Selasa, 24 April 2012

Pagi di Lhok Nga


Maret 2006. Usai melaksanakan shalat subuh aku ke jalan raya mencari becak bermotor untuk menuju Lhok Nga, sebuah pantai sejauh beberapa kilometer di luar Banda Aceh.
 
 Pagi masih gelap dan angin dingin menerpa sepanjang perjalanan. Dan ketika matahari mulai memberikan cahanya, pantai Lhok Nga sudah di depan mata. Pantai sepi. Hanya ombak pelan memecah di bibir pantai. Sementara di kejauhan sisa-sisa bangunan pabrik semen masih berdiri setelah diserang tsunami setahun lalu.
     
 Pantai Lhok Nga adalah tempat yang indah dan terkenal sebagai tempat berwisata penduduk Banda Aceh dan sekitarnya. Pada sore hari orang-orang berkumpul menikmati keindahan pantai sambil menikmati kudapan jangung bakar. Keindahan itu masih tersisa meskipun pemukiman di sekitarnya hancur dan rata dengan tanah . tsunami menyisakan pemandangan yang memilukan.

 Aku menyempatkan berkeliling sejenak melihat sisa-sisa fondasi bangunan yang masih belum tersentuh rehabilitasi. Ada sebuah mesjid masih berdiri di tengah kampung yang telah hancur, meskipun tiang-tiang dan dinding-dinding bangunannya retak-retak. Pengemudi becak mengatakan bahwa air laut datang setinggi atap mesjid atau setinggi pohon kelapa saat tsunami datang. Mereka yang kebetulan berada di mesjid itu selamat.

Beberapa organisasi maupun negara asing turut membantu rehabilitasi Aceh. Di Lhok Nga, Turki telah membangun sebuah perumahan permanen yang baru meski belum dihuni. Clinton dan Bush turut membersihkan aliran irigasi.
 Beberapa spanduk dipasang masyarakat yang intinya menolak dana rehabilitasi Aceh dikorupsi.

Sepanjang jalan pulang menuju Banda Aceh aku melalui beberapa desa yang masih asri. Bangunan-bangunan Aceh yang megah terbuat dari kayu dengan hiasan ukir-ukiran masih utuh dan tegak berdiri. Nampaknya kearifan lokal dalam arsitektur ini harus dilestarikan.

Dari becak bermotor yang berlari kencang aku melihat kehidupan mulai menggeliat di kedai-kedai. Orang-orang mulai berkumpul di kedai untuk sarapan pagi, atau sekedar minum kopi sambil mengobrol di sepagi itu. Kehidupan Aceh memang berjalan santai. Mungkin hal itulah yang membuat mereka bertahan hidup di tengah kerasnya cobaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar