Sabtu, 31 Desember 2011

Makan Malam di Pantai Jimbaran

Untuk mengetahui kondisi perikanan di Bali dan khususnya kehidupan para nelayan, aku menyempatkan diri ke Kedonganan, sentra nelayan di selatan Denpasar yang menjadi pusat transaksi bisnis perikanan rakyat yang masih tradisional. Pada siang itu TPI (Tempat Pelelangan Ikan) hiruk pikuk dengan jual beli ikan yang baru saja diperoleh nelayan dari laut. Belakangan Kedonganan yang merupakan desa adat nelayan menjadi penting posisinya sebagai pemasok ikan laut segar bagi bisnis kuliner seafood di sepanjang pantai Jimbaran.

Nama Jimbaran mulai berkibar saat Presiden Soeharto melakukan temu wicara dengan para pengusaha dari suku Cina yang biasa disebut dengan istilah konglomerat. Soeharto meminta mereka untuk memberikan perhatian pada perekonomian rakyat. Pertemuan itu dilakukan di Jimbaran, tepatnya di belakang hotel Four Season dengan empat atau lima bintang dan dikemas dengan paket acara makan malam dengan menu makanan laut segar di tepi pantai.

Temu wicara itu tentu saja tidak menghasilkan apa-apa. Karena itu tidaklah penting untuk dibahas. Untungnya menu makanan laut segar dari pantai yang dikemas dalam acara makan malam di pantai di bawah langit terbuka yang diterangi obor disertai deburan ombak memberikan sensasi yang luar biasa. Sejak itu Jimbaran menjadi pusat keramaian baru di desa Kedonganan yang sunyi. Restoran yang semuanya menyajikan menu seafood bertebaran sepanjang pantai. Jika malam tiba maka suasana begitu ramai dengan para wisatawan nusantara maupun manca yang khusus datang ke Jimbaran untuk makan malam. Pemerintah desa adat (banjar) mengatur dengan baik lahan untuk restoran maupun parkir sehingga perekonomian desa pun ikut terangkat pelan-pelan.

Sejak saat pertama kali aku ke Kedonganan, setiap ke Bali hampir dapat dipastikan aku pergi ke Jimbaran, biasanya diundang oleh teman-teman atau diatur oleh pemandu. Upacara makan malam di Jimbaran dimulai dengan sambutan ala Bali, kemudian tamu disilakan duduk di kursi yang disediakan. Kursi dan meja diatur di pasir pantai memanjang dari arah pintu masuk restoran ke arah laut. Pelayan segera menyediakan makanan pembuka : kacang tanah digoreng. Setelah itu hidangan utama disajikan : masing-masing diberi satu piring makanan laut mulai dari ikan, kerang, cumi-cumi, udang atau bahkan kepiting plus sambal yang diberi minyak kelapa dan potongan bawang merah. Sementara kita menikmati makanan, para pengamen akan bernyanyi diringi musik akustik : gitar, biola, bas mapun alat perkusi seperti gendang. Sambil makan dan menikmati musik, kita bisa bebas memandang ke laut gelap yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu kapal nelayan atau melihat langit yang bertaburan bintang. Sungguh mengesankan. Subhanallah.

Pernah suatu saat I Gusti Alit Kelakan yang ketika itu menjadi Wakil Gubernur Bali mengundang kawan-kawannya ke sana. Momentumnya adalah kongres PDI Perjuangan. Akupun ikut diundang karena sempat berteman beberapa hari dengannya dalam suatu diklat politik di Ciawi Bogor. Beberapa kawan-kawan itu adalah teman2 Alit sewaktu aktif di gerakan mahasiswa nasional dan kini beberapa dari mereka berkiprah di kepolitikan nasional dan daerah : Arif dan Ahmad Basarah menjadi anggota DPR RI, Ayi Vivananda menjadi wakil walikota Bandung, Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT. Sayang belakangan kudengar Alit tidak “nyambung” dengan TK sehingga nampaknya dia harus keluar dari arus utama partai. Beberapa saat kemudian ketika aku berkunjung lagi ke Bali, kulihat Alit menjadi pimpinan sebuah organisasi bisnis pariwisata di Bali.

Jimbaran sampai saat ini masih memiliki daya tarik yang kuat bagi pariwisata di Bali. Pemerintah harus menjaga agar desa adat tetap memiliki otonomi dalam mengelola tempat tersebut sehingga rakyat menikmati hasil dari kemajuan Jimbaran sebagai ikon wisata di Kedonganan. Jika tidak maka pariwisata hanya akan menciptakan kantong-kantong kemewahan dan kantong-kantong kemiskinan di Bali. Hal lain yang harus diupayakan adalah peningkatan keamanan dan ketertiban di Bali, karena para teroris sudah pula masuk ke Jimbaran dan meledakkan bom di sana, tepat di restoran di mana Alit mengundang kami, hanya selang beberapa hari saja.

Sabtu, 24 Desember 2011

Mewakili Pantura



Kasepuhan, Cirebon







Menjelang masa jabatanku sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat 1999-2004 berakhir, Sekretaris DPD PDI Perjuangan Ucok Haris Maulana yang juga menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi mengundangku ke ruang kerjanya di Jalan Pelajar Pejuang No. 1 Bandung. Dia menunjukkan padaku draft nama-nama anggota Partai yang kemungkinan akan dicalonkan dari Jawa Barat untuk menjadi anggota legislative di Provinsi Jawa Barat (DPRD) maupun di pusat (DPR RI). Ucok mengatakan bahwa namaku tercantum dalam nominasi sebagai calon anggota legislative di tingkat Provinsi Jawa Barat sambil menunjukkan lembaran draft daftar nama-nama . aku melihat memang ada namaku di situ. Drs H Harjoko Sangganagara.

Menjelang masa pencalonan, DPD PDI Perjuangan Provinsi Jawa Barat mengadakan Musyawarah Daerah (Musda) di Lembang Bandung, untuk menyusun nominasi yang akan dimasukkan ke dalam Daftar Calon Sementara . Musda diikuti oleh Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Pimpinan Cabang Partai se Jawa Barat. Sebagai anggota Fraksi akupun diundang untuk mengikuti pembukaan Musda. Selepas itu DPC dan DPD lah yang akan melakukan musyawarah. DPC-DPC mengajukan nama-nama calon legislative untuk DPRD Kota dan Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI. Nama-nama itu berasal dari musyawarah di tingkat Ranting (Musran) yaitu musyawarah Partai di tingkat Desa/Kelurahan kemudian dibawa ke musyawarah tingkat Anak Cabang (Musancab) yang merupakan musyawarah Partai di tingkat Kecamatan dan selanjutnya di bawa ke dalam musyawarah tingkat Cabang (Muscab) sebagai musyawarah Partai tertinggi di tingkat Kota dan Kabupaten. Keputusan yang dihasilkan dari Muscab itulah yang dibawa ke dalam Musda. Nama-nama calon legislative (Caleg) untuk DPRD Kota /Kabupaten bisa diputuskan di tingkat Cabang (DPC) dan hanya dilaporkan ke DPD dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat). Nama-nama caleg untuk DPRD Provinsi Jawa Barat diputuskan di Musda dan dilaporkan ke DPP. Nama-nama caleg untuk DPR RI diusulkan oleh DPD dan diputuskan di Munas (Musyawarah Nasional) yang diselenggarakan oleh DPP dan diikuti oleh DPD dan DPC seluruh Indonesia. Hasil Muscab dan Musda itu tidaklah bersifat final, Dalam praktiknya DPP dan DPD bisa melakukan intervensi untuk menentukan nama-nama caleg.

Dari Budiono yang biasa dipanggil Romo –mungkin karena dia Katolik—aku mendapat informasi bahwa aku masuk dalam nomor jadi (biasa disebut sebagai nomor kopiah). Dalam pembicaraan empat mata Budiono memintaku untuk menyiapkan seharga 5000 buah kaos, yang harus kuberikan pada Ucok. Itu berarti sekitar Rp 25 juta.

Belakangan hari namaku memang muncul dalam Daftar Calon Sementera (DCS) yang dikirimkan ke KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Namaku berada pada daerah pemilihan Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu dengan nomur urut 2 (dua). Di nomor urut pertama adalah dr H. Ikhwan Fauzi dan di nomor urut tiga Sely Andriana Gantina. Nama pada DCS tersebut bertahan hingga DCT (Daftar Calon Tetap) yang diumumkan sebulan kemudian. Nama dalam DCT adalah nama yang nantinya tercantum pada Kartu Suara di TPS (Tempat Pemilihan Suara).

Sebagai caleg maka aku harus masuk ke gelanggang kampanye baik terbuka maupun tertutup. Masa kampanye berlangsung beberapa minggu tapi tidak lebih dari sebulan. Langkah pertama adalah mencari dana kampanye. Dalam rapat Partai di Grand Hotel Lembang Taufik Kiemas (TK) langsung memanggil para caleg DPR RI, DPRD Provinsi para pejabat eksekutif yang berasal dari Partai untuk menyampaikan komitmen menyumbang sejumlah uang untuk dana kampanye di Jawa Barat (TK dicalonkan dari Kabupaten Bandung). Tiba namaku dipanggil. Aku berdiri dan entah bagaimana aku menyatakan komitmen menyumbang Rp 80 juta.

langkah kedua para caleg (DPR RI dan DPRD) melakukan koordinasi dengan para ketua dan pengurus DPC lainnya di daerah pemilihan. Dibuatlah semacam kepanitiaan local dan Ikhwan ditunjuk sebagai coordinator. Di dalam kepanitiaan itu ada Sidharto Danusubroto, Yosep Umarhadi, Suryana, Eriko Sotarduga dan nama-nama lain. Ikhwan, Sely dan aku segera berangkat ke Cirebon bertemu dengan para ketua Partai : Suryana, dan Tasiya Sumardi. Kami mencari sebuah rumah kontrakan, menyiapkan tenaga dan peralatannya. Di tempat itulah kami mengatur segala sesuatunya agar kampanye bisa berjalan efektif.

Apabila dalam Pemilu 1999 PDI Perjuangan memperoleh nomor urut 11 maka pada Pemilu 2004 PDI Perjuangan memperoleh nomor 18. Maka langkah ketiga kami adalah melakukan sosialisasi nomor ini ke seluruh daerah pemilihan. Kami mencari kayu dan bamboo dalam jumlah sangat banyak dan kami kirim ke tiga kota/kabupaten. Kami memesan bendera, umbul-umbul, spanduk, baliho, poster, dan lain sebagainya. Pada malam di mana keesokan harinya kampanye alat peraga dimulai kami melakukan doa bersama di kantor DPC PDI Perjuangan Kabupaten Cirebon dan langsung turun ke lapangan untuk memastikan bahwa bendera-bendera partai sudah terpasang sepanjang jalan protocol kota dan kabupaten Cirebon serta Indramayu. Kamipun memesan beberapa buah balon udara berlogo partai untuk kami pasang selama masa kampanye. Sebuah pesawat terbang kecil kami carter untuk menyebarkan tanda gambar di udara Indramayu dan Cirebon. Bertruk-truk kaos (T-shirt) kami siapkan di sebuah gudang dan dari situ kami distribusikan ke seluruh kota/kabupaten, kecamatan sampai desa-desa.

Langkah keempat adalah melakukan kampanye terbuka dan tertutup di pelbagai tempat. Di setiap kota dan kabupaten kami adakan kampanye setingkat nasional di mana kami para caleg menyampaikan orasi berisi program partai. Hiburan rakyat seperti dangdut tentu saja tidak kami lewatkan. Guruh Sukarnoputra pun datang dengan menggunakan helicopter. Semua itu membuat Cirebon dan Indramayu marak.

Semua usaha kami tidak sia-sia. Daerah pemilihan Cirebon-Indramayu merupakan salah satu daerah pemilihan (dapil) yang dapat dimenangkan oleh PDI Perjuangan di Jawa Barat bahkan di Indonesia, karena secara umum Partai dipecundangi Partai Golkar baik di tingkat nasional maupun Provinsi. Aku bersyukur kepada Allah meskipun ada yang mengatakan bahwa sudah selayaknya kami menang karena Cirebon-Indramayu adalah kandang banteng. Padahal di awal musim kampanye banyak yang menyangsikan dan mengganggap remeh kerja kami.

Senin, 19 Desember 2011

Elang Coklat Merah













Dari Sebrang Perai aku bermaksud melihat pembangunan infrastruktur Malaysia, dengan bus memasuki North-South Expressway (Lebuhraya Utara-Selatan), sebuah jalan tol sepanjang 966-km yang menghubungkan semua kota-kota besar di Malaysia bagian barat. Bus melalui Alor Star, ibukota negara bagian Kedah, kota di mana PMTuanku Abdul Rahman dan Mahathir Mohammad berasal. Terletak 93 km dari Butterworth Penang dan 45 km perbatasan Thailand. Alor Star menjadi kota pada 21 Desember 2003.

Sekedar catatan, Tun Dr Mahathir bin Mohamad ( lahir 10 Juli 1925) adalah politisi Malaysia yang menjadi PM keempat, berkuasa selama 22 tahun (1981-2003). Lahir dan besar di Alor Star, Mahathir menjadi seorang dokter, aktif di United Malays National Organisation (UMNO), mulai masuk ke Parlemen tahun 1964 dan kemudian tersingkir dari UMNO. Setelah Tunku Abdul Rahman tidak menjadi PM, Mahathir kembali ke UMNO dan parlemen dan dipromosikan ke Kabinet hingga menjadi Deputy PM pada tahun 1976, dan pada tahun 1981 menjadi PM menggantikan Huseein On.

Bus sampai di Kuala Perlis (atau Kedah?) dan dengan menggunakan ferry aku menyebrang ke Pulau Langkawi. Dalam waktu kurang lebih satu jam aku ferry tiba di The Langkawi Jetty Point. Hari telah petang di Langkawi dan malam itu aku menginap di sana sambil menikmati suasana malam di Langkawi yang tertata rapih dan bersih meski tidak seramai Kuta di Bali.

Langkawi, mendapat julukan resmi the Jewel of Kedah ( Langkawi Permata Kedah) adalah sebuah kepulauan dengan 104 pulau di Laut Andaman berjarak 30 km lepas pantai semenanjung Malaysia. Kepulauan ini adalah bagian dari Kesultanan kedah dan berbatasan dengan Thailand. Pulau terbesar bernama PulauLangkawi yang berpendudu sekitar 65.000 orang. Langkawi juga merupakan bagian administratif dari Kuah sebagai kota terbesar. Untuk tujuan pengembangan pariwisata Langkawi dijadikan daerah bebas cukai barang2 impor (a duty-free island).

Nama Langkawi berarti elang coklat merah. Kata lang berasal dari helang. Kawi berarti coklat kemerahan. Nama Langkawai permata Kedah diberikan pada tahun 2008 oleh Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah sebagai bagian pesta emasnya (golden jubilee) untuk memberi kesan pada para turis bahwa Langkawi merupakan bagian dari Kedah. Mahathir Mohamad lah yang mengubah Langkawi menjadi daerah wisata pada tahun 1986, dan itu membantu pembangunan pulau menjadi seperti sekarang, sehingga menjadi seperti Sentosa Island di Singapura, Dunia Fantasy di Jakarta atau bahkan seperti Pulau Bali.

Pada tahun 2007 pulau Langkawi ditetapkan statusnya sebagai World Geopark oleh UNESCO terdiri atas Machinchang Cambrian Geoforest Park, Kilim Karst Geoforest Park dan Dayang Bunting Marble Geoforest Park. Tempat-tempat ini merupakan area wisata yang populer.

Perekonomian Langkawi yang semula berbasis pertanian padi dan perkebunan karet serta perikanan dengan cepat digantikan oleh pariwisata yang memperhatikan pelestarian alam, dan kecantikan ekologis.

Program pembangunan The Northern Corridor Economic Region (NCER) merupakan prakarsa pemerintah Malaysia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di utara semenanjung Malaysia yang meliputi negara bagian Perlis, Kedah, Penang, dan Perak. Untuk memperkuat posisi Langkawi sebagai tujuan wisata bertaraf internasional, NCER bekerja mengundang hotel dan resor kelas dunia ke pulau itu. Target NCER adalah meningkatkan pengeluaran wisatawan dari 1.890 ringgit di tahun 2005 menjadi 3.034 ringit di tahun 2012.

Hari berikutnya aku meninggalkan Langkawi kembali menuju George Town untuk kembali ke Medan. Dalam perjalanan dengan bus sepanjang lebuh raya, pemandu yang pensiunan tentara menyetel lagu-lagu Indonesia menggunakan tape recorder. Lagu-lagu lama Tety Kadi. Pak pemandu memiliki banyak koleksi kaset dari penyanyi legendaris Indonesia tersebut karena di memang seorang pengagum berat Tety Kadi.

Selasa, 13 Desember 2011

Menyebrangi Selat Malaka



Mesjid Besar Medan









Di sekitar tahun 2002-2003 aku bertandang ke Medan bersama beberapa orang teman. Tujuanku ku kekantor Gubernur Sumatra Utara, kalau aku tak salah, untuk berdiskusi mengenai pembentukan KPID (Komite Penyiaran Indonesia Daerah). Seingatku Sekda atau Asisten lah yang menerima kami . diskusi berlangsung beberapa jam di petang hari. Lepas dari pembicaraan teknis, aku menikmati indahnya lukisan2 mengenai danau Toba dan berpikir untuk berkunjung ke sana. Sayangnya itu tidak terjadi karena satu dan lain hal.

Alih-alih ke danau Toba aku berkeliling kota Medan, mengunjungi istana Maimoon yang masih dipelihara kemegahannya, melihat masjid peninggalan kerajaan, menelusuri jalan dengan bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial dan Cina dan tentu saja menikmati durian dari penjaja di kaki lima di malam hari. Staf kami mengajak santai di pub melihat pertunjukan live music dari sebuah band tak terkenal kota Bandung. Seperti biasa aku tak bisa berlama-lama karena tak kuat dengan pengapnya ruangan oleh asap rokok.

Nama Medan berasal dari Medinah (kota suci di Arab Saudi) atau Maidan yang dalam bahasa India berarti tanah atau ladang dan dalam bahasa Karo artinya menemukan atau lebih baik. Medan identik dengan Batak meskipun dulunya adalah wilayah dari kerajaan Aceh atau Melayu dan adat istiadat Melayu masih kuat berakar. Boleh dikatakan bahwa Medan adalah tempat di mana pluralitas budaya begitu nampak bahkan cenderung kosmopolit. Populasi orang Jawa mencapai 33% dan Cina 11% diikuti Melayu, Batak, dan suku-suku lainnya. orang Cina yang menguasai perekonomian dan dengan sendirinya juga mempunyai akses yang kuat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan di pemerintahan. Orang India dan Arab juga menjadi bagian dari penduduk medan di samping etnis lainnya. Sebagai kota terbesar di Sumatra atau ketiga di Indonesia, Medan seperti gula yang mengundang semut. Jalan-jalan di kota dikavling-kavling oleh pelbagai ormas yang nampaknya berbagi kue ekonomi dengan menguasai lahan-lahan parkir maupun kaki lima. Daging babi dijual dan nampak tergantung di rumah makan atau warung-warung kecil dan sejauh ini tidak pernah menimbulkan masalah dalam pergaulan penduduk kota sehari-hari.

Pengaruh Malaysia di Medan terasa dengan adanya rumah sakit swasta Malaysia, atau kebiasaan orang kaya atau pejabat Medan maupun Sumut yang berobat ke Malaysia jika mereka sakit atau melakukan general check up. Ternyata memang ada penerbangan tiap hari Medan-Penang pp. Karena penasaran akupun menyempatkan diri ke Penang menyebrangi Selat Malaka dengan penerbangan domestik berbiaya murah (Low cost carrier). Berangkat dari bandara Polonia tengah hari dan dalam sekitar satu jam kemudian tiba di Penang. Penang International Airport (PEN) terletak di Bayan Lepas di bagian selatan pulau Penang.

Penang










Penang selain nama sebuah pulau juga nama sebuah negara bagian di Malaysia yang berlokasi di barat daya semenanjung Malaysia, terdiri dari dua bagian yaitu Pulau Penang di mana pemerintahan berada dan Seberang Perai di daratan Malaysia. Tinginya urbanisasi dan industrialisasi membuat Penang adalah satu negara bagian dengan pembangunan dan perekonomian yang penting di Malaysia sekaligus menjadi tempat tujuan wisata. Populasinya yang heterogen nampak dari banyaknya etnisitas, budaya, bahasa dan keyakinan dan dikenal sebagai yang paling progresif secara sosial. Penduduk Penang dikenal sebagai Penangite.

Di penang aku singgah satu dua hari di George Town, ibukota Penang yang berada di Pulau Penang. Aku menginap di sebuah hotel murah di lokasi wisata yang hidup 24 jam terutama di malam hari. Semacam jalan Jaksa di Jakarta atau Kuta di Bali. Kafe-kafe penuh sesak wisatawan manca, dan aneka kuliner bertebaran hingga ke kaki lima sehingga aku tidak sulit mencari makanan atau sekedar minum kopi dengan teman. Wajar jika kemudian Penang dikenal sebagai the food capital of Malaysia bahkan dinobatkan sebagai the Best Street Food in Asia oleh majalah Time tahun 2004, yang menulis "nowhere else can such great tasting food be so cheap.” Kuliner Penang menggambarkan perpaduan etnik Cina, Eropa, Melayu dan India dan Thailand.

Suasana Eropa berpadu dengan Cina dan India memang terasa sekali di sini karena sejarah panjang Penang yang pernah menjadi jajahan Inggris. Adapun orang Cina merupakan penduduk terbesar di Penang meskipun sekarang orang Melayu jauh lebih banyak. Banyak imigran datang ke sini dari negara-negara tetangga termasuk dari Indonesia.

Pusat pemerintahan berada di KOMTAR Building yang merupakan menara tertinggi di George Town dengan 65 lantai. Di bagian bawah ada pusat pertokoan modern dan di atas kesibukan bisnis itu, para pegawai pemerintah bekerja. Terminal bus terpadu persis berada di bagian bawah pusat bisnis dan pemerintahan tersebut.

Untuk mencapai Seberang Perai (Penang daratan), Pulau Penang dihubungkan dengan Penang Bridge sepanjang 13,5 kilometer yang terdiri dari tiga jalur yang selesai dibangun tahun 1985 dan merupakan salah satu jembatan terpanjang di Asia. Tahun 2006 mereka membangun sebuah jembatan lagi dan direncanakan selesai tahun 2013.
Penang Daratan terhubung dengan apa yang dinamakan North-South Expressway (Lebuhraya Utara-Selatan), sebuah jalan tol sepanjang 966-km yang menghubungkan semua kota-kota besar di Malaysia bagian barat.

Penang juga merupakan negara bagian tiga terbesar secara ekonomi setelah Selangor dan Johor, dengan industri manufaktur yang merupakan penunjang perekonomian terpenting. Di bagian selatan pulau terletak Bayan Lepas Free Industrial Zone dan merupakan Silicon Island dan sejak 2005 Penang menyandang status sebagai Multimedia Super Corridor Cyber City di luar Cyberjaya dengan tujuan menjadi sebuah pusat industri teknologi tinggi yang menjalankan cutting-edge research. Sayangnya investasi langsung ke Penang memudar karena pengaruh dari murahnya upah buruh di Cina dan India.

Selasa, 06 Desember 2011

NAIK BUS MALAM PONTIANAK -KUCHING



Tugu Khatulistiwa















Pontianak

Pada saat aku di Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat periode 1999-2004, aku terkesan pada sebuah pengalaman berkunjung ke Kalimantan Barat. Pontianak adalah kota pertama yang kami kunjungi karena bandara Supadio tempat kami mendarat setelah terbang dari Tangerang terletak di ibukota provinsi tersebut. Kami bertemu dengan Gubernur untuk mengetahui kondisi daerah setelah terjadinya konflik antara orang-orang dari suku Daya dengan suku Madura. Kebetulan gubernur yang berasal dari militer pernah bertugas di Jawa Barat, tepatnya di Yon Zipur Dayeuhkolot Bandung, sehingga kami dapat berdialog dengan terbuka dan leluasa.Kami diajak melihat upaya pemerintah provinsi menangani pengungsi. Mereka di tampung di tempat-tempat pengungsian di tengah kota dan tiap keluarga tinggal pada bangunan kecil tidak permanen (gubug). Gubug-gubug itu mengingatkanku pada kobong-kobong yang ada pada pondok pesantren di Jawa. Dalam gubug-gubug itulah para pengungsi ditampung. Gubug-gubug itu di bangun di halaman bangunan pemerintah seperti GOR dan lain-lain. Suasana di tempat pengungsian sungguh menyedihkan dan kondisi itu mengingatkanku pada suasana peperangan. Alhamdulillah konflik pelan-pelan dapat dikendalikan dan situasi menjadi tenang kembali meskipun memerlukan waktu yang lama. Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa itu adalah bahwa masalah persatuan dan kesatuan bangsa tidak muncul dengan sendirinya melainkan memerlukan kemauan keras untuk mewujudkannya. Hal itu juga memperkuat akan perlunya kita kembali pada idelogi Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara umum kota Pontianak ketika itu dalam keadaan normal, karena konflik tidak terjadi di ibukota melainkan di wilayah pinggiran. Karena itu kami masih bisa menikmati indahnya sungai Kapuas karena sungai merupakan urat nadi kehidupan kota itu dan bahkan urat nadi pulau Kalimantan secara keseluruhan. Kamipun sempat menikmati kuliner Melayu yang banyak dijumpai pada rumah makan di Pontianak. Tak lupa kamipun mengunjungi museum khatulistiwa, yaitu tempat di mana dibangun tugu untuk menandai titik 0 derajat garis equator.

Etnis Cina nampak sangat menonjol dalam kehidupan di Pontianak dan Kalimantan Barat pada umumnya terutama di sektor perdagangan, dan mereka hidup damai di tengah-tengah penduduk. Sehingga menjadi agak aneh jika saudara-saudara kita dari suku Daya bisa terlibat konflik dengan Suku Madura. Tapi itulah yang terjadi.

Senyampang di Kalimantan Barat kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melihat kondisi tenaga kerja kita yang mencari nafkah di Malaysia khususnya di negara bagian Sarawak (Serawak). Kami menggunakan bus malam dari Pontianak dan menjelang fajar kami tiba di perbatasan RI-Malaysia di Entikong. Di check point itu kami beriring-iringan dengan banyak tenaga kerja yang akan menyebrang ke Serawak. Masih diperlukan beberapa jam lagi untuk mencapai Kuching yang merupakan ibukota negara bagian Serawak. Perjalanan dengan bus pun dilanjutkan melalui hutan-hutan dan perkampungan wilayah Malaysia. Harus kuakui bahwa mereka menata wilayah perbatasan dengan lebih baik. Jalan mulus, hutan terjaga, pemukiman teratur rapi dan nampak makmur, jalan-jalan ke perkampungan diberi nama, dan sepanjang jalan rumput-ruput dicukur rapi.

Serawak

Sekitar pukul 10.00 kami tiba di Kuching , ibukota negara bagian Serawak. Kuching kota yang nyaman karena penduduknya hanya sekitar setengah juta orang.
orang Malaysia menyebutnya Serawak dengan Sarawak. Sarawak merupakan satu dari dua negara bagian Malaysia yang ada di Kalimantan di samping Sabah. Pada abad ke-16 Serawak dikuasai Portugis, pada abad ke-17 berpemerintahan sendiri di bawah kekuasaan Sultan Tengah. Pada awal abad ke-19 berada dibawah kontrol kesultanan Brunei. Pada masa kekuasaan Pangeran Indera Mahkota, Serawak mengalami kekacauan. Sultan Omar Ali Saifuddin II (1827–1852), Sultan of Brunei, memerintahkan agar Pangeran Muda Hashim di tahun 1839 menangani keadaan. Saat itulah James Brooke tiba di Serawak. Pangeran Muda Hashim berprakarsa meminta bantuannya tapi Brooke menolak tapi tahun 1841 dia kemudian bersedia membantu dan Pangeran Muda Hashim menandatangai perjanjian menyerahkan Serawak dan memberi jabatan Gubernur pada Brooke yang kemudian menjadi Raja Serawak dan mendirikan Dinasti yang merdeka dari Brunei. Pada tahun 1888 Serawak berada di bawah proteksi Inggris.

Serawak merdeka pada 22 Juli 1963. Bersama dengan Malaya, Sabah dan Singapura menjadi federasi Malaysia pada 16 September 1963 meskipun ditentang sebagian penduduknya. Serawak merupakan wilayah konflik pada saat konfrontasi dengan Indonesia antara tahun 1962-1966.



Gadis Daya Iban


















Serawak memiliki 40 sub etnik seperti Melayu,Cina, India, Daya. Ada pula yang suku Jawa dan Bugis. orang Jawa berasal dari Jawa Tengah yang dikirim ke Serawak oleh Belanda pada tahun 1800 hingga 1940-an untuk dijadikan kuli kontrak di perkebunan karet Inggris. Mereka kemudian menetap dan diberi tanah yang luas. Jumlah mereka sekitar 50.000 orang dan hingga kin masih kuat menjaga adat istiadat mereka. Mereka kawin mawin dengan penduduk setempat dan sehari-hari berbahasa Melayu atau Inggris. Orang Bugi menyebar di beberapa tempat di wilayah pantai dan terkenal dengan keahlian mereka membuat perahu nelayan, di samping bertani, berdagang, menjadi nelayan atau bekerja sebagai tukang.

Selama di Serawak, kami mengelilingi kota Kuching yang indah dan nyaman. Kami menikmati pemandangan kota dari menara, berjalan-jalan di tepi sungai Sarawak , melihat tempat pelelangan ikan yang rapi dan bersih, mengunjungi museum Daya dan tentu saja ke balai kota yang menyatu dengan museum Kuching. Museum itu menjadi unik karena mengaitkan sejarah kota dengan kucing, sehingga semua benda ataupun cerita tentang kucing ada di museum itu.