Minggu, 28 Juli 2019

Istana Karangasem



Beberapa waktu yang lalu saya bercerita mengenai perjalanan saya ke Nusa Penida untuk meninjau demplot energi terbarukan pada konferensi mengenai perubahan iklim dan lingkungan hidup PBB di Nusa Dua. Saat ferry yang membawa kami dari Nusa Penida mendarat di pelabuhan Padangbai, terbersit pikiran untuk tidak langsung kembali ke Denpasar atau Kuta, melainkan mencari obyek-obyek wisata di sekitar Karangasem. Alih-alih berjalan ke barat kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Inilah cerita mengenai perjalanan itu – yang telah berlalu sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu – yang  sebagian masih saya ingat.

Dengan mengendarai kendaraan roda empat SUV, rombongan sebanyak enam orang , bergerak pelahan menanjak meninggalkan pelabuhan Pandangbai, berbelok ke kanan lalu melaju ke arah timur melalui alam pedesaan yang lengang. Meski sudah sekitar sepuluh kali ke Bali, tapi perjalanan ke timur ini baru sekali kali ini kualami. Seperti jalan-jalan di pulau dewata pada umumnya, jalan ke timur tidak kalah eloknya, kalau tidak mau dikatakan lebih indah. Tidak berapa lama perjalanan mengarah ke bibir pantai.

Candidasa

Inilah Candidasa. Kala itu hari telah menjelang atau melewati tengah hari, namun waktu di pantai Candidasa seperti mengapung dalam senja. Waktu sungguh seperti terhenti dan terlupakan. Seluruh perhatian tercurah pada pemandangan alam yang seperti tercitra dalam mimpi. Di sebelah kanan adalah pantai seluas mata memandang, ada pasir dan batu karang serta deburan ombak ke bibir pantai dengan langit terang dan matahari yang bersinar cemerlang namun tak terasa panas. Di sebelah kiri berjajar deretan kafe-kafe dan restoran seperti terabadikan dalam sebuah foto dalam kartu pos yang biasa kita lihat di toko buku atau halaman kantor pos. Kami berhenti sejenak, menikmati bentang alam, mengambil gambar dan segera berlalu, tak mau berlama-lama, khawatir tersedot ke dalam lipatan waktu dan tidak bisa keluar lagi. Dengan keharuan tanpa meneteskan air mata, kamipun meninggalkan kawasan Candisasa, melaju menuju tujuan yang telah kami tetapkan, istana Karangasem di Amlapura.

Setelah berkendara sekitar setengah jam dari Candidasa, melewati kawasan hijau, jalan yang mendaki dan kebun-kebun yang rimbun, kamipun tiba di Amlapura, dan dari sana kami langsung menuju Istana Karangasem.

Istana Karangasem

Istana Karangasem berjarak sekitar lima km dari kota Amlapura, ibukota Kabupaten Karangasem. Bangunan istana bergaya arsitektur Belanda, sedangkan seni ukir yang menghiasi tempat ini merupakan pengaruh dari budaya Bali. Disamping itu, arsitektur Cina dapat terlihat pada bentuk gerbang, gazebo, dan kolam segi delapan. Istana Karangasem dibangun di atas kolam yang luas, sehingga orang harus melalui jembatan panjang untuk mencapainya. Istana ini milik raja Karangasem, namun kini tidak dihuni, tapi dijadikan semacam museum dan obyek wisata. Waktu kami berkunjung, pengunjung yang datang tidak terlalu ramai, sehingga kami bisa leluasa menikmati keindahan istana yang indah dan megah ini. Di dalamnya masih tersimpan banyak foto-foto keluarga kerajaan dan furnitur antik dan indah milik kerajaan. Karena istana ini memang terletak di tengah-tengah kolam, dan kolamnya itu sendiri terletak di tengah-tengah taman yang luas, maka bisa dikatakan kita berada di istana, istana air, atau taman air. Bisa juga dikatakan kita berada di taman luas dengan kolam air besar di tengahnya di mana ada istana di atasnya. Karena itu kokasi Istana Air Karangasem lebih dikenal dengan nama Taman Ujung.

Taman Ujung

Menurut informasi dari biro perjalanan , Taman Ujung—dinamakan  juga Taman Sukasada—didirikan   oleh raja Karangasem yang bernama I Gusti Bagus Jelantik, beliau bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem. Pembangunan taman ini dimulai pada tahun 1909 dan selesai pada tahun 1921, berfungsi sebagai tempat peristirahatan raja Karangasem dan juga sebagai tempat perjamuan tamu-tamu istimewa kerajaan. Sebenarnya Taman Ujung merupakan pengembangan dari Kolam Dirah yang telah dibangun pada tahun 1901. Ada 3 orang arsitek yang terlibat dalam pembangunan taman ini yaitu Van Den Hentz seorang arsitek dari Belanda, Loto Ang seorang arsitek dari Cina, dan seorang arsitek adat Bali (undagi). Luas taman pada saat itu sekitar 400 hektar, namun sekarang luas Taman Ujung kurang lebih 10 hektar.

Berdasarkan sebuah prasasti yang ditulis di atas batu marmer dalam bahasa Bali dan bahasa Melayu, peresmian Taman Ujung dilakukan pada tahun 1937. Pada tahun 1963 terjadi letusan Gunung Agung, dan pada tahun 1976 terjadi gempa hebat di Pulau Bali. Kejadian ini menyebabkan kondisi Taman Ujung rusak parah. Pada tahun 2001-2003, pemerintah kabupaten Karangasem berusaha untuk merekonstruksi kembali Taman Ujung sesuai dengan bentuk aslinya. Dana untuk rekonstruksi obyek wisata ini didapatkan dari bantuan Bank Dunia.

Setelah puas menikmati dan mengagumi kemegahan bangunan istana, kami menyempatkan berkeliling taman. Mengingat begitu luasnya taman ini, maka mengelilinginya juga menjadi aktivitas olah raga yang sehat dan menyenangkan. Landscape  Taman Ujung setidaknya terdiri dari lima bagian. Pertama tempat parkir, kedua taman kebun yang luas yang mengelilingi kolam air dengan tanaman-tanaman yang tertata rapi, ketiga kolam air luas yang mengelilingi istana, keempat adalah istana air yang menjadi fokus taman ini, dan  kelima adalah sebuah bangunan di lahan tinggi menyerupai benteng dengan sebuah menara.

Begitulah kisah perjalanan kami ke ujung timur Pulau Bali. Entah kapan lagi kami bisa bekunjung ke situ.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar