Jumat, 28 Desember 2018

Shalat Idul Adha Di Masjid Keraton Surakarta

Karena suatu alasan yang mendesak aku harus ke Ngawi secepatnya. Aku telah lupa alasannya. Singkat kata aku diantar kang Permadi berangkat ke Ngawi. Kami tiba di Ngawi siang hari dan selesai urusan pada sore harinya kami kembali pulang. Usai maghrib kami singgah di rumah bupuh Karsohutomo di Gendingan. Malam itu suara takbir mulai terdengar karena keesokan harinya adalah hari Idul Adha atau Lebaran Haji. Rasanya akan sangat lelah jika harus langsung pulang ke Bandung, jadi aku berpikir untuk menginap di Solo Yogya atau Semarang. Karena esoknya hari raya, aku membeli sebuah sarung di toko depan rumah bupuh untuk persiapan shalat Id. Seusai isya kami meninggalkan rumah bupuh menuju Solo melaui jalan raya nasional Solo-Surabaya. Malam itu lalu lintas dari Gendingan melalui hutan jati dan mahoni terasa sunyi dan kudus. Malam yang berkesan bagi kami berdua. Memasuki kota kecamatan Mantingan yang merupakan wilayah provinsi Jawa Timur paling barat kami mulai melihat keramaian di trotoar jalan yang gelap. Ada deretan nyala api menerangi kegelapan ditingkahi suara takbir tahmid tasbih dan tahlil bersahut-sahutan. Rupanya ada pawai obor menyambut hari Idul Adha. Setelah dekat dengan rombongan kami bisa melihat ternyata keseluruhan peserta pawai adalah ratusan santriwati Pondok Pesantren Putri Darussalam atau yang lebih dikenal sebagai Pesantren Gontor Putri. Mereka berjalan kaki dengan tertib dan rapi di trotoar di sekitar pondok pesantren, nampaknya mereka berkeliling kota Mantingan yang tidak terlalu besar. Mobil yang kami kendarai melewati mereka dan terus melaju ke arah Sragen meninggalkan rombongan pawai obor di kejauhan yang akhirnya menghilang dalam kegelapan. Sungguh peristiwa yang mengesankan. Baru sekali itu aku alami. Tak lama kemudian kami sampai diperbatasan Jawa Timur yang diberi penanda gapura berbentuk candi Penataran. Menyebrangi sungai tibalah kami di Banaran yang masuk wilayah Sragen, Jawa Tengah. Gapura memasuki provinsi Jawa Tengah tidak kalah megahnya. Oh ya pondok pesantren Gontor awalnya ada di Ponorogo. Seiring kemajuan dan kemasyhuran ponpes Gontor kini siswanya berdatangan dari seluruh pelosok negri. Ponpes Gontor pun membuka cabang di Ngawi dan Kediri. Di Ngawi ponpes dibangum di Mantingan dan itu khusus untuk putri. Mantingan terletak diperbatasan antara Ngawi (Jawa Timur) dan Sragen (Jawa Tengah). Kami pun memasuki kota Banaran yang sudah masuk wilayah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ini tempat yang tidak boleh dilewatkan oleh penggemar sate dan soto. Sayang karena sudah malam kami hanya melintasi tempat ini menuju Sragen dilanjutkan ke Solo. Malam itu kami memutuskan menginap di hotel Dana di Jalan Slamet Riyadi di pusat kota Solo. Hotel tua dan antik ini adalah hotel favoritku sejak tahun 1995 jika menginap di Solo. Awalnya aku menginap di sini saat mendampingi klub sepakbola Persikab dari Kabupaten Bandung bertanding dengan PSIS Semarang di lapangan Sriwedari. Sejak itu aku sering menginap di sini. Karena hari itu adalah hari raya, pagi pagi benar aku dan kang Permadi pergi ke Masjid Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di alun alun dengan mengendarai becak. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari hotel. Jalan Slamet Riyadi yang biasanya padat terasa lengang. Saat tiba di masjid jamaah telah memenuhi masjid kerajaan yang megah itu. Entah berapa kali aku shalat di masjid ini tapi baru kali ini aku merasakan suasana istimewa, shalat Idul Adha. Khutbah Idul Adha yang disampaikan khatib sangat menyentuh di hati. Sungguh shalat Id yang tidak terlupakan. Usai melaksanakan shalat kami kembali ke hotel dengan naik becak yang tadi. Jalan dari masjid ke hotel lurus namun searah. Dengan becak menjadi lebih dekat karena jika menggunakan mobil atau motor harus melalui jalan yang lain. Tiba di hotel kami langsung menuju restoran, sarapan di restoran yang sudah ditata dalam suasana lebaran. Menu makanannya pun khusus makanan lebaran seperti ketupat, lontong, kari dan opor ayam serta sambal goreng kentang. Suasananya benar benar seperti di rumah sendiri. Arsitektur bangunan hotel yang menyerupai rumah bangsawan membuat suasana Idul Adha menjadi istimewa. Kami bersalam-salaman dengan tamu dan para pegawai hotel. Sesudah menikmati sarapan aku dan kang Permadi masih menyempatkan duduk di serambi yang menghadap ke taman belakang sambil ngopi dan menikmati suasana lebaran haji di kota Solo yang mungkin hanya sekali itu kami rasakan. Setelah puas menikmati suasana Idul Adha di kota Solo, kami pun check out sebelum tengah hari. Kami pun meninggalkan kota menuju Kartasura. Di Kartasura jalan terbagi dua menuju ke Semarang lewat Boyolali dan Salatiga atau ke Yogyakarta melalui Klaten. Kedua jalan tersebut bisa digunakan jika kita ingin kembali ke Bandung atau Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar