Senin, 31 Desember 2018

Berkuda Ke Candi Gedong Songo

Sampai tahun 2009 aku sering berkunjung ke Jawa Tengah dan Jawa Timur terutama ke Semarang dan sekitarnya. Biasanya itu kulakukan jika ada kegiatan ke wilayah Cirebon. Ketika sudah sampai di Losari yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur maka kadang begitu saja terbersit keinginan untuk bergerak ke arah timur terutama jika keesokan harinya adalah akhir pekan. Pada umumnya aku berkendara pada malam hari dan jika lelah aku beristirahat di kota kota yang aku lalui, bisa di sebuah masjid untuk melaksanakan shalat dan bisa juga di sebuah restoran atau pedagang kaki lima sambil menikmati makanan setempat yang khas atau membeli oleh-oleh. Kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan ke luar kota Semarang. Pagi atau siang itu kami (saya dan kang Permadi) meninggalkan kota Semarang ke arah Solo. Tiba di Bawen kami berbelok ke arah Magelang. Tidak berapa lama kamipun tiba di kota Ambarawa. Ambarawa kini menjadi sebuah kota yang berkembang. Baik karena posisi strategisnya maupun karena warisan budaya dan sejarahnya. Sebut saja Palagan Ambarawa atau kereta api wisata yang antik peninggalan zaman kolonial. Memasuki kota di sisi jalan kami membaca sebuah tulisan "Makam Dr Tjipto Mangunkusumo". Kami tertarik untuk menghampiri. Ada jalan masuk kecil, dan benar saja ada sebuah makam. Makam keluarga Dr Tjipto. Kami berziarah dan berdoa sambil mengenang perjuangan beliau dan mengingat sumbangsihnya bagi bangsa dan negara. Tidak lupa kami pun mengambil gambar. Dr Cipto adalah pelopor paham nasionalisme di Indonesia dan salah seorang mentor Bung Karno di samping Tjokroaminoto. Nama Dr Tjipto diabadikan pada nama jalan di berbagai kota dan nama rumah sakit di Jakarta. Saat shalat zuhur tiba kami singgah dan shalat di sebuah Masjid Muslim Pancasila. Setelah itu kami mampir ke sebuah toko kue dan roti yang sudah terkenal di kota Ambarawa. Ini milik seorang keturunan Tionghoa. Tokonya sudah ada sejak lama-mungkin sejak awal kemerdekaan- persis seperti toko roti Sidodadi di Bandung. Dari Ambarawa kami berbelok ke kanan menuju tujuan utama kami yaitu Candi Gedongsongo. Jalannya menanjak seperti jalan ke arah Lembang. Bedanya jalan ini lurus tidak seperti jalan ke Lembang yang berkelok-kelok. Di kiri kanan pohon-pohon lengkeng sedang berbuah dengan lebatnya. Oh rupanya dari sini asal buah lengkeng itu. Buah lengkeng mirip buah rambutan hanya ukurannya lebih kecil dan rasanya lebih manis. Tidak seperti buah rambutan yang berkulit tebal dan berambut, kulit buah lengkeng tipis seperti kulit telur. Melihat lebatnya buah lengkeng di halaman rumah penduduk sungguh menyenangkan hati. Setelah berkendara sejauh lebih dari 10 km sampailah kami ke pintu masuk Candi Gedongsongo. Candi Gedongsongo terletak di lereng gunung. Dari tempat parkir kita harus berjalan kaki mendaki sejauh beberapa kilometer. Pilihan lainnya adalah menunggang kuda. Kami memilih menunggang kuda. Hitung-hitung mencari pengalaman baru. Maka kami menyewa dua kuda yang didampingi jokinya. Kuda yang kami tunggangi adalah kuda lokal yang kecil sebanding dengan kami yang menungganginya. Seorang joki menuntun kami melewati jalan setapak yang merupakan jalan pintas ke candi. Kadangkala kami melalui bibir jurang atau sungai dan bahkan air panas di mana kami berhenti dan membasuh muka. Jalan ke candi berkelok kelok kadang mendaki kadang menurun. Hanya karena percaya bahwa kuda dan pemandu kami sudah sering melewati jalan yang kami lalui ini maka hati kami sedikit tenang. Selebihnya pasrah kepada Allah. Harapan sampai ke candi membuat kami bersemangat. Akhirnya setelah berkuda sekitar satu jam sampailah kami di komplek Candi Gedongsongo. Disebut komplek karena Gedongsongo adalah kumpulan candi yang menyebar di suatu hamparan yang tidak sepenuhnya rata. Ada tanah lapang ada pula tanah di ketinggian. Jarak satu candi dengan candi terjauh mungkin ada 1 km. Semua candi terlihat indah megah anggun di lereng gunung. Dari sini kita bisa melihat dataran yang lebih rendah di kejauhan. Sungguh pemilihan letak yang sangat cermat dari nenek moyang kita. Selain itu yang patut dipuji adalah keindahan arsitektural candi Hindunya itu sendiri. Satu persatu candi kami datangi dan kami kagumi. Batu batu itu tersusun rapi geometris dan diukir indah. Tentunya batu batu sungai itu diangkut dipotong diberi sambungan dan dirangkai satu sama lain menjadi struktur yang kokoh dan solid lalu dihias dengan ornamen ukiran atau patung manusia flora fauna dan makhluk ajaib seperti dewa dewi dan makhluk lainnya. Karena ada banyak candi maka disebut Candi Gedongsongo (sembilan gedung). Kumpulan candi ini mirip dengan kumpulan candi di Dieng baik dari bentuk maupun gaya serta lokasinya. Hanya saja candi Dieng lebih mudah dicapai dibandingkan candi Gedongsongo. Semakin sore semakin banyak orang datang ke Candi Gedongsongo dan kamipun kembali turun ke tempat parkir dengan kembali menunggangi kuda yang tadi. Kali ini kami lebih santai karena sudah sedikit tahu cara berkuda. Sederhananya begini. Lepas kekang agar kuda berjalan. Tepuk pantatnya agar jalan lebih cepat. Tarik kekang jika ingin kuda berhenti. Gerakkan tali kekang kiri agar kuda berbelok ke kiri dan gerakkan tali kekang ke kanan agar kuda bergerak ke kanan. Cukup sekian ya pelajaran berkuda dari saya. Silakan mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar