Jumat, 01 Juli 2022

Menjadi Inspektur Upacara


Sejak tahun 1992 hingga 2009 saya nyaris selalu mengikuti upacara memperingati HUT Kemerdekaan RI secara resmi dengan baju PSL (Pakaian Sipil Lengkap : berjas, berdasi dan berkopiah) di Lapangan Upakarti Soreang -bersama Bupati Bandung- atau di Lapangan Gasibu di depan Gedung Sate, Kantor Gubernur Jawa Barat di Jl. Diponegoro, Bandung -bersama Gubernur- setiap tanggal 17 Agustus, pukul 10.00 WIB. Kadangkala juga dilengkapi dengan mengikuti Upacara Penurunan Bendera (Aubade) pada pukul 17.00. Malamnya, prosesi dimulai dengan menghadiri peresmian Paskibraka baik di Kantor Bupati Bandung maupun Kantor Gubernur, kemudian upacara menghormati para pahlawan di TMP Cikutra pada pukul 00.00. Sejak tahun 2010-2018, ada perubahan, saya mengikuti jalannya upacara langsung dari Istana Negara, melalui televisi. Nah, pada HUT ke-74 Kemerdekaan RI kali ini saya harus memimpin sendiri upacara bendera di kantor DPC PDI Perjuangan, di Jl. Jaksa Naranata No. 10, Baleendah, Bandung selatan.

Pada tanggal 17 Agustus 2019 pukul 05.00 saya meluncur ke Rancaekek mengambil pesanan awug dan kawan-kawannya (kudapan khas Bandung) yang disajikan di atas nyiru (tampah), lalu memasuki jalan tol Padaleunyi langsung ke pintu keluar Buahbatu, kemudian melewati Bojongsoang langsung menuju Baleendah. Tiba di DPC PDI Perjuangan kawan-kawan sudah menunggu. Sebagian (para anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan) membawa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Semuanya berseragam kebesaran partai, bawahan hitam dan atasan merah. Para laki-laki mengenakan kopiah dengan silloutte Bung Karno.

Setelah gladi bersih, saya mengambil tempat beberapa meter dari tiang bendera. Sdri Gita memandu jalannya upacara. Bung Dwi mengambil posisi dan menyiapkan pasukan lalu melapor bahwa peserta sudah siap mengikuti upacara.Petugas maju ke depan tiang bendera. Bendera mulai dinaikkan. Kami semua menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya kemudian memimpin hening cipta untuk para pahlawan wabil khusus bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Silaen membacakan teks Pancasila. Bung Andri membacakan Mukadimah UUD 1945. Ajudan, Bung Rudita, menyampaikan naskah pidato. Pasukan (DPC; sayap partai : BMI, Bamusi, Repdem; Satgas Cakrabuwana; Pemuda Demokrat) diistirahatkan. Sayapun membacakan amanat saya. Selama pidato beberapa menit itu saya sering tercekat dan sulit berkata-kata karena perasaan terharu-biru oleh rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada Bangsa Indonesia dan lain sebagainya bercampur jadi satu. Setelah itu Bung Nanang Parhan membacakan doa. Saya membalas penghormatan peserta upacara. Komandan upacara menyampaikan bahwa upacara telah selesai. Sayapun meninggalkan tempat upacara.

 

Setelah upacara kami menikmati nasi tumpeng bersama-sama. Dirgahayu Negara Republik Indonesia. Kami mencintaimu sepenuh hati. Merdeka !!!

Berita pada media online :

BALEENDAH, Balebandung.com – Pada tanggal 17 Agustus 1945, 74 tahun yang lalu, upacara Proklamasi Kemerdekaan RI berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol, Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna.

Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi :

“Saudara-saudara sekalian ! Saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia .
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta , 17 Agustus 1945.
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta.

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Itulah pidato Bung Karno sekaligus proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang.

Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa dirigen, lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan bersama-sama.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,

Bung Karno berkata bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas. Di seberang jembatan itu jalan menjadi dua; satu ke dunia keselamatan kaum Marhaen ; satu ke dunia kesengsaraan kaum Marhaen ; satu ke dunia sama rata sama rasa; satu ke dunia sama ratap sama tangis. Karena itu kemenangan atas jembatan tersebut jangan dikusiri oleh orang selain Marhaen.

Saudara- saudara para pimpinan, kader dan anggota PDI Perjuangan ,

Dalam Rapat Pancasila, Bandung,16 Maret 1958, Bung Karno berkata

“…cita-cita kita, juga bukan suatu negara sembarangan, saudara-saudara. Tetapi suatu negara yang besar, yang kuat, sentosa, modern, up to date, dan satu negara yang bisa mendatangkan kebahagiaan kepada rakyat. Satu negara yang bisa di dalamnya diisikan satu masyarakat yang adil dan makmur. Bukan satu negara kapitalis. Bukan satu negara kemis­kinan. Bukan satu negara yang rakyatnya tidak bisa makan dengan cukup. Bukan satu negara yang rakyatnya tidak hidup dengan bahagia. Tetapi satu negara besar dan masyarakat adil dan makmur di dalamnya.

Ini kami pikirkan mengenai wilayah itu tadi. Dan kami, pemimpin-pemimpin, sampai kepada satu kesimpulan, bahwa ji­kalau kita ingin mempunyai satu negara yang di dalamnya satu masyarakat yang adil dan makmur, haruslah negara itu berwilayah seluruh Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.

Apa artinya saudara-saudara? Tidak bisa kita mengadakan satu negara yang bisa memberi masyarakat adil dan makmur jikalau wilayahnya tidak dari Sabang sampai ke Merauke….”

Itu artinya kita harus mempertahankan keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala daya upaya. Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita semua.***

Disarikan dari Amanat Pembina Upacara HUT Ke-74 RI
Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung, Harjoko Sangganagara,
di Sekretariat DPC PDI Perjuangan Kab Bandung, Baleendah, Sabtu, 17 Agustus 2019.

Menjaga Keutuhan dan Kesatuan NKRI sebagai Cita-cita Proklamasi - http://www.balebandung.com/menjaga-keutuhan-dan-kesatuan.../

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar