Senin, 24 Oktober 2011

Ground Zero

hari ketiga atau keempat di Bali kami berkeliling ke luar Kuta dan Sanur. Untuk itu kami menyewa mobil yang biasa mangkal di depan museum Bali. Harga sewa per hari Rp 200.000,00 bersih, sudah termasuk BBM dan panduan perjalanan yang dilakukan oleh pengemudi. Pengemudinya asli orang Bali sehingga paham benar kondisi dan situasi setempat. Kami ikut saja rute yang ditawarkannya : Sukawati, Tampaksiring, Gua Gajah, Sangeh, Taman Ayun, Uluwati lalu kembali ke Kuta.

Sukawati adalah nama pasar suvenir yang menyediakan segala macam pernak-pernik cinderamata khas Bali : lukisan, ukir-ukiran, pakaian, bedcover dan perlengkapan interior lainnya, layang-layang, perhiasan, serta makanan dengan harga yang terjangkau semua kalangan. Murah meriah.

Tampak siring terkenal dengan keberadaan Istana Presiden dan pura Tampaksiring. Pura Tampaksiring ramai dikunjungi orang yang melakukan ritual mandi di mata airnya. Mata air di Tampaksiring sangat deras mengalirkan air jernih dari pegunungan. Dari mata air itu air dialirkan ke kolam pemandian umum di mana orang-orang melakukan upacara mandi dari satu pancuran ke pancuran lainnya setelah bersembahyang dan menyajikan bebungaan. Para wisatawan pun biasanya ikut memasuki kolam setidaknya untuk membasuhmuka atau berwudhu karena tidak mampu menahan godaan kejernihan air yang melimpah dan menyegarkan. Di atas pura ada dua buah bukit kecil di mana Istana Kepresidenan berada. Istana di dua bukit itu dihubungkan oleh sebuah jembatan layang. Dari Istana itu presiden Sukarno dan mungkin juga presiden berikutnya bisa melihat pemandangan indah di bawahnyanya, Pura Tampaksiring dengan mata air serta kolamnya serta pemandian umum di tepi sungai.

Dari Tampaksiring kami singgah di Gua Gajah, sebuah peninggalan arkheologis pra Hindu yang meninggalkan jejak sejarah manusia Bali sebelum kedatangan Raja Erlangga dan orang-orang dari pulau Jawa.

Melalui jalan-jalan desa yang indah permai kami meninggalkan Gua Gajah menuju Sangeh, hutan yang menjadi habitat kera. Kera di sini sehat-sehat dan besar serta bersahabat dengan pengunjung bahkan kadang dia bertengger di bahu kita seperti kera yang kita lihat pada film “Si Buta dari Gua Hantu”. Kami membawa beberapa bungkus kacang tanah yang berkulit dan memberikanya pada kawanan kera tersebut. Jika ada kera yang nakal maka para pecalang yang berpakaian adat akan mengusir mereka. Para pecalang adalah para penduduk desa setempat. Pada orang-orang yang takut kera, para pecalang menyarankan agar kita membawa tongkat. Kera-kera memang takut pada tongkat. Mungkin mereka khawatir kita akan memukul mereka dengan tongkat itu.
Kami kemudian pergi ke Taman Ayun yaitu kompleks pura yang dikelilingi air sehingga pura nampak mengapung di atas danau, itulah sebabnya dinamakan Taman Ayun. Pura ini indah sekali. Halamannya luas. Balai bengong (menara tempat bersantai) nya nyaman untuk digunakan bersantai. Di bagian depan terdapat semacam pendopo yang luas tempat mengadu ayam pada saat upacara. Komplek pura ini adalah milik keluarga Kerajaan Badung, salah satu kerajaan dari beberapa kerajaan lain yang ada di Bali. Tercatat setidaknya ada lima kerajaan di Bali. Antara lain Badung, Singaraja, Pamecutan, Karangasem.

Destinasi terakhir kami hari itu adalah Tanah Lot. Jaraknya cukup jauh dari Taman Ayun. Perjalanan melalui desa-desa adat dan banjar yang masih kental dengan nuansa Balinya. Rumah-rumah di Bali memiliki arsitektur khas yaitu merupakan sebuah kompleks bangunan yang dipagari dinding tembok dengan gapura di depannya. Di bagian depan ada pura kecil tempat sembahyang keluarga. Mereka berdoa di sana setidaknya tiga kali dalam sehari : pagi siang dan sore. Setiap berdoa mereka meletakkan sesaji yang terdiri dari bermacam-macam bunga yang diwadahi tempat khusus terbuat dari daun kelapa atau daun pisang. Seperti diketahui sesaji adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bali sehingga bisa ditemukan di setiap tempat : rumah, kendaraan, persimpangan jalan, pasar, kantor, pura, sawah bahkan di pohon-pohon besar. Sesaji dipersembahkan buat para Dewa yang memberi kehidupan serta pada para roh jahat agar tidak mengganggu hidup mereka.

Dalam perjalanan kami sering sekali berjumpa dengan iring-iringan prosesi upacara keagamaan yang hendak menuju ke atau kembali dari pura. Prosesi itu indah dipandang mata seperti sebuah karnaval layaknya. Mereka menggunakan busana khas. Pria menggunakan sarung dan baju putih serta ikat kepala. Wanita menggunakan kain dan kebaya yang diikat selendang pada pinggangnya sambil mengusung sesaji buah-buahan yang disusun indah pada wadah seperti baskom di atas kepala mereka. Di telinga mereka tersungging sekuntum bunga kamboja putih. Kadangkala perjalanan mereka diiringi musik dan barong.

Menjelang senja kami tiba di Tanah Lot yang terkenal dengan Puri Tanah Lot. Puri Tanah Lot terletak di sebuah pulau karang kecil di pantai. Jika laut pasang maka pulau itu terpisah oleh laut dari daratan. Tapi pada siang hari, air laut surut dan kita bisa ke puri tersebut menyebrangi dasar laut. Pemandangan di sini memang indah. Orang-orang duduk di tepi pantai menunggu matahari tenggelam. Ada yang bermain air laut, karang atau pasir. Ada pula yang duduk di kafe-kafe di bibir tebing, sehingga mereka bisa leluasa melihat pemandangan ke arah puri maupun matahari tenggelam. Minum teh atau kopi, atau air kelapa langsung dari buahnya, di senja hari di Tanah Lot, menyaksikan matahari merah tomat tenggelam ke dalam laut sungguh merupakan peristiwa yang tidak dapat terlupakan. Subhanallah.

Saat matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat, orang-orang mulai beranjak pergi dari tepi pantai . Kebanyakan orang segera bergegas pergi sambil menyempatkan diri membeli cinderamata yang dijual di sepanjang jalan ke luar. Ada pula yang merasa malas pulang sambil menyesali betapa cepat momen itu berlalu. Kami masih terkesima dengan apa yang kami lihat. Tapi kegelapan akan segera menyelimuti Tanah Lot, maka kamipun kembali ke Kuta.

Malam hari kami ke luar hotel sambil berjalan kaki menyusuri jalan-jalan. Melihat Ground Zero, yaitu monumen yang dibangun untuk memperingati tewasnya ratusan orang dalam dan luar negeri karena diledakkannya dua kelab malam oleh para pelaku jihad yang dicap sebagai teroris. Peristiwa itu dikenal dengan peristiwa Bom Bali, yang melukai rasa kemanusiaan, kebangsaan, keadilan bahkan religiusitas masyarakat Bali atau bangsa Indonesia umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar