Jumat, 20 Maret 2020

Baitul Muslimin Indonesia

Menjelang pilkada Jabar tahun 2018, kang Muhamad Somantri  atau biasa kupanggil kang Ayi mengajakku bergabung ke dalam organisasi keagamaan sayap partai bernama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Kabupaten Bandung. Ini berarti organisasi sayap partai yang menginduk ke DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung. Aku menerima tawaran itu dengan senang hati.

Beberapa hari kemudian para pengurus Bamusi datang ke rumah dan kami saling berkenalan satu sama lain. Aku diminta menjadi Ketua Dewan Penasihat. Selain Dewan Penasihat ada Dewan Pembina yang diketuai K.H. Dr. Jalaluddin Rahmat, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Sementara Dewan Pimpinan Cabang diketuai kang Ayi.

Pelantikan DPC Bamusi Kabupaten Bandung dilakukan di sekretariat DPC PDI Perjuangan di Jl. Jaksa Naranata No. 10, Baleendah. Pelantikan dilakukan oleh Gus Mis dari DPP Bamusi. DPP Bamusi dipimpin oleh Prof. Hamka Haq sebagai Ketua Umumnya. Pelantikan disaksikan oleh Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung, Wewen Winarni beserta pengurus lainnya serta para anggota DPRD Kabupaten Bandung Fraksi PDI Perjuangan. Hadir pula para pengurus serta kader partai.

Sebelum pelantikan, KH Dr Jalaluddin Rahmat yang dikenal dengan  Kang Jalal memberikan ceramah agama mengenai sejarah dan perkembangan agama Islam.


Rabu, 18 Maret 2020

Banteng Muda Indonesia

Dalam suasana bulan puasa, aku diundang ke rumah dinas Teh Ineu Purwadewi di Jl. Cibeunying Kidul untuk menghadiri acara silaturahmi BMI (Banteng Muda Indonesia) yang dikemas dalam acara buka puasa bersama. Di situ berkumpul beberapa pengurus DPP (Dewan Pimpiman Pusat), DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) BMI se-Jawa Barat. Sebelum berbuka kang Ono dan kang Ketut membahas mengenai perlunya penyegaran dalam kepengurusan DPD BMI Jawa Barat apalagi setelah ketuanya, kang  Ges, menjadi pengurus DPP.

Beberapa hari kemudian  masih di bulan puasa, dibentuklah kepengurusan DPD yang baru. Ketuanya teh Ineu, sekretaris kang Tom dan bendaharanya kang Irwansyah. Aku menjadi salah seorang wakil ketua bersama kang Budiyono dan kang Darius serta pengurus lainnya. Aku tidak bisa menolak tawaran menjadi pengurus. Bagaimanapun BMI telah banyak membantu dalam meniti karir politikku di pemerintahan daerah sebagai anggota DPRD Jawa Barat selama dua periode yang berakhir tahun 2009.

Setelah Idul Fitri, dilakukan pelantikan DPD BMI Jawa Barat di Hotel Horison. Pelantikan yang dihadiri oleh Sekretaris Jendral DPP BMI, bung Eriko Sotarduga dan fungsionaris lainnya. Sedangkan pelantikannya dilakukan oleh Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Propinsi Jawa Barat, kang Tb. Hasanuddin.  Bersama dengan itu disampaikan pula pataka BMI kepada seluruh ketua DPC PDI Perjuangan se Jawa Barat untuk disampaikan kepada pengurus DPC BMI di 27 kota dan kabupaten se Jawa Barat. Nantinya pengurus DPC BMI kota dan kabupaten dilantik oleh Ketua DPC PDI Perjuangan setempat.

Dalam Anggaran Dasar PDI Perjuangan disebutkan adanya Komunitas Juang yang di dalamnya antara lain  adalah organisasi sayap. PDI Perjuangan memiliki beberapa organisasi sayap seperti BMI, Bamusi (Baitul Muslimin Indonesia),  TMP (Taruna Merah Putih) dan Repdem (Relawan Perjuangan Demokrasi). Sayap partai sebagai bagian dari komunitas juang bertugas melakukan pengorganisasian rakyat di luar basis  partai. Di sisi lain sayap partai juga merupakan organisasi masyarakat seperti ormas ormas lainnya.

Dengan masuknya aku ke dalam organisasi sayap partai maka aku kembali berada dalam lingkungan kepartaian. Sudah hampir delapan tahun ini aku berada dalam lingkungan kampus meski sesekali ada undangan memberi materi pada kursus kader partai.

Sabtu, 14 Maret 2020

Bagus Rangin

Sekitar tahun 2017 saya diminta kawan kawan;  kang Drajat, kang Peri, kang Stanis, kang Supriyadi dll. menjadi ketua panitia seminar pengajuan  Bagus Rangin sebagai pahlawan nasional. Sekretarisnya adalah kang Frans Sopandi dari Tanjungsari, Sumedang.

Bagus Rangin adalah tokoh yang
memimpin perlawanan  terhadap Belanda dalam Perang Cirebon pada tahun 1815-1821. Ia dilahirkan di Rajagaluh dan makamnya tersebar di beberapa tempat, Majalengka, Karawang dan Bandung.

Kamipun mengadakan rapat di DPD PDI Perjuangan Jawa Barat di Jl. Pelajar Pejuang 45 No. 1 dan  Ruang Fraksi PDI Perjuangan di Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Jl. Diponegoro. Pertama-tama kami mencari tahu tata cara untuk mengajukan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional. Saat mencari peraturan perundang-undangannya yang terkait dengan itu, kami menemukan fakta bahwa ternyata sudah ada proses penelitian oleh TP2GD, seminar dan pengajuan Bagus Rangin oleh Pemerintah Kabupaten Majalengka yang disampaikan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat  untuk selanjutnya dikirim ke Jakarta. Terhadap pengajuan itu ada jawaban bahwa pengajuan belum bisa dikabulkan oleh pemerintah karena kurangnya data. Pemerintah dalam hal ini lembaga yang berkompeten memberikan kesempatan satu kali lagi untuk mengajukan. Peluang inilah yang ingin kami manfaatkan.

Kami kemudian merancang seminar yang kedua bertempat di Cirebon. Kami juga melakukan napak tilas jejak perjuangan Bagus Rangin di sekitar Cirebon Indramayu dan Majalengka. Selain itu kami juga mengundang keluarga Bagus Rangin di Bandung juga menziarahi makamnya di Banjaran. Kami juga menghadap pak Tb. Hasanuddin sebagai tokoh Majalengka dan nara sumber pada seminar yang pertama.

Dalam perjalanan kami mengalami kesulitan teknis untuk pelaksanaan seminar, sehingga kami kemudian  mengatasnamakan diri sebagai masyarakat dan mengajukan pengusulan Bagus Rangin sebagai pahlawan nasional melalui pemerintah kabupaten Majalengka. Dan setelah itu sampai beberapa waktu kami tidak memperoleh perkembangan apapun. Maka kamipun hanya bisa menunggu dan berharap.

Kurang lebih setahun kemudian kami menemukan momentum untuk kembali melanjutkan usaha mengusulkan Bagus Rangin. Saat itu saya diundang kang Drajat bertemu Prof. Nina Lubis dan keluarga Bagus Rangin di sebuah rumah makan di Cibaduyut. Saat itu Prof. Nina menyatakan niatnya untuk menerbitkan buku mengenai sepak terjang Bagus Rangin. Tentu saja kami dan keluarga Bagus Rangin menyambut dengan antusias. Setelah Prof Nina pulang, para wartawan koran dan radio melakukan wawancara live di tempat tersebut.

Untuk penerbitan buku diperlukan sejumlah dana, maka kami berupaya mempertemukan Prof Nina dengan Gubernur Jabar, Ridwan Kamil. Kami pun minta tolong bu Ineu Purwadewi, Ketua DPRD Jawa Barat. Maka Prof Nina bertemu bu Ineu dan kemudian bisa bertemu dengan Gubernur. Gubernur berkomitmen untuk membantu.

Beberapa waktu kemudian, kang Drajat menyampaikan undangan seminar Bagus Rangin yang diselenggarakan Prof Nina di Gedung Sate. Setelah itu usulan kedua pengajuan Bagus Rangin sebagai pahlawan nasional dari Jawa Barat pun dikirim Gubernur  ke  TP2GP (Tim Pengkajian dan Pengajuan Gelar Pusat) di Jakarta. Jika memenuhi syarat akan diajukan oleh Menteri Sosial kepada Presiden. Kami punya harapan besar bahwa pengajuan inii akan dikabulkan.

Pada tanggal 9 November 2020, nama-nama pahlawan nasional diumumkan oleh Presiden di Jakarta. Sayang nama Bagus Rangin tidak termasuk di dalamnya.

Kamis, 12 Maret 2020

Menjadi Dosen Pascasarjana UM-Metro


Sekitar tahun 2015, seorang kolega di Unigal (Universitas Galuh) menawariku untuk mengajar di Lampung karena ada  prodi di program pascasarjana UM-Matro yang memerlukan dua orang doktor administrasi pendidikan agar bisa lolos mengikuti akreditasi dari BAN-PT.  Akupun ke Bogor bertemu kaprodinya, Dr. Ichsan Dacholfany, yang sedang berseminar di Universitas Ibn Khaldun untuk menjajagi tawaran tersebut. Setelah bertemu aku diminta datang langsung ke kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UM-Metro) di Metro, Lampung.

Beberapa hari kemudian, dari Bandung aku bertolak ke Metro dengan menggunakan bus malam ekspres dari Jl. Laks. R.E. Martadinata. Saat tengah malam bus sudah tiba di Merak dan singgah di sebuah restoran. Para penumpang turun untuk makan malam lalu menuju pelabuhan penyebrangan. Bus memasuki lambung ferry roro dan penumpang naik ke geladak. Aku mencari ruang ber-AC. Tidak berapa lama ferry pun melepas jangkar dan berlayar dalam kegelapan malam. Pelabuhan Merak kami tinggalkan menyisakan cahaya dari lampu listrik yang makin lama makin kecil lalu hilang ditelan malam.  Aku memesan kopi dan menikmati perjalanan sambil terkantuk-kantuk.  Dua jam kemudian kami merapat di dermaga pelabuhan Bakaheuni. Kami kembali memasuki bus lalu mendarat di Pulau Sumatra  menuju Kalianda dan Bandarlampung. Akupun tertidur pulas. Saat matahari terbit aku sudah tiba di kota Metro.

Berbekal alamat yang diberikan Dr Ichsan aku menyewa menumpang sepeda motor ke guest house UM Metro di Jl. Radin Intan. Di sana bertemu Dr Ahmad Yani. Aku mandi dan sarapan lalu diantar ke kampus UM-Metro di Jl. Ki Hadjar Dewantara 116. Ditemani Dr Ichsan aku bertemu Rektor Prof. Dr. H. Karwono M.Pd. dan Wakil Rektor, Dr. Muhfahroyin, S.Pd., M.T.A. Kami berkenalan dan ngobrol dalam bahasa Jawa halus. Siang itu aku menandatangani kontrak kerja. Sorenya aku kembali ke Bandung.

Sejak saat itu aku resmi mengajar di Program Pascasarjana UM-Metro pada Program Studi Manajemen Pendidikan. Aku mengajar di hari Sabtu. Jika menggunakan bus aku berangkat pada hari Jumat malam. Jika menggunakan pesawat terbang aku bisa pergi pagi hari. Ada pesawat yang berangkat pukul 08.30. Dalam satu jam aku sudah tiba di Bandara Radin Intan II. Dari sana aku menggunakan taksi bandara ke kampus pascasarjana di Jalan Gatot Subroto No. 100 yang terpisah beberapa kilometer dari kampus utama. Lahannya disiapkan puluhan hektar dan siap dikembangkan.

Biasanya aku mulai mengajar pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Mahasiswanya kebanyakan para guru SD SMP SMA SMK atau yang sederajat dan para pejabat dinas pendidikan yang menyebar di berbagai kota dan kabupaten di Provinsi Lampung. Ada waktu istirahat satu jam antara pukul 12.00 - 13.00 untuk salat dzuhur dan makan siang. Pulangnya aku diantar pak Darmawan ke Bandar Lampung dan dari sana menggunakan bus Damri ke Bandung yang berangkat pukul 20.00. Kadang diantar pak Yani ke pool bus di Metro. Tapi jika sudah tidak ada tiket, aku menginap di guest house. Paginya bisa salat berjamaah di masjid Muhammadiyah yang berada di komplek pendidikan mereka di kota Metro. Setelah itu aku berjalan kaki ke alun-alun dan naik bus terpagi ke Bandarlanpung. Aku turun di bandara dan jika beruntung bisa naik pesawat terpagi ke Jakarta. Tiba di bandara Sukarno-Hatta sekitar pukul 10.00. Dari sana aku naik bus bandara ke Bandung yang tujuan akhirnya di pangkalan mereka di komplek Batununggal.

UM-Metro menjadi kampus utama dan populer di kota Metro. Metro sendiri bukanlah kota yang besar. Metro kini menobatkan diri sebagai kota pendidikan. Besarnya kira kira sama dengan kota Cimahi. Bedanya lalu lintas di Metro tidak terlalu padat.  Suasana santai masih bisa dirasakan. Penduduk yang berbahasa Jawa cukup dominan, maklum Metro dulunya adalah lahan pertanian dan pemukiman untuk para transmigran dari Jawa. Hampir 90% mahasiswaku bisa berbahasa Jawa. Lahan pesawahan maupun perkebunan masih ada di sana sini. Saluran irigasi primer sekunder dan tertier masih berfungsi dengan baik. Pesawahan pun terlihat subur. Selain pertanian, perdagangan adalah sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi. Kehidupan rakyat nampak cukup makmur dan sejahtera.

Rabu, 11 Maret 2020

Namaku Tidak Tercantum Dalam DCS

Sekitar tahun 2013 terjadi tsunami dalam politik Jawa Barat khususnya di PDI Perjuangan. Isu pelanggaran norma susila menerpa ketua Dewan Pimpinan Daerah. DPP segera menurunkan timnya yang dipimpin oleh Prananda Prabowo dan mengambil alih manajemen partai. Tidak lama kemudian Tb. Hasanuddin ditetapkan oleh DPP menjadi Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat. Terjadi prokon dalam tubuh partai. Beberapa fungsionaris mengundurkan diri.

Datangnya pemimpin baru ke Jawa Barat bertepatan dengan mendekatnya waktu pencalonan legislatif. Aku diundang ke DPD dan diberi formulir untuk mencalonkan diri. Untuk kedua kalinya aku mencalonkan diri ke DPR RI dan menyelesaikan semua persyaratan yang diperlukan sebelum akhirnya diundang ke Jakarta untuk mengikuti berbagai tes seleksi. Akhirnya aku mendapat nominasi sebagai calon dari Kabupaten Bandung dengan nomor urut 8. Sayangnya saat diumumkan, namaku tidak termasuk dalam DCS (Daftar Calon Sementara). Maka untuk kedua kalinya aku belum berhasil ke Senayan.


Selasa, 10 Maret 2020

Menjadi Dosen Pascasarjana Universitas Galuh

Beberapa waktu setelah diwisuda menjadi doktor, kawan kuliahku Dr. Asep Saeful Hidayat datang ke rumah dan menawariku ikut mengajar di Program Pascasarjana Universitas Galuh, Ciamis. Kurang lebih selang waktu setahun dia kembali datang ke rumah dan menyampaikan SK pengangkatanku sebagai dosen tetap. Beberapa hari kemudian aku berangkat ke Ciamis. Berangkat setelah subuh, pada pukul 07.00 aku sudah sampai di Unigal.  Setelah menunggu sekitar satu jam aku bertemu dengan Kepala Prodi Manajemen Pendidikan dan kemudian diajak bertemu dengan Direktur Pascasarjana. Setelah itu aku pulang. Menunggu jadwal mengajar.

Pada awal semester aku mendapat jadwal mengajar. Posisiku sebagai asisten Prof. Suherli yang saat itu menjabat sebagai Rektor Unigal dan mengajar mata kuliah Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Aku mengajar dua hari yakni hari Sabtu dan Minggu. Mahasiswa kami kebanyakan adalah mereka yang sudah bekerja di bidang pendidikan baik sebagai guru maupun kepala sekolah. Hubungan dengan para mahasiswaku yang kebanyakan dari Priangan Timur dan sebagaian Jawa Tengah  bagian barat sungguh menyenangkan. Itu membuat betah dan menyemangatiku terus mengajar.

Jika mengajar di Ciamis, aku biasa berangkat hari Sabtu setelah melaksanakan salat subuh. Tiba di alun-alun Ciamis sekitar pukul 07.00. Biasanya aku beristirahat di kedai bubur kacang hijau tidak jauh dari alun-alun arah ke Kuningan. Setelah mengajar aeharian, malam Minggunya aku menginap di  hotel Budi di jalan protokol pusat kota yang telah disediakan oleh pihak kampus.  Pada pagi hari biasanya aku jogging dari hotel ke alun-alun kota Ciamis pp. Saat pulang pada Minggu sore,  aku langsung menerima honor mengajar. Pulangnya aku membawa oleh-oleh makanan khas Ciamis seperti galendo dan lain lain. Galendo adalah sari yang mengendap dari pembuatan minyak kelapa, berbentuk padat berwarna coklat seperti dodol dengan rasa manis gurih. Nikmat dimakan sebagai teman ngopi.

Belum lagi satu semester mengajar, terjadi kerusuhan di kampus. Mahasiswa melakukan demonstrasi menurunkan Rektor. Saat aku bertemu dengan Prof. Suherli, beliau mengatakan akan mundur sebagai rektor. Benar saja. Rektor pun diganti. Prof. Suherli sebagai dosen negri Kopertis kemudian mengajar di Unsuagati (Universitas Sunan Gunung Jati), Cirebon. Dengan rektor yang baru aku biasanya bertemu di ruang dosen jika beliau mengajar.

Aku kemudian mengampu mata kuliah atas namaku sendiri. Setidaknya ada tiga mata kuliah yang kuampu. Kolegaku kebanyakan adalah para guru besar yang merupakan dosenku saat kuliah S2 dan S3 di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung.  Aku harus menjaga sikap di depan para guruku. Meski demikian tidak menghalangiku untuk makan siang bersama dan kadang-kadang membahas berbagai isu politik nasional.

Sekitar tahun 2015, seorang kolega di Unigal menawariku untuk mengajar di Lampung karena ada sebuah prodi yang memerlukan dua orang doktor agar bisa lolos mengikuti akreditasi dari BAN-PT.  Itu adalah awal aku meninggalkan Unigal untuk kemudian berpindah mengajar di UM- Metro Lampung.

Senin, 09 Maret 2020

Memimpin Kampus

Memimpin Kampus
FEBRUARY 27 · FRIENDS
Pada tahun 2008 datang surat dari Ketua Program Studi Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Saya mendatangi kampus di Jl. Setiabudi dan berdiskusi dengan Pak Kaprodi. Menurut Kaprodi jika kuliah S2 saya tidak selesai pada semester itu saya terancam DO. Saya pun memutuskan mengambil waktu sekitar satu atau dua minggu dari kesibukan saya di DPRD Jawa Barat dengan niat membereskan tesis saya yang terbengkelai. Alhamdulillah akhirnya tesis saya selesai dan saya pun mengikuti sidang tesis dengan yudicium sangat memuaskan. Ketua Kaprodi mengizinkan saya langsung mendaftar ke S3 di prodi yang sama. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mendaftar ke S3 tapi saya tidak mengambil prodi Pendidikan Umum melainkan mengambil prodi Administrasi Pendidikan (Adpen). Prodi Adpen adalah prodi favorit dan paling bergengsi SPs UPI karena mahasiswanya pada umumnya adalah para pejabat khususnya di bidang pemerintahan dan pendidikan. Dengan demikian setelah wisuda S2 saya langsung kuliah S3. Kaprodi saya di S2 mengatakan saya murtad karena pindah prodi.
Saat saya keluar dari DPRD Jawa Barat, status saya adalah sebagai mahasiswa S3 Adpen SPs UPI Bandung dengan tidak memiliki pekerjaan. Dengan bekal gelar Magister Pendidikan (M.Pd) saya datang ke Ketua STIA Bagasasi, Dr. H. Djumad Tjiptowardojo dan mengajukan diri untuk mengajar. Oleh PK I, saya diberi kesempatan mengajar mata kuliah IBD (Ilmu Budaya Dasar) di semester I. Maka sambil mengajar saya melanjutkan kuliah saya di S3.
Saat Pak Djumad memutuskan menyerahkan posisinya sebagai ketua pada Pak Bambang Sulistiyono (PK I), maka posisi Pembantu Ketua I pun kosong, dan saya dipercaya oleh ketua yang baru mengisi posisi itu. Saya bertanggungjawab mengelola bidang akademik di kampus dan banyak berhubungan dengan Kordinator Kopertis Wilayah IV serta para pemimpin kampus di Jawa Barat dan Banten.
Dari Pak Bambang Sulistiyono jabatan ketua berpindah ke Pak Sudiman Bonavarte (alumnus STIA Bagasasi dan ex Direktur RRI). Sekitar setahun menjabat Ketua, Pak Sudiman menyerahkan jabatan ketua kepada saya. Jabatan ketua saya pegang tidak lebih dari satu tahun.
Mata kuliah yang pernah saya berikan di STIA Bagasasi meliputi IBD (Ilmu Budaya Dasar), PKPI (Pemikiran dan Kekuatan Politik Indonesia), SPI (Sistem Politik Indonesia), AP (Administrasi Pembangunan), TPP (Teori Perencanaan Pembangunan), serta Bisnis dan Politik. Kini mata kuliah yang masih saya ampu adalah AP untuk mahasiswa semester V dan TPP untuk mahasiswa semester VI untuk program studi Administrasi Negara.
STIA Bagasasi memiliki dua prodi, Administrasi Negara /Publik (ANe) dan Admisnistrasi Niaga/ Bisnis (ANi). Mahasiswa terbanyak berasal dari prodi AN. Mereka pada umumnya adalah para ASN dari berbagai instansi pemerintah di kota kabupaten maupun provinsi. Masing-masing prodi sudah terakreditasi B pada BAN PT.
Nama Bagasasi terkait dengan kota Bekasi karena STIA Bagasasi didirikan di Bekasi. Bagasasi berasal dari bahasa Sanskerta, baga dan sasi, yang berarti bulan purnama. Lokasi kampus kemudian berpindah dari Bekasi ke Bandung bergabung dengan PTS lain. Kini kampus berdiri megah di Jl. Cukangjati, tepat di seberang Seskoad.
Alumni STIA Bagasasi tersebar di berbagai lembaga negara dan pemerintahan baik sipil maupun militer, birokrasi maupun politik. Jabatan militer tertinggi adalah Pangdam. Jabatan politik tertinggi di legislatif adalah Ketua DPRD Jawa Barat. Jabatan politik tertinggi di eksekutif adalah Walikota dan Bupati di berbagai daerah di Jawa Barat. Ada pula yang menjadi direktur RRI dan pimpinan PTS baik sekolah tinggi maupun universitas.
Pak Djumad, pendiri dan ketua STIA Bagasasi beberapa periode serta ketua yayasan kini telah tiada. Ia wafat di Cikeas dan dimakamkan di TPU Pondok Ranggon Jakarta beberapa tahun yang lalu. Jabatan terakhir Pak Djumad di luar kampus adalah sebagai anggota DPR / MPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dari dapil SMS (Subang Majalengka Sumedang). Semoga Pak Djumad berbahagia di sisi Nya.

Doktor Administrasi Pendidikan

Setelah pindah ke rumah baruku di Cileunyi, maka kegiatanku yang utama adalah menulis disertasi. Sesekali saya ke kampus untuk konsultasi dengan tiga promotor saya, Prof. Aziz Wahab (Ketua), Prof. Nanang Fatah (Sekretaris) dan Prof. Buchori Alma (Anggota) di Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Setiabudi, Bandung. Aku terpacu menyelelesaikan disertasi karena biaya kuliah cukup tinggi. Di atas Rp. 10 juta per semester. Saat itu aku sudah tidak lagi menjadi anggota DPRD. Penghasilan bisa dikatakan nihil. Karena itu aku pergi ke kantor pajak dan mengajukan permohonan tidak membayar pajak. Beruntung ada tetangga saat masih tinggal di Rancaekek yang berbaik hati. Namanya Pak Said. Beliau membantu dengan memberikan pinjaman jika aku kesulitan biaya sehingga kuliahku bisa berjalan dengan lancar.

Karena keterbatasan biaya pula aku tidak bisa mengikuti kunjungan lapangan ke Korea. Sebagai gantinya aku mengikuti program kunjungan dalam negri ke Jakarta dan Bali. Di Jakarta kami berkunjung ke Ubinus, ke Kemendiknas dan Kemenag. Ke Ubinus kami meninjau manajemen pendidikan yang berbasis pada teknologi informasi. Ke Kemendiknas dan Kemenag kami menelusuri proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendidikan.  Sedangkan di Bali kami berkunjung ke pemerintah Kabupaten Jembrana di Negara untuk meninjau pelaksanaan sistem manajemen informasi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan khususnya bidang pendidikan dasar dan menengah.

Pernah sekali waktu ada penyusup masuk ke rumah di malam hari. Laptop yang kugunakan menulis disertasi raib, padahal aku belum membuat salinannya dalam cakram padat ataupun diska.Untuk beberapa bulan saya mengalami kegoncangan namun akhirnya bisa kuatasi. Aku memulai kembali menulis ulang disertasi dengan mengacu pada beberapa bagian yang sudah  kucetak dan menuangkan segala konsep maupun ingatan yang ada di kepala.

Akhirnya disertasi bisa kuselesaikan tepat waktu. Di akhir bulan puasa tahun 2011 aku mempertahankan disertasiku di depan sidang guru besar dan  lima penguji yang terdiri tiga orang tim promotor serta dua orang penguji tambahan yaitu ketua prodi Administrasi Pendidikan dan Kepala Dinas pendidikan Provinsi Jawa Barat. Ketua sidangnya adalah Direktur Program Pascasarjana UPI.
Ketua sidang penguji menyatakan disertasiku bisa diterima dan aku dinyatakan berhak menyandang gelar doktor di bidang pendidikan dengan yudisium sangat memuaskan. Disertasi yang kupertahankan  terkait dengan implementasi kebijakan anggaran pendidikan dasar dan menengah di Provinsi Jawa Barat. Para guru besar dan undangan menyalamiku, istri dan juga ketiga anakku. Aku menjadi doktor keempat di angkatanku setelah Arya, Neni, Nurdin dan Mardanus. Aku doktor pertama di keluarga besarku baik dari dari pihak ibu maupun ayah.

Setelah idul fitri diselenggarakan wisuda. Wisuda berlangsung dengan meriah.  Saat wisuda ada setidaknya lima orang doktor dari angkatanku. Tapi lebih banyak adalah angkatan di atasku. Karena UPI memiliki program studi pendidikan seni, maka acara kesenian selalu  ditampilkan secara menarik di dua kali wisuda di UPI yang kuikuti. Selain paduan suara ada repertoar dari para mahasiswa yang memadukan musik pentatonik dengan musik diatonik.

Usai wisuda para wisudawan dari berbagai prodi dijamu oleh pimpinan Sekolah Pascasarjana serta hinpunan mahasiswa pasca sarjana.

Setelah itu di kampus STIA Bagasasi aku dipromosikan menjadi Pembantu Ketua I Bidang Pendidikan. Penghasilanku meningkat 1000% atau sepuluh kali lipat.

Sabtu, 07 Maret 2020

Wisuda Anak Pertama

Anak pertamaku Idea Wening Nurani lulus dari Program Studi Biologi Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pasti Alam)Universitas Pajajaran. Dia diwisuda di Graha Sanusi, Jl. Dipati Ukur. Penelitiannya mengenai plankton di Waduk Cirata dalam mengikat carbondioxida (CO2). Respondennya para nelayan keramba jaring apung, pengelola waduk dan para ahli perikanan serta pakar lingkungan hidup. Untuk itu anakku harus beberapa kali mengelilingi waduk dengan menggunakan perahu bermotor untuk bertemu komunitas nelayan keramba jaring apung. Sebelum diterima di Unpad, Dea sebenarnya juga diterima di Fakultas Kedokteran Unisba angkatan pertama. Tapi ia lebih memilih berkuliah di Unpad.

Pada hari wisuda, kami sekeluarga mengantar Dea ke kampus Unpad. Lengkap sekeluarga. Istriku; anak sulungku, Dea; anak kedua , Sidiq dan anak bungsu, Praja. Sebelum berangkat kami berfoto di beranda barat rumah. Kemudian kami berangkat berlima dan memarkir mobil di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di seberang kampus. Saat turun mat kodak sudah beraksi jeprat jepret dan kami jadi obyek foto dadakan. Begitu sedari tempat parkir hingga memasuki aula Graha Sanusi. Anakku mengunakan kebaya dibalut jubah sarjana hitam bercampur kuning serta toga hitam. Istriku juga berkebaya. Aku dan Sidiq menggunakan jas. Praja berbusana kasual.

Acara wisuda berlangsung hikmat. Ada sambutan rektor, sambutan wisudawan dan sambutan mahasiswa. Ada acara kesenian Sunda, paduan suara. Satu persatu wisudawan dipanggil diberi surat tanda kelulusan dan disalami oleh dekan serta kaprodi masing masing. Ada juga acara apresiasi buat orang tua. Para wisudawan menemui ayah ibunya masing masing, memberi buket bunga dan menyampaikan sungkem.

Saat keluar aula kawan kawan anakku sudah menunggu. Mereka membawa karangan bunga. Ada yang membawa poster. Ada yang menabuh bunyi-bunyian. Mereka pun berfoto bersama. Dea aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan di kampus karena itu ia memiliki banyak komunitas. Ia bahkan menjadi event manager kelompok angklung bernama AWI dan beberapa kali mengadakan pertunjukan angklung. Bahkan pernah membawa rombongan pelajar ke Singapura untuk tampil di Esplenade. Karena aktivitasnya ini ia dan komunitasnya sempat diterima oleh Gubernur Ahmad Heryawan di Gedung Sate.

Setelah anakku selesai bertemu dengan kawan-kawannya, kami beranjak ke rektorat dan halaman kampus untuk mengambil gambar keluarga. Setelah itu kami meninggalkan kampus. Tidak lupa kami singgah ke foto studio untuk mengabadikan kenangan indah ini.

Selasa, 03 Maret 2020

Rumah Gunung

Saat saya menyelesaikan masa bakti di DPRD Jawa Barat pada tahun 2009, saya memutuskan pindah rumah dari Rancaekek ke Cileunyi. Di rumah kami yang baru udara masih sejuk dan pemandangan ke arah kota Bandung di Barat nampak indah terutama jika usai hujan ketika kabut polusi yang menutupi kota terusir oleh guyuran air dari langit. Menara masjid agung Bandung pun terlihat dari beranda. Di sebelah utara Gunung Manglayang terlihat berdiri kokoh dan anggun seolah menjadi benteng yang melindungi kampung-kampung di bawahnya.

Saat kami memutuskan menempati rumah di Cileunyi, kondisi rumah belum 100% selesai. Sehingga saat kami mulai menempati masih ada satu dua orang tukang yang bekerja. Saat akhirnya kontrak kerja kami akhiri, masih ada dua bagian rumah yang belum selesai yaitu dapur dan pantry. Meskipun demikian secara umum rumah sudah bisa dihuni.

 Lahan untuk rumah kami dapat dengan harga yang terjangkau. Lahan tersebut kami beli sekitar tahun 2003. Saat itu kami punya uang Rp 50 juta tapi karena ada kesempatan untuk beribadah haji maka kami gunakan untuk membayar ONH (ongkos naik haji), yaitu untuk saya dan istri. Tatkala kami pulang dari tanah suci, bu Haji Tuti sang pemilik lahan datang dan tetap menginginkan saya membeli lahan miliknya. Akhirnya saya sepakat membeli dengan cara mencicil. Proses jual beli dicatat dengan akta jual beli dari notaris. Notaris tersebut juga mengurus hingga akta jual beli menjadi SHM (Sertifikat Hak Milik).

Rumah baru kami dibangun dengan memakan waktu sekitar lima tahun dengan konsep rumah gunung dan pembangunannya berkonsep rumah tumbuh. Sebelum membangun kami berkonsultasi dengan dua orang arsitek, kang Diding dan kang Rezha melalui kang Permadi. Setelah itu kami memulai tahap disain. Dan setahun kemudian baru kami membuat kontrak kerja dengan arsitek yang merangkap pemborong untuk membuat fondasi. Lalu berlanjut dengan membuat guest house terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tidur, satu ruang kerja dan satu kamar mandi. Tahap ini kami akhiri dengan kenduri kecil. Berikutnya kami membuat pintu gerbang dari kayu dengan kerangka besi. Beberapa lama kemudian kami membuat garasi. Dan sesekali rumah kami isi saat kami ingin beristirahat. Putri saya dan kawan kawan mahasiswanya sempat menjadikan rumah kami sebagai tempat untuk kegiatan di kampusnya.

Setelah guest house selesai, tahap berikutnya kami membangun bagian utama rumah kami meski baru untuk fondasi dan dak untuk lantai atas, yang disambungkan dengan guest house di bagian depan. Dari sini perlahan lahan kami membangun ruang ruang di lantai bawah untuk mushola, dapur, ruang keluarga, kamar utama berkamar mandi, tangga ke lantai atas, kamar untuk asisten rumah tangga, gudang dan  kamar mandi. Setiap tahap selalu kami rundingkan dengan arsiteknya terkait dengan biaya dan prioritas. Biayanya pun kami upayakan secara bertahap sesuai tahap tahap pembangunan.

Setelah konstruksi bagian bawah selesai dan bisa kami gunakan  kami mulai membangun bagian atas rumah yang terkoneksi dengan bagian bawah dengan void. Di bagian atas kami membuat tiga kamar untuk ketiga anak kami degan satu kamar mandi. Ada ruang terbuka yang luas untuk ruang baca dan ruang keluarga. Setelah tahap itu selesai, kami mulai meggarap bagian atap.  Untuk  bagian atapnya, arsitek memadukan cor beton dan kayu sebagai tempat untuk memasang atap. Untuk atap arsitek memilih genteng berglazur buatan Jatiwangi yang tebal dan berat agar tidak terbang tertiup angin.

Akhirnya pada tahun 2009 rumah kami bisa  terselesaikan 90% dan bisa kami huni. Furnitur kami gunakan dari yang ada. Koleksi lukisan saya sejak 10 tahun terakhir bisa kami pajang. Demikian juga buku-buku koleksi terakhir saya.

Kegiatan saya di rumah baru sehari hari adalah menyelesaikan disertasi mengenai kebijakan anggaran pemerintah di bidang pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Sesekali saya ke kampus untuk konsultasi dengan tiga profesor promotor saya, Prof. Aziz Wahab, Prof. Nanang Fatah dan Prof. Buchori Alma di Universitas Pendidikan Indonesia. Dua hari dalam seminggu saya mengajar. Kegiatan lain setiap subuh mengantar si bungsu yang bersekolah di kota. Saya hanya mengantarnya ke pintu tol Cileunyi. Dari sana dia menumpang  mobil minibus arah Stasiun KA Bandung. Sekolahnya terletak di Jl. Pasirkaliki. Tapi jika jadwalnya bersamaan dengan waktu konsultasi saya, kami berangkat bersama ke kota.

Anak saya yang sulung, perempuan, sedang menyelesaikan kuliahnya di Program Studi Biologi Fakultas MIPA Unpad, Jatinangor. Anak kedua, laki-laki,  kuliah di Fakultas Hukum Undip, Semarang. Istri saya masih tetap bekerja sebagai paramedis di Puskesmas Padamukti dan praktik bidan di rumah pada sore hari. Setiap pagi dan sore hari ia berkendara motor dari rumah ke Puskesmas.


Senin, 02 Maret 2020

Selamat Tinggal Gedung Sate

Dalam tahun awal berdirinya Republik Indonesia, istilah DPRD Provinsi Jawa Barat belum digunakan. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak terdapat lembaga legislatif semacam DPRD. Pada tahun awal kemerdekaan lembaga semacam DPRD ini sesungguhnya telah juga hadir dengan nama Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) Jawa Barat. Karena itu asal-usul dari kehadiran DPRD Provinsi Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran BPRD Jawa Barat tersebut. Pada masa itu, BPRD dipimpin oleh R. Otto Iskandardinata dengan wakilnya Dr. Soeratman Erwin dan Mr. Samsudin.
Selanjutnya, pada masa transisi setelah kembalinya status Republik Indonesia Serikat ke dalam NKRI, di Jawa Barat dibentuk DPRD Sementara yang terdiri dari 60 orang anggota yang berasal dari 22 Parpol dan dipimpin oleh Djaja Rahmat (1950-1955).
Istilah DPRD Provinsi Jawa Barat baru dikenal pada tahun 1955 yaitu setelah Pemilihan Umum Pertama yang dilakukan pada 29 September 1955. Sebagai tindaklanjut dari upaya untuk mewujudkan DPRD atas dasar pemilihan itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 19/1956 yang merupakan ketentuan hukum pemilihan daerah. Setahun kemudian, untuk pertama kali dalam sejarah perkembangannya, diadakan pemilihan terhadap anggota DPRD Jawa Barat. Pada kurun waktu 1957-1960 jumlah anggota DPRD Jawa Barat sebanyak 75 orang yang berasal dari 14 Parpol dan diketuai oleh Oja Somantri.
Pada masa yang dikenal dengan Orde Lama sampai dengan 1974, Undang-undang yang menjadi landasan bagi kehadiran DPRD Jawa Barat adalah UU No. 18/1965, dan salah satu pasalnya memasung eksistensi DPRD yakni DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Selain itu, dalam UU ini juga disebutkan, bahwa keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DPRD harus mendapatkan tandatangan dari Kepala Daerah. Ini berarti kedudukan DPRD di bawah Kepala Daerah. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU No. 18/1965 mengakibatkan kekuasaan DPRD terhadap Kepala Daerah terasa sangat lemah yang pada gilirannya mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan peran legislatifnya. Pada periode 1960-1967 , DPRD Jawa Barat dikomandoi oleh Letjen. TNI.H. Mashudi dan selanjutnya pada periode 1967-1971 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Rachmat Sulaeman dengan jumlah anggota DPRD 70 orang yang berasal dari 8 Parpol.
Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 5/1974, terjadi juga perubahan dalam kedudukan DPRD. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU ini menyatakan, bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Penafsiran terhadap statement ini adalah DPRD dan Kepala Daerah dalam kedudukan yang sama tinggi. Yang membedakannya adalah bahwa Kepala Daerah merupakan pelaksana dari peraturan perundangan di daerah sedangkan DPRD melaksanakan tugas di bidang legislatif. Periode 1971-1977 DPRD Tingkat I Provinsi Jawa Barat , kembali dipimpin oleh Rahmat Sulaeman dengan anggota berjumlah 74 orang dari 4 Fraksi.
Selanjutnya, berturut-turut dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, pada tahun 1977-1982 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) H. Adjat Sudradjat, Mayjen TNI (Purn) Suratman (1982-1992), Brigjen TNI (Purn) H. Agus Muhyidin (1992-1997). Pada masa ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Jawa Barat, maka jumlah anggota legislative pun mengalami peningkatan menjadi 100 orang anggota.
Pada tahun 1997 terjadi gerakan reformasi yang pada akhirnya meruntuhkan kepemimpinan Orde Baru. Hal ini berpengaruh terhadap masa kerja DPRD provinsi Jawa Barat yang hanya berlangsung selama tiga tahun, karena pada tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi dilaksanakan Pemilu, dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) H. Abdul Nurhaman, S.Ip, S.Sos.
Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai reaksi dari gerakan reformasi, merangkum dua pikiran utama yakni penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan dosmetik kepada daerah (kecuali keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan dan keagamaan) serta penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Kebijakan desentralisasi merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah perlu dilakukan. Dalam UU 22/1999 ditentukan posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Pada periode 1999-2004 , DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai kewenangannya memlih Kepala Daerah, memilih anggota MPR dari utusan daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah dan hak DPRD meminta pertanggungjawaban Kepala daerah. Kepemimpinan DPRD pada periode ini dipimpin oleh Ir. H. Idin Rafiudin (dalam perjalanan kepemimpinannya beliau wafat) yang selanjunya digantikan oleh Drs.H. Eka Santosa.
Sejalan dengan perkembangan demokrasi, dan perbaikan kehidupan ketatanegaraan, Pemerintah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didefinisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam hubungannya dengan eksekutif, pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri atas pemerintah dan DPRD. Hal itu berarti DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.
Pemilu tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, dan yang berhasil meraih kursi di DPRD Provinsi Jawa Barat 10 Parpol yakni Golkar, PDI-P, PKS,PPP, Demokrat, PKB, PAN, PBB, PKPB, PDS, yang selanjutnya menjadi 7 fraksi. DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2004 - 2009 diketuai oleh Drs.H.A.M. Ruslan (Golkar), dengan para wakil ketua H. Rudi Harsatanaya (PDI-P), drh. Achmad Ru’yat, M.Sc. (PKS, setelah diambil sumpahnya menjadi wakil walikota Bogor, digantikan oleh H. Husin M. Albanjari, Dipl.Ing. dan H. Amin Suparmin,S.Hi. dari PPP.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat periode 2009-2014 keanggotaannya diresmikan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 161.32 - 556 Tahun 2009, pada tanggal 31 Agustus 2009 dalam Rapat Paripurna Istimewa Pengambilan Sumpah/Janji Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Hasil Pemilu 2009 bertempat di Gedung Merdeka Bandung. Mereka berasal dari 9 partai dengan jumlah 100 anggota yakni : Partai Demokrat 28 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 17 orang, Partai Golongan Karya 16 orang, Partai Keadilan Sejahtera 13 orang, Partai Gerakan Indonesia Raya 8 orang, Partai Persatuan Pembangunan 8 orang, Partai Amanat Nasional 5 orang, Partai Hati Nurani Rakyat 3 orang dan Partai Kebangkitan Bangsa 2 orang. Tergabung dalam 8 Fraksi yakni F. Demokrat, F.PDI-P, F. Golkar, F. PKS, F. Gerindra, F. PPP, F. PAN, F.Hanura- PKB. Dalam Rapat Paripurna Istimewa tersebut, ditetapkan Pimpinan Sementara DPRD Propinsi Jawa Barat, yang berasal dari dua partai peraih kursi terbesar, masing-masing H. Awing Asmawi, SE (Partai Demokrat) sebagai Ketua Sementara dan Drs. H. Syarif Bastaman (PDIP) sebagai Wakil Ketua Sementara.
Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2009, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 161.32-712 Tahun 2009 Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat mengucapkan sumpah/janji dalam Rapat Paripurna Istimewa dengan susunan sebagai berikut : Ketua DPRD Ir.H. Irfan Suryanagara (F. Partai Demokrat), Wakil Ketua : H.M Rudi Harsa Tanaya (F. PDIP), Drs.H.Uu Rukmana M.Si. (F. Partai Golkar), Drs.H. Nur Suprianto, MM (FPKS) dan H. Komarudin Taher, S.Ag. (FPPP). (Sejarah DPRD Provinsi Jawa Barat).
Saya menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada dua periode setelah berakhirnya era Orde Baru, yaitu periode 1999-2004 dan 2004-2009. Pada periode pertama saya mewakili daerah pemilihan Kabupaten Bandung (meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi sekarang). Pada periode kedua saya mewakili Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon.
Kantor saya ada di sayap kiri Gedung Sate. Kami tidak memiliki tempat parkir tersendiri sehingga saya biasa memarkir mobil di halaman parkir Gedung Sate baik di sayap kanan maupun kiri. Jika hari masih pagi saya kadang berolahraga mengelilingi Gedung Sate hingga Museum Pos dan bahkan ke Taman Lansia. Saya pun sering sarapan atau makan siang di kantin basement Gedung Sate bersama para karyawan Pemprov. Salat Jumat pun di hall Gedung Sate.
Pada awal menjadi anggota DPRD Jawa Barat saya ditempatkan di Komisi F (Energi)lalu di Komisi A (Pemerintahan). Pada periode kedua saya pernah di Komisi B lalu pundah ke Komisi D. Di Komisi D saya menjadi Wakil Ketua bersama kang Adi Gunawan (Ketua) dan Dadang Naser (Sekretaris). Saya juga sempat menjadi Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan dan pumpinan Badan Legislasi dan BURT. Selain itu saya sempat di Panitia Anggaran. Di luar itu saya kerapkali menjadi Ketua ataupun pimpinan Pansus (Pansus).
Menjelang akhir masa jabatan kami, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan wakilnya, Dede Yusuf mengadakan jamuan makan malam di hotel Preanger untuk para anggota DPRD Jawa Barat yang akan berakhir masa baktinya. Gubernur juga memberi piagam dan plakat sebagai kenang-kenangan. Pimpinan DPRD, kang Ruslan memberi cindera mata berupa sebuah cincin bergambar DPRD. Demikian juga dengan pimpinan Fraksi PDI Perjuangan.
Tanggal 16 Oktober 2009 menjadi hari terakhir saya menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Pagi itu saya berjalan berdua bersama kesayangan dari Hotel Preanger dengan berpakaian resmi (PSL). Saya berjas dasi dan kopiah sementara istri berkebaya. Kami menelusuri trotoar Jl. Asia Afrika melewati kantor Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat dengan monumen mobil antik di depannya dan penanda 0 km kota Bandung, hotel Savoy Homan di seberang jalan, kantor redasi Pikiran Rakyat dan apotek Kimia Farma. Setelah menyeberangi Jl. Braga kami pun tiba di Gedung Merdeka. Suasana hiruk pikuk terasa di depan gedung penuh dengan undangan, aparat keamanan, panitia, wartawan dan anggota ormas dengan seragam mereka masing-masing.
Di dalam gedung saya menduduki tempat yang telah disediakan sementara nyonya duduk bersama rombongan IKIAD (Ikatan Istri Anggota Dewan).
Upacara pelantikan berlangsung khidmat. SK pemberhentian anggota lama dan penetapan anggota baru dibacakan oleh Sekretaris DPRD. Kemudian Gubernur melantik para anggota baru. Usai dilantik mereka menduduki kursi kami. Kami pindah ke kursi undangan. Setelah menyalami mereka yang baru dilantik, kami keluar gedung kembali ke hotel menyusuri jalan yang sama.
Setelah tiba di hotel kami makan siang sekeluarga di restoran lalu berfoto bersama beberapa kawan seperti kang Amin Suparmin, mas Rahadi Zakaria dan teh Tety Kadi. Setelah check out dari hotel kami kembali ke rumah kami di Rancaekek.
Kesibukan saya setelah tidak menjadi wakil rakyat adalah mengajar dan melanjutkan studi S3 yang sudah setengah jalan.

Pemilu 2009


Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 atau pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.
Proses Pemilu 2009 sudah berlangsung sejak tahun 2008. Karena sudah dua periode menjadi anggota DPRD, saat itu saya memutuskan mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. Untuk itu ada begitu banyak persyaratan administratif yang harus dipenuhi termasuk melampirkan keterangan kelakuan baik dari polres dan keterangan tidak sedang bermasalah dengan hukum dari pengadilan negri. Ada tes kesehatan fisik maupun psikis dari RS pemerintah. Saya bersama para caleg lainnya harus seharian penuh mengikuti rangkaian tes kesehatan di RS Hasan Sadikin termasuk tes urine, darah, jantung, pernafasan dll. Tes psikologis dilakukan dengan mengisi ratusan soal MMPI. Hasilnya saya memperoleh keterangan sehat jasmani, keterangan sehat psikis dan keterangan tidak menggunakan obat-obatan terlarang serta tidak mengidap HIV Aids.
Semua persyaratan administratif yang diminta oleh KPU tersebut dikirim ke DPP PDI Perjuangan di Jl Lenteng Agung Jakarta dan kemudian dikirim ke KPU secara kolektif disertai nomor urut dari setiap calon. Saya tercatat sebagai calon dengan nomor urut 10 dari daerah pemilihan Jabar 2 (Kabupaten Bandung) pada DCT (Daftar Calon Tetap)yang diumumkan pada media massa seperti RRI, TVRI serta koran koran baik nasional maupun daerah. Yang saya ingat pada dapil saya ada nama nama besar seperti Taufik Kiemas dan Rieke Diah Pitaloka.
Masa kampanye berkisar satu bulan. Saya berkunjung ke beberapa kecamatan dan desa bertemu dengan struktur partai dan juga masyarakat umum baik secara pribadi maupun kelompok. Biasanya saya berkeliling dengan kang Permadi, kang Happy dan pak Toto. Kang Apriyanto juga membantu. Tetangga saya sekitar rumah (Bumi Rancaekek Kencana) juga ikut menjadi tim sukses. Rumah saya di Buparken, Soreang dijadikan Posko oleh kang Ayi. Setiap malam Jumat ada pengajian di masjid. Saya pun mengikuti konvensi yang diselenggarakan oleh Forum Aktifis Mahasiswa Bandung dan bertemu para pemilih pemula serta diuji oleh para ilmuwan dalam forum terbuka. Saya juga membuat bermacam macam peraga seperti spanduk, baligo, t-shirt, tas pinggang, layang-layang, penutup becak, stiker dll. Barang barang itu saya pesan dari kawan kawan saya yang berbisnis kecil-kecilan. Namun demikian saya tidak menyediakan dana khusus untuk itu. Dana saya peroleh dari honor yang saya peroleh sebagai anggota DPRD Jawa Barat.
Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009. Sebanyak 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDI-Perjuangan)pada nomor urut 28 mendapat 109 kursi dengan mendapat 18,53% suara. Di dapil saya Taufik Kiemas dan Rieke Diah Pitaloka lolos ke Senayan. Saya mendapat suara lebih dari 3.000. Ini adalah pengalaman saya yang pertama menjadi caleg DPR RI setelah sebelumnya menjadi caleg DPRD Kabupaten Kabupaten Bandung (1992) dan caleg DPRD Jawa Barat (1999 & 2004). Saya merasakan perubahan perilaku pemilih khususnya di Kabupaten Bandung.