Sabtu, 07 Mei 2011

Duta Batik




Batik



















SEKELOMPOK mahasiswa Bandung tanpa menyadari telah mempromosikan batik ke pelbagai negara jauh sebelum orang-orang mengalami euphoria dengan batik, sebelum ramai berita mengenai masuknya batik Cina, sebelum batik dijadikan warisan budaya tak benda oleh Unesco. Tanpa disadari mereka itu telah menjadi duta batik di kedutaan-kedutaan besar negara asing di Jakarta.

Ketika itu medio tahun 1980-an. Beberapa mahasiswa FISIP Unpas berangkat ke Jakarta dengan maksud mendatangi kedutaan-kedutaan besar negara asing dan perwakilan PBB agar mereka berpartisipasi dalam Pameran Perdamaian Dunia yang mereka selenggarakan. Mereka itu : Bono, Wahyu, Rizal, Bob, Abu, Tedi dan aku.

Base camp kami adalah sebuah rumah di Pamulang milik kakaknya Bono. Di situlah kami menyiapkan segala sesuatunya. Modal kami dari Bandung hanya mesin ketik manual, kertas dan amplop surat berlogo Senat Mahasiswa FISIP Unpas. Kami akan menjumpai para diplomat dari pelbagai kedutaan. Maka kamipun merancang segala sesuatu sebagai strategi, termasuk dress code. Kami memutuskan menggunakan baju batik, yang memang sudah kami siapkan dari Bandung.

Keesokan harinya dengan berbusana batik, kamipun berangkat meninggalkan Pamulang dengan menggunakan mobil impala tua pinjaman. Tujuan pertama kami ke kantor Menpora. Berhasil. Baru sampai di Jalan Thamrin mobil pun mogok. Ramai-ramai kami dorong masuk ke halaman Astra, dealer mobil Jepang. Bono mengutak-atik mesin, jreng… mobilpun bisa berjalan kembali. Berturut-turut kami ke UNIC : United Nation Information Centre; Kedubes-kedubes : AS, US, Jepang, Perancis, Jerman dan bertemu Dirjen ….Deparlu. Everything is running well.



Perserikatan Bangsa-Bangsa





The network of United Nations information centres (UNICs), services (UNIS) and offices (UNOs) links the Headquarters with people around the world. Located in over 60 countries, these field offices of the Department of Public Information help local communities obtain up-to-date information on the Organization and its activities. Children in remote villages of Myanmar, for example, were able to learn about the United Nations because UNIC Yangon distributed United Nations educational kits for use in community schools. Journalists from Mexico City and the Caribbean were able to add their voice to the call of the international community to do more to help solve the world drug problem because UNIC Mexico City linked them by teleconference to the head of the United Nations International Drug Control Programme based in Vienna. In such ways, UNICs help people everywhere to be heard and to understand better what the United Nations is doing to make a difference in their lives.


Setiap kedutaan memiliki kekhasan masing-masing. Kedutaan Jepang kental dengan nuansa teknologinya. Begitu kami culang-cileung di pintu gerbang tinggi dari besi yang tak ada penjaganya, pintupun bergeser dan membuka secara otomotis. Kamipun masuk. Jepang memberikan komitmennya. Sesudah itu kami ke kedubes AS di Jalan Merdeka Selatan. ketika itu belum diberi pagar kawat berduri seperti sekarang, tapi arogansinya memang terasa. Seorang marinir tinggi besar berkulit hitam dengan tatapan dingin menegur kami. Kami dan surat-surat pun harus dideteksi dengan detector logam. Setelah clear, kamipun diterima diajak ke USIS (United States Information Service). Segala macam bahan pameran disiapkan. Dari sana kami ke Kedutaan Besar Uni Sovyet tapi disarankan supaya kami ke Pusat Kebudayaan US di daerah Menteng. Orang-orang di sana sederhana, ramah, melayani secara personal dan uniknya merekapun memakai batik seperti kami. Informasi mengenai perkembangan Islam di Uni Sovyet banyak kami dapatkan dan cukup mengejutkan kami. Yang membuat kami terperangah, mereka itu fasih berbahasa Indonesia dan paham betul kondisi kota Bandung. (sayang Uni Sovyet harus bubar jalan). Kedutaan Perancis juga menerima kami dengan ramah serta memberi pelbagai buku mengenai kebudayaan dan seni dengan kualitas yang terbaik yang pernah kami lihat. Maka bagasi mobil kamipun penuh dengan pelbagai bahan untuk pameran.

Dengan perasaan lega kamipun menuju Tebet tepatnya ke Jalan Minangkabau, ke rumah Rizal untuk sholat dan makan siang gratis. Sebagai orang Padang keluarga Rizal punya menu andalan special : rendang. Kamipun dikenalkan dengan saudara-saudaranya. Hmm cantik-cantik…. Bapaknya Datuk bla-bla-bla adalah kepala suku yang dihormati oleh komunitasnya. Ia pun seorang mubaligh meski sehari-hari sibuk berbisnis tekstil di Pasar Rumput.

Setelah segala sesuatu urusan di Jakarta selesai, para duta batik kembali ke Bandung dengan menggunakan bus. Baju batik pun dilipat dalam tas. Dua puluh tahun kemudian batik diakui dunia sebagai warisan budaya.

Indonesian batik (From Wikipedia, the free encyclopedia)

Batik (Javanese pronunciation: [ˈbateʔ]; Indonesian: [ˈbatɪʔ]; English: /ˈbætɪk/ or /bəˈtiːk/) is a cloth that traditionally uses a manual wax-resist dyeing technique. Batik or fabrics with the traditional batik patterns are found in Indonesia, Malaysia, Japan, China, Azerbaijan, India, Sri Lanka, Egypt, Nigeria, Senegal, andSingapore.
Javanese traditional batik, especially from Yogyakarta and Surakarta, has notable meanings rooted to the Javanese conceptualization of the universe. Traditional colours include indigo, dark brown, and white, which represent the three major Hindu Gods (Brahmā, Visnu, and Śiva). This is related to the fact that natural dyes are most commonly available in indigo and brown. Certain patterns can only be worn by nobility; traditionally, wider stripes or wavy lines of greater width indicated higher rank. Consequently, during Javanese ceremonies, one could determine the royal lineage of a person by the cloth he or she was wearing.

Other regions of Indonesia have their own unique patterns that normally take themes from everyday lives, incorporating patterns such as flowers, nature, animals, folklore or people. The colours of pesisir batik, from the coastal cities of northern Java, is especially vibrant, and it absorbs influence from the Javanese, Arab, Chinese and Dutch cultures. In the colonial times pesisir batik was a favourite of the Peranakan Chinese, Dutch andEurasians.[citation needed]
UNESCO designated Indonesian batik as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on October 2, 2009. As part of the acknowledgment, UNESCO insisted that Indonesia preserve their heritage.[1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar