Jumat, 22 April 2016

Yellow Mountain (Huangshan)






13 Mei 2007. Setelah urusan di Beijing selesai saya  masih punya satu acara lagi  di Shanghai. Karena waktunya berselang satu dua hari, aku dan rombongan keesokan harinya  mengadakan perjalanan dari Beijing menuju Shanghai. Itu artinya dari  North China (Cina Utara)  menuju Central China (Cina Tengah)  melalu beberapa provinsi.

Pagi-pagi benar bus telah bersiap di depan hotel dan kamipun memulai perjalanan darat memasuki kota-kota dan pedesaan China. Perjalanan dari Beijing rasanya sangat panjang dan lama mungkin kurang lebih mencapai 500 kilo meter. Bus menyusuri jalan tol dan jalan biasa menembus pepohonan bambu yang ditanam rapi, tepian sungai, desa-desa dengan rumah penduduk yang bagus dan rapi, pesawahan yang tidak terlalu subur, pegunungan, kabut tipis dan hutan. Sesekali kami berhenti untuk makan di restoran dengan menu dan bahan pangan lokal yang ditanam petani setempat. (Pemerintah China membagi tanah kepada semua penduduk dan mengharuskan para pengusaha setempat membeli produk para petani). Kami pun berhenti di galeri  yang memproduksi dan menjual batu mulia seperti jade (giok). Tidak lupa pula pemandu mengajak kami ke pusat pengobatan herbal untuk memperoleh pelayanan gratis merendam kaki di air hangat yang telah diberi ramuan dari tumbuh-tumbuhan. Tentu saja kami membeli produk mereka barang satu atau dua bungkus.

Seingatku destinasi  yang pertama kami kunjungi adalah Huang Shan atau Yellow Mountain. Huang Shan merupakan tempat wisata paling populer di Provinsi Anhui.  Terkenal sebagai pegunungan tercantik di China, bukit-bukitnya yang selalu berkabut mendapat pujian dari para pelukis dan penyair selama ratusan tahun.  Meskipun puncak tertingginya hanya sekitar 6.200 ft (1.900 m) tetapi 70 bukit-bukit granitnya spektakuler untuk dipanjat dan jalan setapaknya sangat terjal dan menantang. Karena waktu kami tidak banyak, alih-alih menapaki jalan setapak yang sudah dibangun permanen, untuk mencapai puncaknya kami menggunakan cable car dari salah satu pintu pendakian.  Melintasi perbukitan karang kami seperti melayang di awan menyaksikan pemandangan jurang-jurang dengan beragam tanaman setempat. Menyaksikan itu aku menahan nafas dan teringat perbukitan marmer di Cipatat yang bukit-bukitnya kian melenyap digusur para pengusaha.  

Setelah turun di shelter bukan berarti sudah sampai di puncak. Kami harus berjalan di jalan setapak yang dibuat permanen sejauh beberapa kilometer sambil menyaksikan vegetasi pegunungan seperti pelbagai macam cemara dan bunga-bungaan yang menawan.  Untuk itu kami harus melewati Huan Ke Song (Welcoming Guest Pine) atau Pinus Penyambut Tamu, yang konon sudah berusia ribuan tahun menyambut tamu yang datang. Waktu kami  tidak lama karena sebelum malam tiba sudah harus tiba di puncak.   Untunglah meski dengan nafas terengah-engah kami pun sampai di puncak. Hebatnya di puncak Huang Shan tersedia akomodasi seperti di Puncak. Hotel-hotel, restoran, toko-toko dan fasilitas lainnya. Penerangan listrik menambah keindahan malam yang dingin. Aku lupa  kami menginap di Lianhua Feng  (Lotus Flower Peak) di ketinggian 6.145 kaki atau Guangming Ding (Brighr Summit Peak) di ketinggiana  6.035 kaki. Kalau nama hotel tempat kami menginap bisa kupastikan bernama Shilin. Fasilitas hotelnya tidak begitu bagus tapi memiliki pemanas ruangan sehingga bisa menjadi tempat istirahat malam itu.

14 Mei 2007. Pukul 03.00 dini hari wake up call membangunkanku. Beberapa orang termasuk diriku bergegas meninggalkan kamar dan dengan berbekal lampu senter dari hotel menyusuri pebukitan menuju Qingliang Tai (Refreshing Terrace) untuk menyaksikan matahari terbit bersama para wisatawan domestik maupun mancanegara.  Ini adalah perjalanan yang terberat kurasakan karena jalan ke menuju puncak sangat terjal, sempit, mendaki, berliku dan berkabut dengan suhu mendekati 0 o  . Namun melihat beberapa wisatawan lokal yang sudah berusia lanjut berjalan dengan santai membuat semangatku meningkat. Belum lagi tetumbuhan dengan aneka bebungaan khas daratan Cina yang indah menambah keinginanku mencapai puncai bertambah. Dengan nafas tersengal-sengal karena kadar oksigen yang menipis akupun dapat menyelesaikan pendakian. Inilah klimaks perjalanan ke Huang Shan atau Gunung Kuning yaitu menyaksikan matarahari terbit. Memang sangat indah. Berbeda dengan melihat matahari terbit di Gunung Bromo yang berada di padang pasir, matahari terbit di Huang Shan muncul di antara banyak bukit yang bersaput awan tipis.

Setelah  kembali ke hotel aku membeli sebuah CD yang memviasualisasikan pemandangan Huang Shan sebagai kenang-kenangan.  Huang Shan memang  gunung yang indah. Tidak mengherankan UNESCO menjadikannya sebagai World Heritage (Warisan Dunia). Hal itu yang menambah daya tarik Huang Shan, belum lagi ada sebuah pernyataan Deng Xiao Ping di sebuah baliho di tempat parkir yang menyatakan bahwa mereka yang belum mendaki Huang Shan belum mengetahui Cina yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar