dari para pelukis dan penyair selama ratusan tahun.  Meskipun puncak tertingginya hanya sekitar 6.200 ft (1.900 m) tetapi 70 bukit-bukit granitnya spektakuler untuk dipanjat dan jalan setapaknya sangat terjal dan menantang. Karena waktu kami tidak banyak, alih-alih menapaki jalan setapak yang sudah dibangun permanen, untuk mencapai puncaknya kami menggunakan cable car dari salah satu pintu pendakian.  Melintasi perbukitan karang kami seperti melayang di awan menyaksikan pemandangan jurang-jurang dengan beragam tanaman setempat. Menyaksikan itu aku menahan nafas dan teringat perbukitan marmer di Cipatat yang bukit-bukitnya kian melenyap digusur para pengusaha.  

Setelah turun di shelter bukan berarti sudah sampai di puncak. Kami harus berjalan di jalan setapak yang dibuat permanen sejauh beberapa kilometer sambil menyaksikan vegetasi pegunungan seperti pelbagai macam cemara dan bunga-bungaan yang menawan.  Untuk itu kami harus melewati Huan Ke Song (Welcoming Guest Pine) atau Pinus Penyambut Tamu, yang konon sudah berusia ribuan tahun menyambut tamu yang datang. Waktu kami  tidak lama karena sebelum malam tiba sudah harus tiba di puncak.   Untunglah meski dengan nafas terengah-engah kami pun sampai di puncak. Hebatnya di puncak Huang Shan tersedia akomodasi seperti di Puncak. Hotel-hotel, restoran, toko-toko dan fasilitas lainnya. Penerangan listrik menambah keindahan malam yang dingin. Aku lupa  kami menginap di Lianhua Feng  (Lotus Flower Peak) di ketinggian 6.145 kaki atau Guangming Ding (Brighr Summit Peak) di ketinggiana  6.035 kaki. Kalau nama hotel tempat kami menginap bisa kupastikan bernama Shilin. Fasilitas hotelnya tidak begitu bagus tapi memiliki pemanas ruangan sehingga bisa menjadi tempat istirahat malam itu.

14 Mei 2007. Pukul 03.00 dini hari wake up call membangunkanku. Beberapa orang termasuk diriku bergegas meninggalkan kamar dan dengan berbekal lampu senter dari hotel menyusuri pebukitan menuju Qingliang Tai (Refreshing Terrace) untuk menyaksikan matahari terbit bersama para wisatawan domestik maupun mancanegara.  Ini adalah perjalanan yang terberat kurasakan karena jalan ke menuju puncak sangat terjal, sempit, mendaki, berliku dan berkabut dengan suhu mendekati 0 o  . Namun melihat beberapa wisatawan lokal yang sudah berusia lanjut berjalan dengan santai membuat semangatku meningkat. Belum lagi tetumbuhan dengan aneka bebungaan khas daratan Cina yang indah menambah keinginanku mencapai puncai bertambah. Dengan nafas tersengal-sengal karena kadar oksigen yang menipis akupun dapat menyelesaikan pendakian. Inilah klimaks perjalanan ke Huang Shan atau Gunung Kuning yaitu menyaksikan matarahari terbit. Memang sangat indah. Berbeda dengan melihat matahari terbit di Gunung Bromo yang berada di padang pasir, matahari terbit di Huang Shan muncul di antara banyak bukit yang bersaput awan tipis.

Setelah  kembali ke hotel aku membeli sebuah CD yang memviasualisasikan pemandangan Huang Shan sebagai kenang-kenangan.  Huang Shan memang  gunung yang indah. Tidak mengherankan UNESCO menjadikannya sebagai World Heritage (Warisan Dunia). Hal itu yang menambah daya tarik Huang Shan, belum lagi ada sebuah pernyataan Deng Xiao Ping di sebuah baliho di tempat parkir yang menyatakan bahwa mereka yang belum mendaki Huang Shan belum mengetahui Cina yang sebenarnya.

Rabu, 24 Februari 2016

Beijing dan Tembok Besar




Pada suatu hari di bulan Mei 2007 staf di kantor menelponku dan memberi informasi bahwa aku diminta berangkat bersama Adi Gunawan ke Tiongkok untuk mendampingi pemerintah provinsi Jawa Barat yang akan mengikuti China International Exhibition 2007. Rombongan dipimpin Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Lex Laksamana dan Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat. Rombongan terdiri dari Kepala Dinas Pertambangan dan jajarannya disertai dengan eksekutif, legislatif  dan perguruan tinggi di kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Dari kalangan pengusaha ada beberapa pengusaha Bandung  dan Gatot Tjahjono dari KADIN.  Sayangnya karena sesuatu hal aku tidak bisa berangkat bersama rombongan melainkan menyusul sendiri belakangan.  

Seingatku aku akhirnya berangkat malam hari dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di pesawat aku duduk di samping Wakil Gubernur Sulawesi Barat yang ternyata juga berangkat ke China. Rupanya pengatur perjalanan telah mengaturnya. Dalam perjalanan  Pak Wagub bercerita bahwa dulu pernah berdinas di Telkom di Bandung bahkan pernah mendaftar menjadi anggota PDI Perjuangan dan memiliki KTA (Kartu Tanda Anggota).  Aku pun merasa memiliki teman dekat sehingga perjalanan terasa menyenangkan.

Perjalanan ke Beijing berlangsung sekitar enam  jam. Saat malam berakhir pesawat sudah berada di atas kota  Beijing yang merupakan kota ketiga terbesar di dunia. Cahaya matahari tidak begitu terang karena kota diselimuti kabut. Samar-samar bandara yang luas dan modern nampak di kejauhan. Hari masih pagi saat kami tiba di bandara.   Keriuhan bandara segera terasa. Para penumpang yang antri di bagian imigrasi dan bea cukai nampak mengular dan panjang. Kebanyakan adalah penumpang berkulit putih. Kebetulan saat itu Beijing sedang bersiap menghadapi Olympiade. Stadion Sarang Burung yang menjadi venue  utama olympiade bisa kulihat selintas saat pesawat hendak mendarat. 

Saat keluar bandara seorang pemandu sudah menjemput kami. Dengan menggunakan minibus dia membawa kami meluncur memasuki kota Beijing. Kami pun langsung masuk ke keramaian lalu lintas di jalan raya yang memiliki banyak jalur sehingga nampak lebih luas dari jalan tol di Indonesia .  Bagiku Beijing nampak serba berskala besar. Akupun menikmati pemandangan pagi hari di kota yang memiliki penduduk lebih dari sepuluh juta  ini.

Di Beijing pengendara sepeda motor dilarang memasuki kota. Di jalan hanya ada kendaraan roda empat dan sepeda (kereta angin). Sepeda bersliweran di kawasan perdagangan maupun kawasan perumahan.  Menurut cerita kehilangan sepeda  merupakan hal yang sudah biasa. Penggunaan sepeda diharapkan mengurangi polusi udara. Pemerintah Cina nampaknya kewalahan mengatasi polusi udara  yang berasal dari emisi gas buangan kendaraan serta asap dari pabrik maupun debu dari pembangunan gedung-gedung. Tadinya kupikir kabut di Beijing berasal dari udara yang dingin tapi ternyata  dari debu maupun asap yang memenuhi udara.  Dengan sendirinya jarak pandang pun menjadi terbatas.

Meski pemerintah kota Beijing belum mampu mengatasi  polusi udara tapi di sisi lain keliahatannya mereka sudah mampu mengatasi pencemaran air sungai. Sungai -sungai di Beijing nampak bersih dan jernih dengan tanggul dan tepian sungai yang ditata dengan baik dengan taman-taman yang nyaman sehingga menjadi tempat pertemuan dan tempat bersantai warga kota. Saat aku melintas dari bandara menuju hotel, aku melihat banyak orang berusia lanjut yang berjalan-jalan atau duduk di tepian sungai. Aku pun  melihat ada yang sedang memancing. Saat ikan didapat mereka melepas kembali ke sungai. Ada pula yang melepas pakaian dan berenang di sungai  yang mengalir jernih.

Di Beijing masih tersisa bangunan-bangunan perumahan untuk penduduk yang dibangun oleh pemerintah. Bentuknya lebih menyerupai asrama . Ukurannya  lebih kecil dari rumah T 21 yang dibuat oleh Perumnas.  Kamar  mandi dan WC dibuat kolektif. Kini pemerintah Cina sudah membangun perumahan bagi warga berbentuk rumah susun atau apartemen yang disediakan bagi penduduk berdasarkan strata sosialnya.
Di Beijing kami berkesempatan jalan-jalan ke Lapangan Tian An Men (Lapangan Merah) dengan foto Mao Ze Dong berukuran besar di gerbang Istana. Di dekat situ ada musoleum Mao dan kantor pemerintatahan. Pada malam hari lampu-lampu  di sekitar Lapangan Merah sangat indah. Di  Beijing kami mampir ke sebuah pusat pengobatan herbal di sebrang Lapangan Merah yang mempromosikan pengobatan  dengan tujuk jarum, pijat dan ramuan alamiah.

Bukan hanya mengunjungi Lapangan Tian Anmen (Pintu Surga Yang Damai) kamipun pergi ke luar kota Beijing menuju Tembok Besar (Great Wall) yang mulai dibangun  tahun  210 sebelum Masehi oleh Kaisar Dinasti Chin , Shih Huang Ti untuk menahan serangan bangsa Mongol dari Utara. Panjang Tembok Besar  dari barat ke timur sekitar 2.414 km  mungkin hampir sama dengan jarak penerbangan dari Jakarta ke Beijing. Aku mencoba mendaki tangga dari batu untuk mencapai bagian atas tembok yang  didirikan di atas bukit dan merasa takjub akan karya mereka itu. Sebagai kenang-kenangan ada piagam dari terbuat dari kuningan yang ditulisi namaku, menunjukkan bahwa aku pernah berkunjung ke sana pada tanggal 12 Mei 2007. Tentu saja aku harus membayar beberapa yuan (renmimbi) untuk mendapatkannya.
,

Berikutnya insya Allah akan kuceritakan kunjunganku ke Hangzhou, Huangshan, Shanghai.