Senin, 24 Oktober 2011

Ground Zero

hari ketiga atau keempat di Bali kami berkeliling ke luar Kuta dan Sanur. Untuk itu kami menyewa mobil yang biasa mangkal di depan museum Bali. Harga sewa per hari Rp 200.000,00 bersih, sudah termasuk BBM dan panduan perjalanan yang dilakukan oleh pengemudi. Pengemudinya asli orang Bali sehingga paham benar kondisi dan situasi setempat. Kami ikut saja rute yang ditawarkannya : Sukawati, Tampaksiring, Gua Gajah, Sangeh, Taman Ayun, Uluwati lalu kembali ke Kuta.

Sukawati adalah nama pasar suvenir yang menyediakan segala macam pernak-pernik cinderamata khas Bali : lukisan, ukir-ukiran, pakaian, bedcover dan perlengkapan interior lainnya, layang-layang, perhiasan, serta makanan dengan harga yang terjangkau semua kalangan. Murah meriah.

Tampak siring terkenal dengan keberadaan Istana Presiden dan pura Tampaksiring. Pura Tampaksiring ramai dikunjungi orang yang melakukan ritual mandi di mata airnya. Mata air di Tampaksiring sangat deras mengalirkan air jernih dari pegunungan. Dari mata air itu air dialirkan ke kolam pemandian umum di mana orang-orang melakukan upacara mandi dari satu pancuran ke pancuran lainnya setelah bersembahyang dan menyajikan bebungaan. Para wisatawan pun biasanya ikut memasuki kolam setidaknya untuk membasuhmuka atau berwudhu karena tidak mampu menahan godaan kejernihan air yang melimpah dan menyegarkan. Di atas pura ada dua buah bukit kecil di mana Istana Kepresidenan berada. Istana di dua bukit itu dihubungkan oleh sebuah jembatan layang. Dari Istana itu presiden Sukarno dan mungkin juga presiden berikutnya bisa melihat pemandangan indah di bawahnyanya, Pura Tampaksiring dengan mata air serta kolamnya serta pemandian umum di tepi sungai.

Dari Tampaksiring kami singgah di Gua Gajah, sebuah peninggalan arkheologis pra Hindu yang meninggalkan jejak sejarah manusia Bali sebelum kedatangan Raja Erlangga dan orang-orang dari pulau Jawa.

Melalui jalan-jalan desa yang indah permai kami meninggalkan Gua Gajah menuju Sangeh, hutan yang menjadi habitat kera. Kera di sini sehat-sehat dan besar serta bersahabat dengan pengunjung bahkan kadang dia bertengger di bahu kita seperti kera yang kita lihat pada film “Si Buta dari Gua Hantu”. Kami membawa beberapa bungkus kacang tanah yang berkulit dan memberikanya pada kawanan kera tersebut. Jika ada kera yang nakal maka para pecalang yang berpakaian adat akan mengusir mereka. Para pecalang adalah para penduduk desa setempat. Pada orang-orang yang takut kera, para pecalang menyarankan agar kita membawa tongkat. Kera-kera memang takut pada tongkat. Mungkin mereka khawatir kita akan memukul mereka dengan tongkat itu.
Kami kemudian pergi ke Taman Ayun yaitu kompleks pura yang dikelilingi air sehingga pura nampak mengapung di atas danau, itulah sebabnya dinamakan Taman Ayun. Pura ini indah sekali. Halamannya luas. Balai bengong (menara tempat bersantai) nya nyaman untuk digunakan bersantai. Di bagian depan terdapat semacam pendopo yang luas tempat mengadu ayam pada saat upacara. Komplek pura ini adalah milik keluarga Kerajaan Badung, salah satu kerajaan dari beberapa kerajaan lain yang ada di Bali. Tercatat setidaknya ada lima kerajaan di Bali. Antara lain Badung, Singaraja, Pamecutan, Karangasem.

Destinasi terakhir kami hari itu adalah Tanah Lot. Jaraknya cukup jauh dari Taman Ayun. Perjalanan melalui desa-desa adat dan banjar yang masih kental dengan nuansa Balinya. Rumah-rumah di Bali memiliki arsitektur khas yaitu merupakan sebuah kompleks bangunan yang dipagari dinding tembok dengan gapura di depannya. Di bagian depan ada pura kecil tempat sembahyang keluarga. Mereka berdoa di sana setidaknya tiga kali dalam sehari : pagi siang dan sore. Setiap berdoa mereka meletakkan sesaji yang terdiri dari bermacam-macam bunga yang diwadahi tempat khusus terbuat dari daun kelapa atau daun pisang. Seperti diketahui sesaji adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali sehingga bisa ditemukan di setiap tempat : rumah, kendaraan, persimpangan jalan, pasar, kantor, pura, sawah bahkan di pohon-pohon besar. Sesaji dipersembahkan buat para Dewa yang memberi kehidupan serta pada para roh jahat agar tidak mengganggu hidup mereka.

Dalam perjalanan kami sering sekali berjumpa dengan iring-iringan prosesi upacara keagamaan yang hendak menuju ke atau kembali dari pura. Prosesi itu indah dipandang mata seperti sebuah karnaval layaknya. Mereka menggunakan busana khas. Pria menggunakan sarung dan baju putih serta ikat kepala. Wanita menggunakan kain dan kebaya yang diikat selendang pada pinggangnya sambil mengusung sesaji buah-buahan yang disusun indah pada wadah seperti baskom di atas kepala mereka. Di telinga mereka tersungging sekuntum bunga kamboja putih. Kadangkala perjalanan mereka diiringi musik dan barong.

Menjelang senja kami tiba di Tanah Lot yang terkenal dengan Puri Tanah Lot. Puri Tanah Lot terletak di sebuah pulau karang kecil di pantai. Jika laut pasang maka pulau itu terpisah oleh laut dari daratan. Tapi pada siang hari, air laut surut dan kita bisa ke puri tersebut menyebrangi dasar laut. Pemandangan di sini memang indah. Orang-orang duduk di tepi pantai menunggu matahari tenggelam. Ada yang bermain air laut, karang atau pasir. Ada pula yang duduk di kafe-kafe di bibir tebing, sehingga mereka bisa leluasa melihat pemandangan ke arah puri maupun matahari tenggelam. Minum teh atau kopi, atau air kelapa langsung dari buahnya, di senja hari di Tanah Lot, menyaksikan matahari merah tomat tenggelam ke dalam laut sungguh merupakan peristiwa yang tidak dapat terlupakan. Subhanallah.

Saat matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat, orang-orang mulai beranjak pergi dari tepi pantai . Kebanyakan orang segera bergegas pergi sambil menyempatkan diri membeli cinderamata yang dijual di sepanjang jalan ke luar. Ada pula yang merasa malas pulang sambil menyesali betapa cepat momen itu berlalu. Kami masih terkesima dengan apa yang kami lihat. Tapi kegelapan akan segera menyelimuti Tanah Lot, maka kamipun kembali ke Kuta.

Malam hari kami ke luar hotel sambil berjalan kaki menyusuri jalan-jalan. Melihat Ground Zero, yaitu monumen yang dibangun untuk memperingati tewasnya ratusan orang dalam dan luar negeri karena diledakkannya dua kelab malam oleh para pelaku jihad yang dicap sebagai teroris. Peristiwa itu dikenal dengan peristiwa Bom Bali, yang melukai rasa kemanusiaan, kebangsaan, keadilan bahkan religiusitas masyarakat Bali atau bangsa Indonesia umumnya.

Minggu, 23 Oktober 2011

Dari Sanur ke Kuta




Museum Le Mayeur (wikipedia)





Setelah subuh kami menggunakan taksi ke Sanur. Jarak Denpasar-Sanur tidak begitu jauh, mungkin sekitar 10 km saja. Ketika kami tiba di sana fajar mulai merekah. Kami bergabung dengan orang-orang yang menunggu matahari terbit di tepi pantai. Ini ritual wajib bagi wisatawan yang datang ke Sanur. Dari ufuk timur pelahan sang surya muncul dari horison, sedikit demi sedikit sehingga terbit dengan sempurna.

Orang-orang berdecak kagum dan bertepuk tangan. Kamipun mengucap “ subhanallah”. Kegelapan pun sirna. Terang pun serentak datang dari seluruh penjuru. Laut mulai nampak jelas. Ombaknya yang berdeburan ke pantai berpasir putih sungguh membangkitkan nafas kehidupan. Perahu-perahun nampak berjajar rapi dengan cat warna-warni menggugah hati. Bali Beach Hotel mulai nampak di balik rimbuh pepohonan. Pohon kelapa melambai diembus angin.

Kami berjalan sepanjang pantai menikmati pasir putih dengan bertelanjang kaki. Jika lelah kami duduk di atas pasir putih atau bermain air laut yang berderai ke pantai. Para petugas penjaga pantai menggali pasir dan mengubur sampah. Nelayan menawarkan sampan untuk ditumpangi. Kamipun menyewa sebuah sampan untuk melayari pantai. Laut biru jernih menyejukkan hati. Langit biru dengan awan putih berarak. Dari kejauhan kami melihat pantai dan menikmati embusan angin yang kencang menerpa tubuh. Batu-batu karang dan ikan-ikan dapat dilihat dengan mata telanjang.

Setelah lelah bersampan kami istirahat di sebuah kedai di tepi pantai. Sarapan pagi sambil melihat laut luas. Kami duduk santai memuaskan diri dengan panorama elok pantai Sanur. Betapa indah hari itu. Kamipun mengabadikan kenangan dalam foto-foto indah.

Menjelang siang kami berkunjung ke museum Le Mayeur. Lokasinya tepat di samping kiri Bali Beach Hotel. Bangunan museum sebelumnya adalah rumah tinggal Le Majeur bersama istrinya Ni Polok. Keduanya telah tiada. Ada bagian bangunan yang dijadikan tempat penginapan. Rumah Le Mayeur memiliki arsitektur yang penuh nilai-nilai keindahan. Perabotan (interior) nya dirancang sendiri oleh sang pemilik rumah menggabungkan antara seni tradisi dengan pendekatan fungsional misalnya tempat duduk atau meja berukir dan diberi warna merah menyala yang berfungi sebagai tempat penyimpanan barang-barang. Secara umum bangunannya terbuat dari kayu air untuk manci atau minum diperoleh dari sumur gali yang hingga kini masih dipertahankan keberadaannya.





Ni Pollok dan Le Mayeur









Rumah itu kini menjadi museum Le Mayeur yang dipelihara oleh pemerintah daerah. Museum menyimpan banyak koleksi lukisan Le Mayeur yang kebanyakan berobyek Ni Polok. Ni Polok adalah perempuan Bali yang cantik yang juga menarik perhatian Bung Karno. Alkisah, ketika Bung Karno datang ke rumah itu, Le Majeur tidak begitu suka lantaran cemburu. Nama lengkap Le Mayeur adalah Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (lahir di Brusel, 9 Februari 1880 – meninggal di Ixelles, 31 Mei 1958 pada umur 78 tahun) . dia adalah seorang pelukis dari Belgia. Ia tiba di Singaraja, Bali dengan perahu pada tahun 1932. Lalu ia menetap di Denpasar.

Dari Museum Le Mayeur kami kembali ke Denpasar dan mengunjungi Museum Bali yang koleksinya mengambarakan perkembangan kebudayaan Bali sejak masa purba hingga saat ini. Koleksi lukisan dan patungnya cukup lengkap. Karya dari pematung dan pelukis Bali maupun luar Bali yang kemudian bermukim di Bali memenuhi museum. Lukisan mereka bukan saja mempengaruhi bentuk lukisan Bali tradisional tetapi juga lukisan atau pelukis Indonesia saat ini.

Puas menikmati koleksi Museum Bali kamipun kembali ke hotel untuk mandi dan berkemas mencari tempat menginap di Kuta. Kami memperoleh hotel berbentuk cottage tidak jauh dari pantai. Sore dan malam itu kami menikmati suasana Kuta. Pantainya begitu ramai di sore hari saat orang-orang menikmati keindahan pantai sambil menunggu matahari terbenam. Pada Malam hari suasana sungguh meriah, hingar bingar. Hotel, restoran, kafe dipenuhi turis mancanegara. Lampu-lampu berkelap kelip aneka warna. Musik meledak-ledak. Lalu lintas ramai dan padat. Hidup seperti akan berlangsung 1000 tahun lagi...

Jumat, 21 Oktober 2011

Menyebrangi Selat Bali



Pantai Sanur








Bus PJKA tiba di pelabuhan Ketapang, di ujung timur pulau Jawa. Para penumpang diturunkan dan menunggu beberapa saat sebelum memasuki fery roro. Lautbiru yang luas langsung memberi suasana lapang. pasir terhampar sepanjang pantai nampak sampai kejauhan. Pohon nyiur di sela-sela pemukiman melambai ditiup angin. Nampak Ada beberapa dermaga tempat fery bersandar. Berjalan di dermaga menuju fery kami bisa melihat anak-anak telanjang berenang-renang di air laut yang jernih.

Orang-orang melemparkan uang koin Rp 500 atau Rp 1000 ke dalam laut dan dengan sigap anak-anak tersebut menyelam mengejarnya sebelum kemudian muncul ke permukaan air sambil menunjukkan uang tersebut yang kemudian menjadi milik mereka. Ternyata B ukan hanya anak kecil. Beberapa orang dewasa juga berenang-renang di antara mereka melakukan aktivitas yang sama yang nampaknya menjadi mata pencarian mereka.

Penumpang langsung naik ke dek. Mobil-mobil diparkir sedemikian rupa di dasar kapal sehingga tidak saling menabrak ketika fery bergerak. Setelah penuh, fery pun diberangkatkan. Ketika pelan-pelan fery bergerak meninggalkan pelabuhan, pulau Jawapun nampak menjauh. Biasanya aku melihat ujung pulau hanya dari peta, kini ujung pulau Jawa itu nyata dan pelan-pelan kami tinggalkan. Fery bergerak pelan menyebrangi Selat Bali. Kata seorang petugas jika arus selat Bali sedang deras fery harusbergerak sedemikian rupa agar tidak terbawa arus ke selatan, ke Samudra Indonesia.

Kami berjalan-jalan ke luar meninggalkan tempat duduk dan Berdiri di luar merasakan angin yang berhembus keras sambil melihat luasnya laut biru. Tidak lupa mengabadikannya dalam foto. Jika lelah di luar kamipun masuk kembali ke ruangan. Sambil duduk kami menonton video musik atau film yang diputar di layar televisi. Atau tertidur...

Samar-samar bayangan pulau nampak di kejauhan. Pulau Bali. Fery pun bermanuver mendekat ke dermaga pelabuhan Gilimanuk. Oh... sungguh indah. Laut yang bening. Karang nampak di antara pasir. Ya kami telah tiba di pulau dewata. Kamipun keluar dari fery berjalan di dermaga menuju daratan. Kami beristirahat sejenak di pelabuhan. Membersihkan diri, melaksanakan shalat zuhur dan ashar sekaligus.

Bebeberapa waktu kemudian kami semua sudah duduk di dalam bus yang segera berangkat menuju Denpasar. Perjalanan di pulau dewata pun dimulai. Bus melalui hutan yang masih lebat di taman nasional Bali Barat. Pemandangan yang mengasyikkan. Keluar hutan kami melewati kabupaten Jembrana. Suasana Bali pun menyergap. Pesawahan luas, samudra Indonesia, desa-desa yang permai, rumah-rumah penduduk yang dengan pagar berukir, pura, umbul-umbul, sesajen, dan iring-iringan prosesi upacara. Kota yang kami lewati bernama Negara, yang merupakan ibukota kabupaten Jembrana. Ini adalah kota pertama yang kami lewati. Sayangnya kami telah lelah dan kemudian tertidur .



Pulau Bali






Menjelang malam kami tiba di Denpasar, di kantor PJKA di jalan Diponegoro. Kami pun mencari taksi yang mengantarkan kami pada sebuah hotel melati. Setelah makan malam kami bersiap-siap istirahat karena kami berrencana esok pagi ke pantai Sanur. Kami pun tidur di satu kamar. Berlima bersama istri dan ketiga anakku.
Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di Pulu Bali.

Selasa, 18 Oktober 2011

Bandung-Banyuwangi





Lokomotif Diesel













Bung Karno akan marah besar jika ada orang Indonesia lebih membanggakan negara lain di banding degan negaranya sendiri, karena menurutnya Indonesia adalah negara terindah di dunia. Meskipun aku belum melihat secara keseluruhan negri, aku pun meyakini Indonesia adalah negara yang paling indah di dunia. Gunung, lembah, sungai, danau, laut, hutan, kota-kota, desa-desa, penduduknya bahkan flora dan faunanya tak ada bandingnya di dunia. Maka akupun ingin agar anak-anakku mengenal tanah airnya terlebih dulu sebelum mengenal negara-negara lain.

Sesungguhnya sangat sulit menemukan waktu yang tepat di mana kami sekeluarga bisa pergi bersama-sama dalam waktu beberapa hari. Aku dan istri bekerja, sedang anak-anak sibuk dengan sekolah atau kuliah mereka. Namun waktu itu entah bagaimana kami punya waktu kurang lebih seminggu, sehingga kami memutuskan pergi ke Bali dengan berkereta api pergi-pulang.

Seingatku di tahun 2002 atau 2003 itu kami berlima berangkat sore hari dari Stasiun Hall Bandung menggunakan KA Mutiara jurusan Surabaya. Sekitar pukul 17.00 kereta bergerak ke timur melalui Kiaracondong melewati pesawahan menuju Rancaekek. Kereta melaju melewati sta Rancaekek sehingga kami hanya bisa melihat kereta melintas di Bumi Rancaekek Kencana di mana kami tinggal. Rumah kami hanya terselang satu rumah dari rel kereta. Kereta melaju melalui Cicalengka, Nagrek, lalu merayap di tas perbukitan menuju Cibatu. Kereta baru berhenti di sta Tasikmalaya untuk memuat penumpang. Setelah melewati Ciamis kereta menuju Banjar untuk berhenti beberapa saat menurunkan dan menaikkan penumpang. Sidareja, Kroya, Gombong, Kutoarjo, kemudian tiba di Yogyakarta tengah malam. Kereta berhenti agak lama. Penumpang turun dan naik. Kereta kemudian melaju dan berhenti sejenak di Klaten, Solo, Madiun, Kertosono, dan Mojokerto.

Pagi hari kami tiba di stasiun Gubeng. Kami shalat subuh, mandi dan sarapan pagi di stasiun. Pukul 08.00 kami menaiki kereta eksekutif ke Banyuwangi melalui Sidoharjo dan Jember. Kami menikmati perjalanan dengan kereta yang bagus dan nyaman karena tempat duduknya berupa reclyning seat yang berukuran besar disertai air condition yang mendinginkan gerbong. Segera setelah kereta berangkat Petugas restorasi dengan pramugarinya berkeliling dari gerbong ke gerbong menawarkan penganan : nasi goreng, steak, sandwich, mie goreng, disertai kopi dan teh panas. Kamipun memesan penganan kesukaan masing-masing. Makan pagi di kereta menjadi ritual menyenangkan yang ditunggu-tunggu oleh anak-anakku.

Kereta berhenti beberapa menit di Sta Jember . sebagian penumpang turun. Ada juga yang sekedar mencari toilet atau ke toko oleh-oleh membeli makanan khas Jember seperti tape singkong dan dodol tape singkong yang manis masam.



Kawah Ijen














Perjalanan dari Jember ke Banyuwangi sungguh menarik hati. Kereta berjalan cepat melalui area pertanian yang subur berupa sawah, ladang dan perkebunan kopi yang hijau sejauh mata memandang. Kereta melalui rel di dataran tinggi yang menanjak dan kadang menurun serta berkelok-kelok. Suara mesin serta putaran roda yang melindas rel ditingkahi suara peluit menghasilkan suara yang khas berirama seperti alunan musik. Getaran yang dihasilkannya membuat kereta bergerak dinamis ke kiri dan ke kanan membuat penumpang bergoyang-goyang di atas kursinya sehingga pelan-pelan dirayapi rasa kantuk untuk kemudian tertidur. Adapun yang masih tetap terjaga bisa memelototi indahnya pemandangan sambil membebaskan lamunan terbang ke mana saja.






Sta KA Banyuwangi











Kereta melewati stasiun-stasiun kecil. Rambipuji. Rogojampi. Glenmore. Menjelang siang kereta tiba di stasiun Banyuwangi . di stasiun kecil terakhir kereta berhenti untuk menurunkan seluruh penumpang dan bersiap kembali ke Surabaya. Kami turun dan beristirahat di peron. Aku bahkan masih sempat berjalan-jalan ke kota dengan menggunakan becak mencari satu dua cakram padat (CD) atau pita kaset musik tradisional. Tak lama kemudian Bus PJKA membawa kami ke Pelabuhan Ketapang. Buspun masuk ke dalam ferry roro yang akan menyebrangkan kami ke Pulau Dewata.

Minggu, 16 Oktober 2011

Kendaraan Roda Empat

















Bapak dan Ibu Mertua

Menjadi mahasiswa S2 membuatku merasa muda kembali kendati Usiaku ketika itu –di tahun 2000 tidaklah muda lagi. Aku berangkat dari rumah pukul 05.15 agar dapat ikut kereta api patas pertama yang berangkat dari stasiun Rancaekek pukul 05.30. berdesak-desakan dalam kereta sepagi itu menyenangkan karena bisa mengusir hawa dingin yang menusuk. Biasanya aku tiba di stasiun Hall pukul 06.00 kemudian melanjutkan perjalanan ke kampus UPI di Jalan Setiabudi dengan kendaraan angkutan kota jurusan Ledeng. Biasanya ketika aku Tiba di kampus, hari masih pagi dan suasana masih lengang. Tujuan pertamaku adalah kantin di kampus Program Pascasarjana yang menyediakan meja dengan bangku panjang di samping kampus di bawah pohon lengkeng. Secangkir kopi dan sepotong dua potong kue menjadi sarapan pagiku. Satu dua orang mahasiswa yang sama-sama sarapan pagi di situ menjadi teman berbincang.

Ketika aku mulai menjalankan tugas sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat—pengganti antar waktu (PAW)—maka kebiasaan naik kereta api masih tetap kujalani, apalagi gedung DPRD lebih dekat dari stasiun Hall dibanding kampus UPI. Masalah muncul karena kegiatan sebagai anggota Dewan begitu padatnya sehingga pelan-pelan kuliahku terbengkelai. Masalah lainnya adalah bahwa jadwal kerja Dewan tidak beraturan waktunya. Kadang aku harus sudah berada di Dewan pada pukul 05.00 pagi dan pulang larut malam, sedangkan kereta terakhir adalah pukul 20.00. Taksi menjadi pilihanku, sayangnya ongkos taksi dari Gedung Sate ke rumah bisa mencapai Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Mas Tikto (Sunitiyoso Pratikto) yang menjadi Direktur PDAM Kota Bandung berinisiatif meminjamiku mobil untuk menjemput dan mengantarku pulang. Hal itu dilakukannya karena tidak tega melihatku naik kereta api setiap hari.

Rupanya kebiasaanku naik kereta api diketahui Tatang teman sekomisi dari fraksi PG. Dia adalah PNS di Polda Jabar yang bertugas di bagian humas sehingga dekat dengan wartawan. Entah bagaimana mulanya, beberapa hari kemudian di harian Pikiran Rakyat ada berita mengenai anggota Dewan yang menggunakan kereta api pergi pulang dari rumah ke gedung Dewan. Tentulah aku yang dimaksudkannya, karena setahuku semua anggota Dewan selainku menggunakan mobil pribadi ke tempat tugas. aku merasa tidak nyaman dan mulai berpikir untuk membeli kendaraan roda empat.

Ada beberapa Pertimbanganku mengapa harus membeli kendaraan. Pertama adalah jadwal kerja yang tidak teratur dan di luar jadwal kereta api. Kedua ongkos taksi begitu mahalnya sehingga jika dikumpulkan dalam sebulan bisa untuk menyicil kendaraan. Ketiga aku tidak mau merepotkan mas Tikto. Dan keempat aku tidak ingin menjadi bahan berita di koran.

Aku mulai mencari-cari informasi mengenai kendaraan yang paling sederhana dan paling murah yang bisa kuperoleh disesuaikan dengan honor yang kuterima sebagai anggota Dewan. Setelah bertanya ke sana ke mari dan berdiskusi dengan teman-teman – antara lain dengan Bastian— tahun 2002 aku memutuskan membeli sebuah mobil jenis minibus merk D jenis T standar dengan cara leasing dan diangsur selama tiga tahun. Uang mukanya Rp 50 juta. Separuhnya kuperoleh dari bantuan Dewan dan separuhnya lagi uang tabungan. Angsuran perbulannya sekitar Rp 2,5 juta.

Mobil baruku belum diberi perlindungan dari karat dan belum ber-AC. Untuk perlindungan dari karat aku harus membawanya ke bengkel dengan biaya sendiri. AC kubeli beberapa bulan kemudian karena harganya lumayan mahal menurutku, Sekitar Rp 7 juta. Kini mobil itu telah berumur sembilan tahun namun masih setia menemaniku dan keluarga.

Selasa, 11 Oktober 2011

Kembali ke Tanah Air







Jeddah Seafront





Alhamdulillah seluruh rangkaian ibadah haji di tanah suci Mekah telah terlaksana dengan baik. Maka kami para jamaah Kelompok Terbang (Kloter) I dari Kabupaten Bandung pun meninggalkan kota Mekah menuju Jedah, sebuah kota di tepi laut merah. Di Jedah kami tinggal di asrama haji Indonesia selama beberapa hari menunggu jadwal penerbangan menuju kembali ke tanah air.

Untuk mengisi waktu selama berada di Jedah kami mengadakan city tour ke beberapa tempat. Berbeda dengan Mekah yang merupakan tanah suci dengan suasana religious yang kental, Jedah adalah sebuah kota besar layaknya kota besar lain di dunia dengan symbol-simbol kehidupan industrial yang kapitalistik, tidak berbeda dengan kota modern kosmopolitan seperti Jakarta, Singapura, atau Bangkok misalnya. Orang-orang bernampilan modis, pergi ke tempat-tempat keramaian bernuansa kebarat-baratan untuk berbelanja atau ke restoran-restoran yang menjual makanan cepat saji maupun junk food. Jedah menyediakan segala yang dibutuhkan manusia modern. Kotanya indah, bersih dan rapi. Mobil-mobil mewah lalu lalang di jalan raya. tidak terasa bahwa kami baru saja menyelesaikan ibadah haji.

Kami mengunjungi tempat-tempat yang menarik seperti instalasi penyulingan air laut yang dijadikan air tawar untuk konsumsi penduduk kota, istana raja di tengah laut yang bisa dicapai dengan menggunakan jalan di dasar laut, dan tentu saja Laut Merah yang legendaris itu. Laut Merah merupakan tempat wisata yang banyak dikunjungi orang-orang dari pelbagai Negara. Warna merahnya berasal dari warna karang dan pasir di dasar laut. Di tempat ini banyak pedagang dari Indonesia yang menjajakan penganan seperti di Pantai Kuta—minuman ringan dan makanan khas Indonesia seperti pecel. Selain pecel juga ada sate ayam. Jamaah haji yang sudah sebulan lebih berada di Saudi Arabia tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pecel itu pun segera menjadi santapan para jamaah di siang yang terik itu. Dalam soal kuliner kami ini memang benar-benar nasi-onalis.

Sebuah masjid yang indah dibangun kerajaan di pantai Laut Merah. Dari kejauhan Masjid itu Nampak seperti mengapung di laut. Pilar-pilar yang kokoh menyangga masjid, jumlahnya bisa mencapai ratusan. Untuk sampai ke masjid itu tersedia jembatan sepanjang lebih dari seratus meter. Kami melaksanakan shalat di sana dan setelahnya berkeliling masjid mengagumi keindahannya.

Tentu saja aku dan istriku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berjalan-jalan sepanjang pantai sambil sesekali menceburkan diri ke dalam air laut yang menyegarkan sambil membayangkan kisah Nabi Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir ke tanah yang dijanjikan agar terbebas dari penindasan Firaun. Allah menolong mereka dengan membelah Laut Merah sehingga bangsa Israel dapat menyebrang dengan selamat. Ketika Firaun dan bala tentaranya mengejar mereka, laut itupun menutup kembali. Firaun pun mati. Jasadnya dapat dilihat di museum nasional Mesir dalam bentuk mummy.
Setelah puas berwisata di Laut Merah kami pun pulang ke asrama haji Indonesia yang berupa bangunan apartemen beberapa lantai yang nampaknya sudah berusia puluhan tahun. Tidak ada lift di sana sehingga kami harus naik turun tangga.

suatu malam Dari asrama haji kami menuju bandara King Abdul Aziz . Kami harus menunggu berjam-jam di sana menunggu pesawat. Kesempatan itu kami gunakan untuk berjalan-jalan di lorong-lorong bandara yang luas dan berarsitektur indah. Bandara dibuat seperti kumpulan tenda di tengah oasis yang dikelilingi pohon-pohon kurma dan rerumputan hijau. Tenda-tenda tersebut berwarna putih disangga oleh tiang besi dan satu sama lain dihubungkan dengan tali temali dari metal. Nampak bahwa komplek bandara itu dirancang oleh arsitek yang berbakat dan bercitarasa tinggi.

Sekitar pukul 00.00 waktu Jeddah kami boarding ke pesawat Saudi Arabian Airlines. Beberapa kemudian pesawat lepas landas meninggalkan jazirah Arabia menuju Jakarta. Selamat tinggal Jeddah. Ketika pesawat mulai naik ke ketinggian, aku tertegun, setengah tidak percaya bahwa aku baru saja usai menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah.

Selasa, 04 Oktober 2011

IBADAH HAJI











Haji

Haji (Bahasa Arab: حج‎; transliterasi: Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

Latar belakang ibadah haji

Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.

Kegiatan ibadah haji

Tanggal 7 Zulhijah, kami bersama-sama umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah. Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Ka'bah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jamaah diwajibkan melaksanakan niat dan thawaf haji.

Pada pagi 8 Zulhijah, kami bersama semua umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.

9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Kota di sebelah timur Makkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji, yiatu tempat wukuf dilaksanakan, yakni pada tanggal 9 Zulhijah tiap tahunnya. Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jamaah haji dari seluruh dunia. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah. Tempat di dekat Mina dan Arafah ini, dikenal sebagai tempat jamaah haji melakukan Mabit (Bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina. Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Dimasing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jamaah juga diwajibkan untuk menginap satu malam untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, kami menuju Masjidil Haram di Mekah untuk ikut melaksanakan shalat Iedul Adha bersama para penduduk Mekah dan sekitarnya. Malamnya kami bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).

11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.

12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.

Perpisahan

Sebelum pulang ke negara masing-masing, kami bersama-sama jamaah lainnya melaksanakan Thawaf Wada' (thawaf perpisahan). Ketika meninggalkan halaman masjid dan memberikan salam perpisahan, air matapun menetes. Kami dengan perasaan haru biru memasuki bus untuk kembali ke pemondokan.

Senin, 03 Oktober 2011

UMRAH

Meninggalkan Madinah

Setelah melaksanakan shalat fardhu berturut-turut selama empat puluh kali yang memakan waktu sekitar delapan hari – biasa dinamakan shalat arbain – meskipun sebagian jamaah tidak melakukannya karena perbedaan pandangan, kamipun besiap meninggalkan Madinah.

Haji Arbain (bahasa Arab: اربعين arba'in, artinya "empat puluh") adalah ibadah haji yang disertai dengan salat fardhu sebanyak 40 kali di Masjid An-Nabawi Madinah tanpa terputus. Ibadah ini seringkali dikerjakan oleh jamaah haji dari Indonesia. Dalam pelaksanaannya, setidak-tidaknya tinggal di Madinah saat haji selama 8 atau 9 hari, dan dengan perhitungan sehari akan salat wajib sebanyak 5 kali dan selama 8 atau 9 hari maka akan tercukupi jumlah 40 kali salat wajib tanpa terputus.

Rasanya berat meninggalkan kota itu, seperti meninggalkan Nabi SAW. Makam nabi memang terletak di dalam masjid Nabawi. Mengapa demikian, karena ketika nabi wafat beliau dimakamkan di kamar di dalam rumah nabi yang dulu bersebelahan dengan masjid. ketika masjid diperluas dari masa ke masa, rumah nabi pun terkurung oleh kompleks masjid. Makam itu menjadi tujuan jamaah setelah melaksanakan shalat. Jamaah hanya bisa memberi salam dan berdoa dari luar pagar bahkan dari kejauhan karena banyaknya askar yang menjaga dan melarang orang-orang mendekat. Entah mengapa, tiba-tiba saja keharuan menyergap setiap aku melewati makam itu, kadangkala disertai tetesan air mata. Nabi seperti masih hidup dan hadir bersama kami para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.

Suatu malam yang telah ditentukan kami berkemas dan bergegas meninggalkan pemondokan dengan berpakaian ihram, dua lembar kain putih seperti handuk yang diikatkan di pinggang dan dililitkan di bahu. Ihram melambangkan pakaian kematian. Pakaian ini memang menjadi ujian tersendiri karena begitu sederhananya, jika ikatan dan lilitan itu terlepas maka kami akan telanjang karena kami tidak diperbolehkan mengenakan pakaian lain termasuk pakaian dalam. Pakaian ini kami kenakan dalam perjalanan menggunakan bus dari Madinah ke Mekah melalui gurun pasir sepanjang 500 km. sepanjang perjalanan kami menyerukan “labaik Allahuma labaik” …ya Allah kami datang. Ya kami datang memenuhi panggilanMu. Sementara di luar bulan dan bintang menerangi kegelapan malam.

Melaksanakan Umrah

Menjelang subuh kami tiba di Miqat Bir Ali, di perbatasan kota Mekah. dari sini kami berniat untuk melakukan umrah. Karena kami melakukan umrah terlebih dahulu maka haji yang kami lakukana dinamakan haji tamattu’. Memang Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.

Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Di antara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.

Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.

Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah di dalam bulan-bulan serta di dalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.

Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.

Umrah dinamakan juga haji kecil, ibadahnya terdiri dari thawaf dan sa’i. Thawaf yaitu mengelilingi Ka’bah dengan pola berlawanan dengan arah jarum jam sambil berdoa dan menyentuh hajar aswad atau sekedar beristilam (memberi salam dengan melambaikan tangan dari kejauhan. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail.

Tahalul

Setelah melaksanakan umrah kami pergi ke sumur zamzam untu meminum airnya sambil berdoa agar diberi kesehatan dan keluasan ilmu. Ritual terakhir adalah tahalul yaitu memotong rambut, beberapa jamaah termasuk aku, Ikhwan, Iswara, Pupu Danglar menggunduli kepala kami. Umrah pun usai, kami boleh melepas ihram.