Selasa, 26 Mei 2020

Seminar Nasional “Jalan Trisakti Menuju Tatanan Mayarakat Pancasila”



Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Nasional Indonesia) akan melaksanakan Kongres di Jakarta. Sebelum itu Pengurus Daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat mengadakan kegiatan Pra Kongres dengan menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Jalan Trisakti Menuju Tatanan Masyarakat Pancasila” di Bandung. Aku diminta menjadi salah seorang narasumber. Pada tanggal 2 Agustus 2015, diselenggarakanlah seminar nasional itu di Hotel Homman, Bandung. Selain aku, ada alumni GMNI Bandung yang menjadi nara sumber, Prof. Caska dari Universitas Negeri Riau, Pekanbaru.

Lalu lintas di sekitar hotel  Savoy Homan sudah padat dengan kendaraan saat aku datang. Aku memasuki  halaman depan hotel, tapi tidak lagi tersedia tempat parkir. Aku keluar ke Jalan Asia Afrika, melintasi Gedung Merdeka, berbelok ke kiri melewati alun-alun Bandung, berbelok ke kiri lagi memasuki Jl. Dalem Kaum dan akhirnya sampai di bagian belakang hotel Homan.
Acara pembukaan seminar diisi dengan pidato-pidato. Pertama oleh Ketua PD PA GMNI Provinsi Jawa Barat, Abdi Yuhana.  Kemudian  oleh Sekjen PP PA GMNI, Ahmad Basarah.  Ada juga sambutan dari Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Pembukaan dilakukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ahmad Heryawan.  Acara pembukaan berakhir menjelang waktu zuhur, dilanjutkan dengan acara makan siang.

Saat makan siang, teh Rina Sabriena dan kang Pamriadi mengarahkanku ke VVIP room. Saat antri mengambil makanan a la prasmanan, aku menyilakan mas Hasto untuk mengambil terlebih dahulu, namun ia tidak mau. Maka akupun mendahuluinya. Di meja makan pertama sudah terisi para senior seperti  mas Suko Sudarso, mas Andi dll. Akupun mengisi meja makan berikutnya. Di situ duduk kang Ayi Vivananda, mas Hasto dan kang Aher. Sambil makan kami pun berbincang-bincang berbagai topik pembicaraan. 

Aku mendapat waktu pada sesi ketiga setelah topik kedaulatan politik (Dr. Andreas Hugo Pareira) dan kemandirian ekonomi (Prof. Caska). Makalahku berbicara mengenai kebudayaan yang berkepribadian yang dipandu oleh Rudita. Sebagai pembahas ada kang Eka Santosa. Meski begitu aku menyilakan kang Eka terlebih dahulu menyampaikan pokok-pokok pikirannya.  Barulah aku menyampaikan makalahku yang ditayangkan di layar. Makalahku berjudul “Memperkokoh Kepribadian Kebudayaan Nasional.”

Kumuat makalahku selengkapnya :

MEMPERKOKOH KEPRIBADIAN KEBUDAYAAN NASIONAL MENUJU TATANAN MASYARAKAT PANCASILA

Harjoko Sangganagara

(Disampaikan pada Seminar  Nasional  yang diselenggarakan Pengurus Pusat
PA GMNI  di Bandung 2 Agustus 2015)



Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggl 22 Juli 2015,  Universitas Kokhushikan di Tokyo, Jepang, menyelenggarakan sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Puti Guntur Soekarno bertajuk “Pancasila Bintang Penuntun”. Dalam pidato kebudayaannya Puti berkata bahwa meskipun Pancasila disepakati menjadi dasar Negara, seluruh sila-sila dan nilai-nilai Pancasila belum menjelma dalam sistem budaya bangsa. Selanjutnya Puti berkata  “Pancasila pasca Perubahan UUD 1945 ditempatkan terbatas, sebatas dasar Negara. Bagaimana prosedur dan proses pelaksanaannya di masyarakat, bangsa dan pemerintah, belum dirumuskan dalam praksis bernegara”. Pidato kebudayaan tersebut diadakan  dalam rangka pendirian Pusat Riset Soekarno yang diresmikan oleh Profesor Tokubumi Shibata, cicit dari pendiri universitas tersebut (Kompas, 23 Juli 2015).
Pada hari ini kita semua berada di Hotel Savoy Homan yang bersejarah ini untuk hal yang sama yaitu memperingati jasa-jasa Bung Karno dan melakukan pengkajian mengenai Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia dan sekaligus ideologi Negara. Jika sebuah universitas di Jepang  melakukan riset mengenai  Soekarno dan ajarannya yang paling berharga  yaitu Pancasila, itu tidak lain karena Pancasila adalah   suatu ide, suatu konsep, suatu teori, suatu ajaran, suatu pandangan hidup, suatu way of life, suatu falsafah, suatu philosophische grondslag, suatu Weltanschauung,  suatu mabda, suatu ideologi, suatu visi, suatu leidstar atau bintang penuntun, suatu cita-cita, suatu tatanan  bagi dunia, termasuk dunia akademik. 
Kenyataan bahwa Soekarno dan Pancasila diberi tempat berharga secara akademik dalam suatu pusat riset internasional, di Jepang, di Negara yang pernah menjajah negri ini,  rasanya cukup menjadi cambuk bagi kita untuk  lebih menghargai warisan budaya bangsa yang digali dari bumi Nusantara oleh putra terbaik bangsa yang seumur hidupnya mendedikasikan hidupnya untuk persatuan dan kesatuan serta kemajuan bangsa dan Negara. Siapakah putra terbaik bangsa itu ?  Tidak  lain dan tidak bukan, pastilah Soekarno, yang semua aspek kepribadiannya mengisi atmosfir kehidupan kita sampai-sampai tempat lahirnyapun menjadi bahan perdebatan di media. Hal itu terjadi karena Soekarno yang lebih suka dipanggil Bung Karno memang manusia besar bagi Indonesia. Bukan saja bagi Indonesia, tapi juga bagi Asia Afrika, bagi  Amerika Latin, bagi Gerakan Non Blok, bagi Negara-negara yang baru merdeka lepas dari kolonialisme, bagi Negara-negara yang tergabung dalam OKI, bagi the new emerging forces, bahkan bagi  seluruh dunia.
Agar Pancasila menjelma dalam sistem budaya dan menjadi tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat diperlukan  strategi  politik, ekonomi dan kebudayaan 1) untuk mewujudkannya.  Dalam memperingati hari kemerdekaan  pada tangal 17 Agustus 1963 Bung Karno menyampaikan pidato yang intinya menekankan keharusan untuk berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri (berdikari) di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan 2), yang kita kenal sebagai Trisakti. Ajaran Bung Karno tersebut merupakan azimat dalam revolusi yang belum selesai, karena hanya Negara yang sakti politik, sakti ekonomi dan sakti budaya bisa menjelmakan ideologinya dalam dalam menata kehidupan kenegaraannya, menjalankan kebijakan politiknya serta menyelenggarakan program-programnya di seluruh aspek, bidang dan sektor kehidupannya dalam kerangka nation and character building.
Mengapa Bung Karno menekankan strateginya di bidang politik, ekonomi dan budaya tidak lain karena Bung Karno menyadari bahwa akibat penjajahan yang panjang dan silih berganti telah terjadi kerusakan material, mental dan moral pada bangsa Indonesia. Memperbaiki kerusakan mental dan moral jauh lebih sulit daripada memperbaiki kerusakan material , oleh karena itu diperlukan Trisakti. Bung Karno berkata bahwa hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan modern dan sejarah kebudayaan Indonesia barulah Trisakti dapat dipahami. 
Pandangan Bung Karno tersebut menunjukkan bahwa Negara yang kita cintai ini harus berjalan di atas  kesadaran  akan pentingnya ilmu pengetahuan dan sejarah akan kebudayaannya.  Kesadaran itu sejalan bagi manusia  pejuang dan pemikir karena manusia adalah rationale animal atau makhluk yang berpikir. Relevansinya semakin terasa, terlebih pada saat perkembangan zaman era millennia membawa kita pada era kesejagadan (globalisasi) yang penuh pertarungan pemikiran sesuai dengan era teknologi informasi di mana pengetahuan yang dikumpulkan nenek moyang kita dalam ratusan tahun kini mungkin dapat kita peroleh dalam sehari atau kurang, tergantung dari kecanggihan soft ware dan hard ware yang dimiliki.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur dari  unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti  teknologi, organisasi sosial, sistem kepercayaan, seni, bahasa,  dan sistem mata pencaharian yang dikenal dengan istilah cultural universal (Kluckchon). Ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas berkaitan dengan pemikiran  yang logis dan ilmiah tetapi  termasuk juga pengetahuan yang lebih intuitif  seperti yang dalam istilah kita disebut dengan cipta rasa dan karsa.
 Ilmu pengetahuan memiliki perkembangan sesuai fase dari perkembangan pemikiran atau kebudayaan yang menurut van Peursen terdiri dari tiga tahap yaitu tahap kesadaran mitis atau magis , fase kesadaran ontologis  dan fase fungsional  (Mangunwidjaja, 1995:250) 3).  Dalam era pasca modern, baik kesadaran mitis atau magis, kesadaran ontologis maupun fungsional saling melengkapi satu sama lain untuk menjaga keselarasan kehidupan, bukannya saling menafikan.
Dengan padangan seperti itu kita akan bisa melihat sejarah kebudayaan Indonesia secara utuh integral dan holistic karena sejarah kebudayaan kita pada hakikatnya memiliki periodisasi lapisan-lapisan yang meskipun memiliki karakteristik yang dapat dibedakan tetapi saling berkelindan yaitu masa  pra Hindu Budha yang lazimnya disebut pra sejarah (paleolithikum, mesolithikum, neolithikum), masa Hindu-Budha, masa Islam dan masa Barat yang disebut juga  masa modern. Setiap masa meninggalkan jejak di bidang teknologi, arsitektur, kesusastraan, politik, seni, keadaan sosial, perekonomian maupun agama. Ada yang samar-samar ada pula yang jelas nampak.   
Berikut ini  ringkasan perkembangan kebudayaan Indonesia  berdasarkan pendekatan shaf, istilah yang saya pinjam dari Bung Karno. Pendekatan yang nyaris serupa juga digunakan oleh beberapa ahli sejarah Indonesia meski dengan istilah yang berbeda.  Setiap shaf ada yang dibagi ke dalam periodisasi. Untuk  periodisasi  ini saya berterima kasih pada  John Micsic  yang membuat kronologi Sejarah Awal,  dan Anthony Reid yang membuat kronologi Sejarah Modern Awal (Indonesia Heritage Vol. 1 & 3 : 2012).
Pada shaf pra Hindu-Budha, yang dinamakan prasejarah akhir yaitu antara tahun 10.000 SM – 200 M nenek moyang kita sudah mengenal irigasi, menggunakan emas tanpa campuran, sudah berdagang dengan India, membuat arsitektur berupa punden berundak, melukis di gua  serta sudah memiliki prinsip kepemimpinan berdasarkan pada kecakapan seseorang. 
Shaf Hindu-Budha berlangsung lama sejak 200 M – 1500M atau sekitar tiga belas abad, yang dibagi dalam Proto Sejarah (200 M- 600 M), Klasik Awal (600 M – 900 M), Klasik Madya  (900 M – 1250 M) dan Klasik Akhir (1250 M – 1500 M).  
Peninggalan proto sejarah yang penting adalah  aksara tertua seperti terlihat pada maklumat kerajaan Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa Barat. Pada era ini pulalah masuknya aksara Palawa dan bahasa Sansekerta, adanya  stratifikasi sosial seperti golongan bangsawan dan rakyat biasa, mulai menyebarnya agama Hindu dan Budha serta dimulainya perdagagangan dengan Cina.
Pada masa klasik awal ada kemajuan dalam pembuatan perahu, dibangunnya candi Borobudur dan Prambanan, diterjemahkannya dua epos India yang terkenal yaitu Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa Jawa Kuno, persaingan dinasti Syailendra yang beragama Budha dengan dinasti Sanjaya yang beragama Hindu untuk berkuasa di Jawa dan Sumatra yang kemudian diselesaikan melalui perkawinan, dan dinasti Syailendra tetap berkuasa di Sriwijaya. Sriwijaya dan Mataram bersaing untuk menguasasi perdaganan maritim internasional di Asia Tenggara, sementara agama Hindu pemuja Siwa dan Wisnu serta Budha Mahayana mulai menguasasi kraton dan pelan-pelan meresap ke dalam kehidupan penduduk desa.
Masa klasik madya ditandai dengan dibangunnya candi-candi dari bata di Sumatra seiring perkembangan agama Budha esoteris di pulau itu dan Sriwijaya digantikan oleh kerajaan Melayu, menghilangnya kerajaan dari Jawa Tengah dan munculnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa Timur, zaman keemasan kesusastraan keraton Kediri, birokrasi makin berkembang, organisasi militer mulai melembaga, kedudukan cendikiawan mulai meningkat, pemerintah semakin terlibat dalam urusan pengendalian air dan angkutan darat, banyak pelabuhan baru dikembangkan, pendatang Cina mulai mendirikan pemukiman, uang logam Cina menjadi mata uang penting dan perpajakan menjadi lebih rumit.
Pada masa klasik akhir, Singasari menyatukan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur bahkan meluas hingga mempunyai kekuasaan atas kerajaan Melayu di Sumatra. Singasari diganti oleh Majapahit yang menjadi kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia kuno. Pembuatan kertas dimulai, keris menjadi senjata dan lambang penting. Banyak yang bermata pencarian hidup dengan menjual jasa untuk mendapat imbalan uang. Pelabuhan di pantai utara Jawa dan timur Sumatra menjadi sangat makmur karena pengalihan ke India dan Asia Tenggara saat Cina menutup diri pada tahun 1368.
Shaf Islam berlangsung sejak 1300 M- 1600 M. Masa Islam awal menurut Micsic   ditandai dengan penggunaan senjata api yang mungkin berasal dari Asia Barat Daya. Majapahit yang sering mengirim utusan ke Cina, juga ke Jepang dan Korea mulai mengalami kemunduran kemudian menghilang sekitar tahun 1527 (atau tahun 1478 menurut Reid dan 1402 menurut Raffles). Kerajaan-kerajaan baru seperti Demak, Banten dan Cirebon muncul di pantai utara Jawa. Sultan Hasanuddin membangun Banten sebagai pelabuhan lada dan menaklukkan Pajajaran. Sunan Gunung Jati menaklukkan Batavia dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Kerajaan Mataram di pedalaman meneguhkan kembali keunggulannya. Melaka muncul sebagai saingan Pasai yang dipimpin oleh seorang Ratu. Kerajaan Goa berkembang karena posisi strategisnya pada jalur perdagangan rempah-rempah.
Monumen yang awet adalah masjid, gugus kubur dan keraton seperti nampak pada keraton Cirebon dan Yogyakarta. Sastra Islam tertua berasal dari abad ke-16 berisi renungan filosofis hubungan manusia dan Tuhan yang meskipun berorientasi mistik tapi tidak bersifat heterodoks, dalam arti mempertahankan konsep dualisme. Larangan Islam terhadap pembuatan patung makhluk hidup semakin ditaati. Urbanisasi berkembang pesat sama dengan di Eropa. Perdagangan berkembang, tenaga kerja sulit di dapat dan mahal, penduduk desa bisa berpindah untuk mencari tanah baru, hubungan Gusti-kawula berdasarkan hutang piutang menjadi ciri dasar yang dipengaruhi Eropa. Agama Islam berkembang perlahan secara damai, proses penyebarannya memunculkan varian-varian baru yang memasukkan kepercayaan pra-islam dalam kesatuan manusia dan Tuhan.
Shaf Barat atau Modern, dimulai sekitar 1600 M. Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque mulai  menaklukkan Melaka dan membeli rempah-rempah di Maluku . Ekspedisi Belanda di bawah Cornelis de Houtman berdagang di Banten. Inggris membangun benteng di Banten. VOC dibentuk di Amsterdam dengan menjual hak untuk mengirim kapal Belanda ke Timur dan sejak itulah riwayat penjajahan Belanda di Indonesia dimulai. Politik pecah belah dimulai. Perjanjian Gianti membagi Mataram menjadi dua :  Mangkubumi menjadi sultan Yogyakarta dan Pakubuwana sebagai susuhunan Surakarta. Marsekal Daendels menguasasi Jawa untuk Napoleon, dilanjutkan oleh Raffles sebagai Gubernur untuk Inggris. Gubernur Jendral Bosch meresmikan culturrstelsel yang sangat menguntungkan Belanda dan menyengsarakan rakyat khususnya petani.  Perlawanan muncul dimulai dengan Patttimura di Saparua, di Jawa di bawah pimpinan P. Diponegoro, di Sumatra di bawah P. Imam Bonjol , di Sulawesi Selatan di bawah Ratu Bone We Pancaitana, dan di Bali berupa “puputan” yang menandai akhir kerajaan-kerajaan di  Lombok dan Bali.  Dari tahun 1896-1909 terjadi penaklukan Nusantara secara sistematik oleh Belanda.
Sejarah kebudayaan Indonesia menunjukkan pasang surut perkembangan yang bermuara pada adanya kesadaran nasional yang embrionya dimulai pada kebangkitan kesadaran nasional pada tahun 1908, kesepakatan agung untuk bersatu dalam Indonesia pada tahun 1928 dan puncaknya adalah pada proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menandai dimulainya revolusi nasional untuk membebaskan diri dari penjajahan politik, ekonomi dan budaya yang saling berkelindan.
Putra bangsa yang tercerahkan mendarmabaktikan semua potensi dirinya untuk membangun suatu Indonesia yang berperadaban maju melalui jalan politik dengan mengorganisir rakyat untuk menjadi manusia merdeka yang memiliki harga diri, melalui jalan ekonomi dengan menyelenggarakan perekonomian yang menguntungkan kaum Marhaen dan jalan kebudayaan dengan  mengerahkan daya cipta rasa dan karsanya untuk menunjukkan jati diri nya di antara bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.
Diskursus kebudayaan Indonesia kaya dengan dialektika.  Barat berhadapan dengan Timur, sosialisme berhadapan dengan kapitalisme, paham agama berhadapan dengan sekulerisme, realisme sosialis berhadapan dengan humanisme universal, pribumi berhadapan dengan asing, lokal berhadapan dengan global, keseragaman berhadapan dengan keberagaman,   oldefos berhadapan dengan nefos. Ada sintesa, namun ada pula pergumulan yang belum berakhir. Kebudayaan Indonesia hidup dalam dinamika. Semua itu sesungguhnya membentuk, mengembangkan dan memperkuat kebudayaan.
 Sebagai  sebuah gagasan, Pancasila adalah wujud kebudayaan Indonesia yang  sempurna. Untuk mewujudkannya dalam perilaku diperlukan pembiasaan (habituasi) pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Canangan pemerintah untuk menghidupkan budi pekerti di sekolah merupakan langkah yang baik. Selain di sekolah, pembiasaan perlu diperluas hingga keluarga dan masyarakat. Revolusi mental harus dijalankan. Bukan hanya kerja dan disiplin yang diperlukan tapi yang tidak kalah penting adalah kebutuhan “menciptakan pikiran-pikiran dan konsepsi-konsepsi baru”.  Kita harus berjuang secara sistemik menentang “imperialisme kebudayaan” dan Pemerintah harus melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan Nasional. Dengan demikian diharapkan kepribadian kebudayaan nasional semakin kokoh dan tatanan masyarakat Pancasila terwujud.




Catatan kaki :

1)  Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah  (buddhi : budi, akal); bahasa Inggris culture yang berasal dari bahasa Latin colere : mengolah tanah. Wujud kebudayaan adalah komplek gagasan-gagasan, komplek aktivitas dan wujud benda (artifak).
2)  Agar tidak kehilangan kepribadian dalam kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan Asas Tri-kon : “kontinuitet, konvergensi, konsentrisitet”. Kontinuitet berarti bahwa kebudayaan harus merupakan kelanjutan dari masa silam bukan ulangan atau tiruan dari bangsa lain. Konvergensi berarti menghindari hidup menyendiri (isolasi) dan menuju ke arah pertemuan dengan bangsa-bangsa lain. Konsentrisitet berarti sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain kita  tidak boleh kehilangan kepribadian, meskipun sudah menyatu dalam lingkaran konsentris itu kita tetap memiliki sirkel (lingkaran) sendiri (1962:228).
3) a. Fase kesadaran mitis atau magis, kapan manusia memandang diri serta semesta ada dan segala kejadian selaku partisipasi atau pewayangan dari dunia adikodrati (gaib) yang menjadi sumber segala realita yang terjumpa, dan yang diikhtiarkan hadir lewat narasi mitos-mitos atau dongeng-dongeng tentang hakekat serta proses berjalannya semesta ada serta kehidupan manusia. b. Fase kesadaran ontologis dialami, ketika manusia melihat segara ada secara rasional, tidak begitu saja suatu wayang dari dunia gaib, tetapi otonom berdiri dan dikerjakan sendiri tanpa intervensi langsung dari dunia mitologi. c. Fase kesadaran fungsional, kapan manusia melihat yang ada ini tidak hanya ada, tetapi agar digunakan, dimanfaatkan, dinikmati, dicipta-rancang, sampai dimanipulasi segala, terserah kedaulatan maunya manusia.














Daftar Pustaka



Dewantara, Ki Hadjar. (1962). Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta : Percetakan Taman Siswa.

Departemen Penerangan RI. (1961). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Percetakan Negara & Departemen Penerangan.

Mangunwijaya, Y.B. (1985). 50 Tahun Merdeka Beberapa
Sumbangan Pemikiran Dari Sudut Budaya  dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhanas. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Miksic, John. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 1 Sejarah Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.

Reid, Anthony. (2002). Kronologi dalam Indonesia Heritage Vol. 3 Sejarah Modern Awal. Jakarta : Buku Antar Bangsa dan Grolier International, Inc.




RIWAYAT HIDUP 


Harjoko Sangganagara,  Doktor Administrasi Pendidikan  dari  Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Saat ini  menjabat sebagai Pembantu Ketua I Bidang Akademik pada STIA Bagasasi Bandung dan pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis.
Pengalaman dalam pemerintahan : sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung pada periode 1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode 1999-2004 dan 2004-2009 .
Pengalaman internasional : pemrakarsa World Peace Exhibition tahun 1985 di Bandung, peserta Kongres Pendidikan dan Profesi Pekerjaan Sosial Asia Pasifik  (APASWE) tahun 1987 di Jakarta , visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan China Expo tahun 2006 serta Kongres HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali tahun 2009.
Saat ini menjadi pengurus daerah PA GMNI Provinsi Jawa Barat sebagai Wakil Ketua Bidang Ideologi  dan   sebagai guru kader PDI Perjuangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar