Kamis, 20 Desember 2018

Antara Merapi dan Merbabu

Dimas Sidiq anak keduaku sudah mulai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Kampus I Jalan Imam Bardjo, beberapa meter dari kantor Gubernur Jawa Tengah di Jalan Pemuda, dekat dari Simpang Lima. Kurasa itu sekitar tahun 2008. Istriku berencana datang menengok Sidiq ke Semarang dengan naik kereta api Harina dari Stasiun Hall Bandung. Usai mengikuti kegiatan di Cirebon aku dan kang Permadi bertolak ke Semarang dengan memgendarai mobil melewati pantai utara. Setelah melewati Brebes Tegal Pemalang Pekalongan Batang dan Kendal sampailah kami di Semarang malam hari dan menginap di Dibya Puri, sebuah hotel antik, atau hotel yang lain, aku sudah lupa.
Keesokan harinya, seusai shalat subuh kujemput istriku di Stasiun Semarang Tawang dan kubawa ke hotel. Sidiq datang dari tempat kostnya di Jalan Singosari. Usai bersarapan kami melihat kampus anakku di Imam Bardjo dan Kampus 2 di Tembalang. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Ungaran, Salatiga dan Boyolali. Aku ingin mengajak istri dan anakku berwisata ke Selo Pass.
Kampus Tembalang terletak beberapa kilometer dari pusat kota. Dari jalan raya Semarang-Solo, setelah melewati tanjakan Gombel, masih masuk ke arah kiri beberapa kilometer melewati pemukiman penduduk. Di belokan itu terdapat patung Pangeran Diponegoro. Di lahan yang luasnya mendekati 100 ha inilah kampus 2 Universitas Diponegoro berdiri. Rektorat sudah pindah ke sini demikian juga hampir semua fakultas dan program studinya. Lingkungannya mulai dipenuhi oleh bisnis dan pemukiman. Namun demikian kawasan kampus mulai diteduhi oleh tanaman keras yang menghijau.
Setelah berkeliling lingkungan kampus kami melanjutkan perjalanan melewati Bawen yang merupakan pertigaan jalan antara Semarang Solo Magelang, kemudian melewati telaga Rawapening dan kemudian Ungaran. Ungaran adalah ibukota Kabupaten Semarang. Dari sini kami terus ke kota Salatiga yang terletak di dataran tinggi. Kotanya sejuk dan ramai. Banyak orang datang ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Dari Salatiga kami melanjutkan perjalanan ke Boyolali. Boyolali adalah kota kabupaten. Boyolali terkenal akan produk susu perahnya. Orang Jawa sering menjadikan nama kota Boyolali dengan Bajul Kesupen, artinya sama yaitu buaya lupa.
Dari Boyolali kami berbelok ke kanan. Pelan pelan kami menempuh jalan yang menanjak dan menyempit dan meninggalkan kota. Kami memasuki desa-desa, kebun-kebun dan sawah-sawah yang asri. Udara semakin sejuk seiring makin meningginya jalan yang kami tempuh. Jalan memang terus mendaki dan berliuk-liku melewati ratusan kelokan di belakang. Setelah berpuluh kilometer sampailah kami di daerah Selo. Selo bisa berasal dari kata batu atau sela-sela karena itu diaebut Selo Pass. Ini adalah titik tertinggi lintasan yang membelah dua gunung kembar. Gunung Merbabu di kanan dan Gunung Merapi di kiri. Pemandandan sepanjang Selo Pass sungguh indah, sejuk dan damai. Apalagi hujan turun ketika itu membuat pemandandangan semakin sempurna. Langit biru jernih. Kabut menyaput di Merbabu sementara asap nampak mengepul di Merapi. Kami berhenti di shelter, menghirup udara segar dan mengambil gambar.
Gunung Merapi sebuah gunung yang aktif. Sisa-sisa letusan dan semburan lahar serta aliran lava masih terasa ketika itu. Beberapa desa nampak porak poranda. Rumah rumah hancur dan ditinggalkan penghuninya. Oleh pemerintah tempat itu tidak boleh lagi dijadikan pemukiman dan dibiarkan apa adanya. Tempat itu dijadikan museum lapangan di mana kita bisa melihat kerusakan sebagai dampak dari erupsi Merapi.
Setelah mencapai titik tertinggi kini hanya ada jalan menurun ke arah Yogyakarta. Akhirnya kami sampai di suatu tempat bernama Blabak. Di tempat itu didirikan sebuah museum Merapi. Kami pun masuk dan menonton pertunjukan layar lebar mengebai erupsi Merapi. Dengan teknologi digital yang canggih dilengapi tata suara dan cahaya yang bagus tersajilah sebuah film dokumenter mengenai Merapi dan aktivitasnya. Peristiwa letusan kawah Merapi menjadi seolah berada di depan kita. Betapa dahsyat dan mengerikan. Api yang membara, lelehan lumpur yang menyala, semburan lahar, suara gemuruh letusan, awan panas, dan bencana dahsyat yang ditimbulkan berupa rusaknya hutan sawah ladang dan pemukiaman serta kematian baik manusia ternak maupun pepohonan. Sungguh peristiwa alam yang sangat dahsyat dan mengerikan. Itu semua menjadi obyek penelitian tapi juga memunculkan imajinasi mengenai kedahsyatan neraka.
Usai menyaksikan pemutaran film mengenai Gunung Merapi dan aktivitasnya kami beristirahat di sebuah rumah makan di dekat museum. Letaknya seakan menggantung di lereng bukit, ditopang oleh pilar-pilar kayu dan bambu. Kami berempat duduk lesehan beralaskan tikar dan bantal menikmati secangkir kopi dan makanan yang disajikan. Suatu kesempatan yang amat langka tentunya bisa menikmati pemandangan alam pegunungan di suatu senja yang indah sambil berbincang dan menikmati kopi panas.
Saat meninggalkan museum tadinya kupikir akan melanjutkan perjalanan ke Magelang lalu ke Semarang. Tapi ternyata ada jalan pintas ke Salatiga, maka kamipun melalui jalan itu. Ternyata ini pilihan yang tepat karena jalan ini melalui kawasan wisata yang ramai seperti di Lembang atau Batu. Perjalanan terasa semakin mengasyikkan. Pemandangan di sini sangat menarik hati. Di kiri kanan ada kebun kebun bunga yang indah di antara bangunan vila hotel bungalow dan restoran yang tertata indah. Sayang perjalanan sudah memasuki malam sehingga kami langsung bergegas dan sampailah kami di kota Salatiga. Malam itu juga kami kembali ke Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar