Selasa, 19 Mei 2020

Simposium Nasional Pancasila

 

 


 

8 Juni 2018.
Usai subuh aku mengendarai Taruna keluar dari rumah menuju Stasiun Hall utara. Kuparkir mobil dan langsung bergegas. Kang Abdy sudah menunggu. Setelah check ini, kami berdua memasuki peron dan langsung menuju kereta api Argo Gede jurusan Jakarta yang telah menunggu di jalur. Kamipun menaiki KA yang berangkat di pagi itu ke Jakarta melewati lembah bukit hutan kebun sawah sungai dan jurang. Tamasya yang indah.

Tiba di Stasiun Gambir sekitar pukul 08.00 kami segera menaiki taksi ke Jl. Cikini Raya menuju Kantor DPP Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Setelah sarapan pagi, bung Ahmad Basarah membuka Simposium Nasional Pancasila. Pesertanya para alumni dari seluruh pengurus tingkat provinsi di Indonesia.

Setelah upacara pembukaan, peserta dibagi ke dalam beberapa ruang seminar tergantung topiknya. Aku dan kang Abdy berpisah. Aku mengikuti seminar dengan topik Pancasila dan Globalisasi. Akupun menyampaikan makalah yang sudah kupersiapkan dari Bandung. Ada beberapa peserta lain menyampaikan makalah kemudian didiskusikan dan disimpulkan.

Menjelang ashar, semua kelompok peserta berkumpul di aula untuk menyampaikan laporan dan kemudian kesimpulan seminar dirumuskan bersama. Bung Basarah sudah meninggalkan tempat karena harus terbang ke Singapura menengok Bang Taufik Kiemas yang sedang dirawat karena sakit jantungnya.

Penutupan seminar direncanakan pada malam hari dan sebelum pulang
 panitia memberiku sertifikat dan kenangan-kenangan berupa buku Dibawah Bendera Revolusi cetakan terbaru yang diterbitkan Yayasan  Sukarno.

Dari tempat seminar, aku  bung Abdy dan Prof Nanang keluar menuju jalan raya. Hujan gerimis turun dan kami berlari kecil menuju sebuah depot makan untuk memesan mie goreng. Kamipun menikmati mie sambil ngobrol. Prof Nanang masih tinggal untuk mengikuti resepsi nanti malam. Aku dan bung Abdy segera ke Stasiun Gambir.

Kami naik bajaj ke Stasiun Gambir dan langsung check in, memasuki peron dan menaiki eskalator. Sampai di atas, kereta menuju Bandung sudah menunggu. Bung Abdy mendapat pesan dari bung Basarah melalui SMS bahwa Bang Taufik Kiemas meninggal dunia di Singapura dan dibawa ke Jakarta sore itu juga. Sayang kereta sudah bergerak menuju Bandung. Kami tidak bisa melihat jenazah.

Esok harinya Bang TK dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Bung Abdy berangkat lagi ke Jakarta mengantarkan jenazah ke peristirahatannya yang terakhir. Semoga Bang TK berbahagia di alam baqa.

Lampiran :





REAKTUALISASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM ARUS GLOBALISASI ERA PASIFIK
(TINJAUAN POLITIK)


Dr. H. Harjoko Sangganagara M.Pd.
Ketua I STIA Bagasasi Bandung  

(Disampaikan pada Seminar Pancasila dan Globalisasi   yang diselenggarakan DPC GMNI Bandung
di Gedung Indonesia Menggugat 16  Juni 2017)


A.    Pendahuluan
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
Pandangan Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena lainnya mengikuti. Tabb  (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk. Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi. Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam keadaan kacau (chaos).
            Memasuki millenium ketiga, polarisasi Timur dan Barat berganti menjadi polarisasi kaya dan miskin, juga mungkin polarisasi Barat dan Islam seperti disinyalir Hutington. Dunia telah memasuki apa yang dinamakan seorang futurolog Toffler sebagai “Gelombang Ketiga” yang ditandai dengan masyarakat informasi, era informasi atau era post industrial. Era yang ditandai dengan munculnya internet pada tahun 1990-an ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tiga dasa warsa sebelumnya.
            Fukuyama menandai periode ini dengan berbagai kondisi sosial yang sangat butuh pada sebagian besar dunia industri. Kejahatan dan kekacauan sosial mulai meningkat dan membuat wilayah-wilayah pusat kota dari masyarakat yang paling makmur di muka bumi hampir-hampir tidak dapat dihuni. Institusi sosial kekerabatan menurun tajam. Tingkat kesuburan di sebagian besar negara Eropa dan Jepang begitu rendah sehingga masyarakatnya akan mengalami depopulasi pada abad mendatang; perkawinan dan kelahiran yang semakin sedikit; perceraian meningkat dan anak yang lahir di luar nikah terjadi dalam satu dari tiga anak yang dilahirkan di AS dan lebih dari separo anak di Skandinavia. Akhirnya, kepercayaan terhadap lembaga-lembaga mengalami penurunan. Sifat dan keterlibatan masyarakat satu dengan lainnya pun telah mengalami perubahan.
            Perubahan-perubahan yang drastis terjadi secara bersamaan itu oleh Fukuyama dianggap sebagai penyebab munculnya Great Disruption (Kekacauan Besar) dalam nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat era industri di pertengahan abad ke-20.
             
B.     Pancasila di Tengah Globalisasi
1. Globalisasi
            McLuhan  merupakan seorang pemikir komunikasi yang pada tahun 1964 melontarkan konsepnya mengenai The Global Village, namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
            Tabb (2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia mengatakan bahwa istilah tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya. “Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney”.
Malcom Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme. (Tilaar, 1997:16).
Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh  Naisbitt (Tilaar, 2001)             disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin. Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia, sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni 1996 yang menyatakan bahwa:
     “Globalisation (global economy) is source of rising living standard reaping the gains from trade, internasional investment, and tecnological progress. For this purpose, developing countries should make adjustment to increased competition and special efforts to eliminate inequality”.
            Kenyataan globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an, protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia  Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).

2. Membangun Dunia Kembali
            Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal. Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Jauh sebelumnya Bung Karno, dalam pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew) mengatakan “ Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga  berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan  harus memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini. Indonesia  berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Bung Karno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an  (S. 49: 13):
    “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan  bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepadaKu”.

Tahun 1960-an ketika Bung karno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Bung Karno menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang dimaksud Bung Karno adalah Pancasila.
            Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
            Kedua : Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme  bukanlah Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena itu nasionalisme menolak imperialisme.
            Ketiga: Internasionalisme. Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
            Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial.
            Internasionalisme tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan maupun prestige nasional.
            Keempat:Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat, Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun minoritas.
            Kelima : Keadilan Sosial. Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
Pancasila yang dipidatokan Bung Karno dimaksudkan sebagai alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis. Bung Karno menyadari akan karakteristik gagasan dari Thomas Jefferson dan kawan-kawan serta Marx dan Engels serta pertentangan di antara kedua gagasan tersebut yang berujung pada ancaman akan terganggunya perdamaian dunia, maka upaya untuk menggali gagasan filosofis dan ideologis yang dapat mewakili milyaran manusia di seantero Asia Afrika menjadi relevan dan memiliki dasar epistemolgis, ontologis dan axiologis.

3. Dimensi Moral, Ideologis dan  Sejarah   dalam Pancasila
a.      Dimensi Moral
            Rumusan Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat  dinikmati). Sebagai bonum honestum, Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak seperti nilai–nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
            Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan,  1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.

Otonomi moral
Otonomi moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya, bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi, takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta untuk rendah  hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (“assumes that moral education is wrong because of the speculative, non scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (“he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (“a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (“that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (“that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut  Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani (1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni faktor yang  mengharuskan manusia   dalam tingkah laku kita sehari-hari, baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan moral Pancasila manusia  selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya  kepada terlaksananya kebahagiaan dan keadilan di  bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani,  secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme sebagai “ an act that is intended solely in benefit to another person or group and which provides no material benefit to person who commits it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning). Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial. Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial. Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares, 1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian moral seseorang  muncul melalui beberapa tahap universal pada semua kebudayaan.
Pembentukan disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa  hari tentunya tidak dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader  dan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini dikritik oleh Rendra  (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi. Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004:   23) jiwa muda dapat diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki  hati yang sudah membatu atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah menjadi  hati yang rindu pada Kebenaran  (Dahlan,1993:55).

b.      Dimensi Ideologis
            Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of  ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas : yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang dikehendakinya   (Wahana 1993:86).

Epistemologi Ideologi
Untuk memahami perkembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional kader .
Secara epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern (1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman aufklarung  (the enlightenment)  yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme.  Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi  muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti  pandangan manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.
Ideologi-ideologi cenderung untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah mendasar seperti misalnya arah sejarah dan kebudayaan. Pada sisi lain ideologi mengemukakan dalil-dalil normatif untuk membangun dan menata dunia, masyarakat, sejarah dan kebudayaan. Perkembangan ideologi yang mengacu pada esensi bahwa ideologi adalah kekuatan menumbuhkan pemikiran-pemikiran ideologikal seperti nampak pada facisme dan nasional-sosialisme (Nazi). Suasana seperti itulah yang menciptakan iklim yang menegangkan sehingga memicu terjadinya Perang Dunia I dan II .
Perkembangan ideologi seperti itulah yang membuat nasionalisme atau faham kebangsaan dicurigai di Indonesia. Bung Karno, Bung Hatta dan the founding fathers lainnya harus bersusah payah menjelaskan dan mengembangkan nasionalisme. Faham nasionalisme menghadapi kritik dari faham keagamaan. Dialektika antara kedua faham itu dapat ditelusuri dari perdebatan Bung Karno dengan Hasan (Persis), Bung Karno dengan Agus Salim dan Bung Karno dengan Natsir. Kendatipun pergulatan wacana filosofis antara ideologi nasionalisme, keagamaan dan determinasi ekonomi (sosialisme) telah bertemu dalam  common platform Pancasila, akan tetapi tidak berarti bahwa pergulatan pada tataran pemikiran ideologik sudah berhenti.

c.       Dimensi sejarah
Penanaman jiwa kebangsaan perlu dimulai dengan memahami arti kemerdekaan Indonesia sebagai suatu revolusi nasional. Revolusi adalah “ eine Umwertung aller Werte” (penjungkirbalikan dari tata nilai yang lapuk untuk diganti dengan yang baru dan “Umgestatltung von grundaus”  (suatu perombakan dari akar-akarnya”). Musuh revolusi adalah imperialisme dan kolonialisme. Kita mengenl banyak revolusi di dunia ini, contohnya adalah  revolusi kemerdekaan Amerika (1776), revolusi kaum menengah di Perancis (1789), Revolusi proletar di Rusia (1905-1917), Revolusi Turki Kemal Attaturk (1908-1923), Revolusi Tiongkok (1911) dan Revolusi Islam di Iran. Terakhir dunia menyaksikan revolusi sosial di Negara-negara Amerika Latin dan revolusi demokrasi di Mesir dan dunia Arab.
Revolusi Indonesia di tahun 1945 yang dikenal sebagai revolusi nasional memiliki  tiga segi kerangka tujuan :  di bidang politik, suatu Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan Republik yang demokratis dari Sabang sampai Merauke. Di bidang sosial, suatu masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adil dan makmur badaniyah dan rohaniyah, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis Indonesia. Di bidang internasional, persahabatan dan perdamaian dunia, terutama sekali dengan Asia Afrika, untuk membentuk dunia baru bersih dari imperialisme dan kolonialisme.

4. Kebangsaan
            Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif tersebut diperlukan agar penanaman rasa kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.

Perkembangan Nasionalisme
            Nasionalisme (faham kebangsaan) tidak dapat dilepaskan dari nation (bangsa), yaitu sejumlah orang yang memandang diri mereka sebagai komunitas atau kelompok dan memberikan kesetiaan kepada kelompok di atas kepentingan lainnya. Mereka biasanya memiliki bahasa, budaya, agama, politik dan lembaga-lembaga serta sejarah di mana mereka mengidentifikasikan diri, juga percaya bahwa mereka mengalami persamaan nasib. Mereka biasanya mendiami suatu wilayah tertentu. Adapun faktor-faktor yang mendukung terbentuknya suatu bangsa adalah bahasa, ras, geografi dan lembaga-lembaga politik.
            Orang-orang yang membentuk suatu bangsa biasanya mengembangkan nasionalisme. Jika bangsa tersebut mencapai status negara-bangsa (nation-state), mereka mengembangkan suatu kerangka politik yang melindungi penduduk dan membangun lembaga-lembaga negara. Dalam membangun nasionalisme, penduduk  mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk disumbangkan bagi kemerdekaan, harga diri, kemakmuran dan kekuatan negara.
            Langkah awal pembentukan bangsa dimulai dari pembentukan suku-suku pada masa purba. Pada masa itu perjuangan untuk menguatkan dan meluaskan kelompok berjalan dengan intensif. Ikatan utama mereka adalah pertalian darah. Rasa cinta pada tempat tinggal belum ada ketika itu.
            Patriotisme (berasal dari la patrie = fatherland) lahir seiring dengan munculnya negara-kota (city-states) awal. Untuk alasan ekonomi dan pertahanan, penduduk mulai mengelompokan diri dalam beberapa titik strategis. Contohnya adalah Athena yang mengembangkan suatu perasaan solidaritas kelompok yang kuat, warganya merasa sebagai pribumi, dengan budaya yang khas dan persamaan nasib.
            Ketika negara-kota saling berkonflik satu sama lain, salah satu dari mereka menguasai yang lain. Contoh suksesnya adalah Roma yang kemudian mengembangkan semangat nasional, ketika kemenangannya di medan perang memperluas perdagangan negara itu. Meskipun hanya sedikit dari wilayah yang ditaklukan itu yang benar-benar loyal.
            Di abad pertengahan national-building boleh dikata tidak ada.       Kekuasaan politik di tangan kaum feodal tidak memungkinkan tumbuhnya solidaritas di kalangan penduduk. Baru setelah para pedagang kelas menengah tumbuh, mereka mulai mengorganisir diri untuk mengalahkan kaum anarkhi dan sistem feodal. Sedangkan konsolidasi kekuatan oleh raja dimulai di Inggris baru kemudian Perancis, yang memulainya dari pusat. Di pertengahan abad ke-18, negara nasional muncul di hampir seluruh Eropa.
            Trauma terhadap Revolusi Industri, negara-negara Eropa melakukan penjajahan untuk menjamin pasokan bahan baku. Untuk kebutuhan memperoleh tenaga kerja mereka melakukan politik etis terhadap negara jajahan yang pada gilirannya meningkatkan taraf hidup pribumi dan  memunculkan kesadaran untuk merdeka. Negara-bangsa memunculan di tanah jajahan terutama setelah Perang Dunia II. Keanggotaan PBB meningkat 50 pada tahun 1945 menjadi 190 pada tahun 1990-an.
            Munculnya negara bangsa yang baru merdeka melahirkan wacana tentang kepribadian bangsa, seperti tampak pada pada pandangan Bung Karno tentang Trisakti yaitu berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Isak, ed. 2001:160). Keinginan tersebut merupakan suatu hal yang realistis karena meskipun sudah banyak negara-negara yang merdeka sejak tahun 1945, namun negara-negara tersebut masih berkutat dengan masalah kehidupan yang paling elementer seperti penyediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Itu semua menunjukan bahwa kemerdekaan politik saja tidak cukup, melainkan harus dibarengi dengan kemandiriaan ekonomi dan kemampuan mengembangkan kebudayaan dengan tata nilainya sendiri.

a.                  Penanaman Jiwa Kebangsaan 
            Penanaman jiwa nasionalisme diharapkan untuk mencapai dua aspek, yakni aspek moral dengan terwujudnya komitmen, dan aspek intelektual dengan terwujudnya pengetahuan yang memadai mengenai nasionalisme dengan segala tantangannya di era globalisasi. Di samping itu pembinaan tersebut mampu memperkuat daya kognitif, afektif dan konatif. Dengan demikian diharapkan didapat pengetahuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yang tampak dalam pola pikir, sikap maupun tindakan.
            Pembinaan nasionalisme dapat menggunakan lembaga peribadatan, organisasi sosial kemasyarakatan, pers dan media masa lainnya, kursus, lembaga diskusi, serta jalan yang tidak melembaga seperti pergaulan sehari-hari, tempat rekreasi, pariwisata dan pelayanan umum (Kansil, 1986:228). Pada organisasi sosial politik, kursus yang dilakukan biasanya berbentuk kaderisasi.
            Menurut Sulaeman (1998), kaderisasi mengandung pengertian suatu usaha orang dewasa dalam mewariskan nilai-nilai kepada generasi muda agar mereka mampu menjadi pengganti atau penerus di masa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan pun mengandung unsur kaderisasi, sebab di dalamnya ada kegiatan transfer of knowledge and values.
            Di dalam partai, kaderisasi memerlukan pendekatan andragogi, mengingat peserta didik sudah dapat dikatagorikan sebagai manusia dewasa (17 tahun ke atas). Andragogi berasal dari perpaduan dua akar kata bahasa Yunani, yakni “andra” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin. Andragogi berarti “ilmu dan cara membantu orang dewasa untuk belajar”. Istilah ini digunakan Alexander Klapp pada akhir abad 19, dalam upaya untuk menjelaskan konsep dasar teori pendidikan dari Plato (Widada, 2002: 1).
            Andragogi dapat dilihat sebagai pendekatan atau metoda, dapat pula dilihat sebagai sistem. Sebagai pendekatan atau metode, andragogi berkaitan dengan proses belajar/mengajar yang seharusnya terjadi di lingkungan pelajar dewasa. Sedangkan sebagai sistem,  andragogi sebagaimana paedagogi, memiliki komponen sistem yang lengkap seperti tujuan, kurikulum, guru, murid dan sebagainya. Institusionalisasi paedagogi pada umumnya berwujud dalam sistem persekolahan, sedangkan institusionalisasi andragogi pada umumnya terealisasi dalam latihan, kursus, santiaji, refereshing, up grading dan sebagainya.

b.      Pembentukan karakter
Kebudayaan  dapat  mempengaruhi karakter. Menurut Spranger (Sujanto, Lubis, Hadi, 1984:45), kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam kehidupan jiwanya, jiwa subyektif yaitu jiwa tiap-tiap orang dan jiwa obyektif yaitu nilai-nilai kebudayaan yang berpengaruh pada jiwa subyektif.  Manusia dapat dibedakan atas enam nilai kebudayaan, yaitu Ekonomi, Politik, Sosial, Ilmu pengetahuan, Kesenian dan Agama. Pengaruh dari enam nilai kebudayaan menghasilkan enam tipe manusia : manusia ekonomi (senang bekerja, senang mengumpulkan harta, agak kikir, bangga dengan hartanya), manusia politik (ingin berkuasa, tidak ingin kaya, berusaha menguasai orang lain, kurang mencintai kebenaran), manusia sosial (senang berkorban, senang mengabdi kepada Tuhan, mencintai masyarakat, pandai bergaul); manusia pengetahuan (senang membaca, gemar berfikir dan belajar, tidak ingin kaya, ingin serba tahu); manusia seni (hidup bersahaja, senang menikmati keindahan, gemar mencipta, mudah bergaul dengan siapa saja); manusia agama (hidupnya hanya untuk Tuhan dan akhirat, senang memuja, kurang senang harta, senang menolong orang lain) .
Karakter dipengaruhi oleh faktor jasmaniah dan faktor rohaniyah. Faktor jasmaniah mempengaruhi karakter dan karakter mengekspresikan diri dalam tingkah laku jasmaniah (Sujanto dkk., 1984:19). Karena karakter dipengaruhi faktor-faktor rohaniyah, jasmaniah dan lingkungan maka karakter berkaitan dengan agama, budaya, nilai-nilai tradisi, hukum serta ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pembentukan karakter.
Proses pembentukan karakter bangsa karena faktor-faktor budaya seperti itu oleh Catell (Phares, 1984:251) dinamakan syntality yaitu the ways in which individuals develop are also greatly influenced by the groups to which they belong. Faktor-faktor yang membedakan  karaktreristik bangsa adalah jumlah (size), kerajinan (affluence),dan ketekunan (industriousness).
Syntalitas membuat karakter satu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.Karakter bangsa yang dibentuk oleh syntalitas tersebut membentuk suatu kepribadian yang khas baik secara individual maupun kolektif bangsa. Salah satu kriteria kepribadian Indonesia ditawarkan oleh Bung Karno  (Pidato ketika membuka Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Kota Bandung, Februari 1960).
“Hari depan Revolusi kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah berisikan masyarakat adil dan makmur; atau lebih jelas lagi ialah Negara Pancasila, yang berisikan masyarakat sosialis, berdasarkan ajaran Pancasila itu, yaitu sosialisme yang disesuaikan  dengan kondisi-kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, watak-wataknya dengan psikologi dan kebudayan Rakyat Indonesia.”

c.       Pembentukan Kepribadian Nasional
Kepribadian nasional merupakan istilah yang banyak diperselisihkan (”national identity is often disputed”) bahkan  Abdalla (2007) dari Jaringan Islam Liberal menganggapnya sebagai isu berbahaya, contradictio in terminis  bagi agenda demokrasi dan reformasi . Di sisi lain banyak yang mengeluhkan ”kepribadian nasional mulai luntur”. Rex, John (2007) peneliti pada Center for Research in Ethnic Relations, University of Warwick, mengakui bahwa ”there is a crisis of national identity in the advanced welfare states of Western Europe following post war immigration”. Di sisi lain NPR (2007) dalam releasenya ”Exploring America’s National Identity” mengatakan bahwa ”nearly two thirds of Americans say our culture and values change as new people” yang mengindikasikan terbentuknya kepribadian nasional di AS.  Modood, Tariq (2007) bahkan menyatakan merusak kepribadian nasional dapat mengancam multikulturalisme.
  Di Indonesia istilah kepribadian nasional dikemukakan oleh Bung Karno ketika mengemukakan mengenai manifesto politiknya yang disingkat USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialime Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin yang semua itu dinamakan : Kepribadian Nasional). Mukti Ali (1971) mengaitkan  dengan etika agama dalam pembentukan kepribadian nasional dan pemberantasan kemaksiatan.
Penulis berpandangan bahwa Kepribadian Nasional adalah karakteristik yang dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya.
Pembinaan kepribadian yang bertumpu pada penanaman jiwa kebangsaan dapat dirujuk pada prinsip Panca Dharma dari Ki Hajar Dewantara (1957), yakni kemanusiaan, kodrat hidup, kebangsaan, kebudayaan, dan kemerdekaan/kebebasan (Bahrun, 1994:138).
Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional  tentu sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi. Salah satu sarana untuk melakukan pembiasaan adalah dalam proses interaksi manusia.

C.    SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.      Simpulan
a.       Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah, organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).
b.      Kegamangan menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan imperialisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal tetapi juga kelompok nasionalis, yang memiliki keprihatinan yang sama.
c.       Imperialisme dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
d.      Indonesia menolak dikotomi Blok Timur dan Blok Barat dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di Asia Afrika seraya mengajukan konsepsi  Pancasila yang berdimensi moral, ideologis dan sejarah.
e.       Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita dan tindakan. Pada tataran pemahaman ia berisi faham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, pada tataran cita-cita ia mendorong berbuat secara efektif untuk kepentingan bangsa dan dunia serta pada tataran tindakan ia mengarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.


2.      Rekomendasi
a.       Untuk mengatasi persoalan globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional  diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi.   Bangsa harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi. Pemberdayaan  perlu dilakukan untuk  menjadikan warga Negara  sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang menimbulkan ketidakpastian (chaos).
b.      Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil harus bersuara karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dan berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan  harus memberikan sumbangannya.
c.       Indonesia harus  berusaha sungguh-sungguh membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh.
d.      Nilai-nilai filosofis untuk membangun karakter bangsa dan kepribadian nasional  sangatlah diperlukan dalam era globalisasi. Untuk itu maka nilai-nilai  Pancasila tersebut harus dikenal, diterima, diinternalisasi, diaplikasi dan diproyeksikan dalam hubungan antar manusia. Proses tersebut adalah proses pembiasaan atau habituasi.
e.       Pemahaman mengenai posisi Pancasila dari berbagai prespektif diperlukan agar penanaman kebangsaan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan dalam rangka menghadapi globalisasi.






DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. (2001). Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams. Jakarta: Gunung Agung.
Ali, Abdullah Yusuf. (1994). The Holy Qur-an Text and Translation. Kuala Lumpur : Islamic Book Trust.
Ali, Mukti. (1971). Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam. Yogyakarta: Yayasan Nida.
Allport, Gordon W. (1937). Personality: A Psychological Interpretation. New York : Holt.
Badiklatpus. (2002). Materi Pengajaran Guru Kader. Jakarta: Badiklatpus.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bayer, Patricia, et al (ed.). (2004 ). The Encyclopedia Americana International Edition. Danbury, Connecticut: Grolier.
Bachrun. (1994). Pola Pendidikan Moral di Sekolah. Tesis Master pada PPs IKIP Bandung:  tidak diterbitkan .
Budiardjo, Miriam. (1981). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Chazan, Barry. (1985) Contemporary Approaches to Moral Education. New York: Teachers College Press.
Departemen Penerangan RI. (1964). Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta: Departemen Penerangan.
Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. (2007). Buletin Litbang Hankam. [Online]. Tersedia :buletinlitbang,dephan.go.id/index.asp. [23 Januari 2008]
Dewantara, Ki Hajar. (1967). Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa
Djahiri, A.Kosasih. (1990). Menuju Guru Inkuiri Yang Reaktif. Bandung : Laboratorium Pengajaran PMP UPI.
Durkheim, Emile. (1956). Education and Sociology. -- : The Free Press.
Driyarkara, N. (1959). Pancasila dan Religi dalam Seminar Pancasila ke-1. Jakarta: Panitia Seminar Pancasila.
Eatwell, Roger dan Wright, Anthony (ed.). (2004). Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Fukuyama, Frances. (......). The Great Disruption.
Hatta, Mohammad. (1981). Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hawwa, Sa’id. (2004). Mensucikan Jiwa  Intisari Ihya’ Ullumuddin al Ghazali Konsep Tajkiyatun Nafs. Jakarta : Rabbani Press..
Huntington, Samuel P. (1999). Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta : Qalam.
Ishak, Joesoef (ed.). (2001). 100 Tahun Bung Karno. Jakarta : Hasta Mitra.
Kagan, Jerome. (1971). Personality Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Kartono, Kartini. (1980). Teori Kepribadian. Bandung : Alumni.
Kohlberg, L. (1984). Essay in Moral Development, The Psychology of Moral Development Vol. 2. New York: Harper & Crow.
Kohlberg, Laurence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta : Kanisius.
Mas’oed, Mohtar. (2004). Etnisitas & Politik dalam Seminar  di Sinology Center, UMY
Moodod, Tariq. (1990). Islam and Racism : Does Islam Have Something to Teach  the West. [Online]. atheisme.about.com/b/a/266255.html.  (23 Januari 2008)
NPR. (2007). Exploring America’s National Identity. [Online]. Tersedia :  www. npr.org/templates/story.php. [23 Januari 2008].
Pranarka, A.W.M. (1987). Epistemologi Dasar. Jakarta : Yayasan Proklamasi dan CSIS.
Quthb, Muhammad. (1998). Sistem Pendidikan Islam. Bandung : PT Alma' arif.
Rendra. (2000). Rakyat Belum Merdeka Sebuah Paradigma Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus
Rex, John. (1996). Contemporary Nationalism, Its Causes and Caonsequences for Europe. [Online]. Tersedia : www.socresonline.org.uk/1/4/rex.html   [23 Januari 2008]
Rogers, Dorothy. (1982). Life-Span Human Development. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Rosyada, Dede. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media dan ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Soekarno. (2000). Membangun Dunia  Baru ( To Build The World Anew).Pidato di Muka Sidang Umum PBB ke XV. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soekarno. (2001). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta : PT Toko Buku Gunung Agung Tbk.
Sujanto, Agus et. Al. (ed). (1984). Psikologi Kepribadian. Jakarta : Aksara Baru.
Suprijanto, H. (2007). Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
Sutoro, R. (….). Hand out Seminar Pancasila 1957 .
Stiglitz, Joseph. (2002). Globalization and Its Discontents.    London: Penguin Books.
Tabb, William K. (2003). Tabir Politik Globalisasi. Yogyakarta : Lafadl.
Tilaar, H.A.R. (1997). Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo.
---. (2007). Profil Ulil Abshar-Abdalla. [Online]. Tersedia : Freedominstute.org/id/index.php. [23 Januari 2008].



Surat Kabar

Kompas (4 Agustus 2005; 5 Agustus 2005; 6 Agustus 2005; 21 September 2005;  25 September 2005; 1 Maret 2007; 12 April 2007)
Pikiran Rakyat ( 8 Januari 2003; 28 Februari 2005; 12 Juli 2005; 12 November 2006; 16 November 2006; 27 Januari 2007)
Sunday, The Jakarta Post, 27 January 2008





                                                                                RIWAYAT HIDUP


Dr H. Harjoko Sangganagara, M.Pd., lahir di Ngawi pada tanggal 17 Oktober 1959,  Sarjana dari  Fakultas Ilmu  Sosial  dan Ilmu Politik Universitas Pasundan, memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pendidikan Umum dan gelar Doktor pada Program Administrasi Pendidikan  pada   Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Saat ini  menjabat sebagai Ketua  STIA Bagasasi Bandung.
Pengalaman dalam pemerintahan dimulai dengan menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung pada periode 1992-1997 dan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada periode 1999-2004 dan 2004-2009 .
Pengalaman internasional antara lain sebagai chairman World Peace Exhibition tahun 1985 di Bandung, peserta kongres pendidikan dan profesi pekerjaan social Asia Pasifik di Jakarta (APASWE) tahun 1987, visitor pada Dubai Index tahun 2005 dan China Expo tahun 2006 serta kongres HIV/AIDS Asia Pasifik di Bali tahun 2009.
Kumpulan tulisannya diterbitkan pada tahun 1987 dengan judul “Kebersamaan-Dialog-Demokrasi”. Saat ini menulis berbagai artikel mengenai masalah pembangunan di beberapa surat kabar lokal maupun nasional (Kompas, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Kontan, Daily Investor, Koran Jakarta, Suara Pembaruan dan Jurnal Indonesia).
Saat ini menjadi Pengurus Provinsi Jawa Barat dan Dewan Pakar  PA GMNI dan guru kader PDI Perjuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar