Kamis, 17 Januari 2019

Buaya-buaya Hitam di Pelabuhan Nunukan


Kisah ini terjadi di sekitar tahun 2004. Pada saat itu saya bersama beberapa orang kawan melakukan penelusuran jalur buruh migran dari Indonesia ke negara tetangga, Malaysia. Pada subuh pagi itu kami bergegas ke bandara Husein. Selagi boarding, di lounge kami menyempatkan sarapan pagi, secangkir kopi panas dan sepotong roti isi coklat manis. Tak lama kemudian kami memasuki pesawat Citilink yang segera tinggal landas ke Surabaya. Matahari sudah terbit gilang gemilang ketika kami tiba di bandara Juanda. Ada waktu transit sekitar satu jam, maka kami pun turun tanpa membawa barang bawaan. Di dalam bandara kami sempat berjalan jalan di selasar. Seperti biasa aku mencari toko buku dan membeli sebuah buku untuk oleh oleh. Tidak lama kemudian kami pun masuk ke pesawat melalui garbarata. Pesawat tinggal landas, melayang layang di atas tambak ikan dan kemudian memasuki awan meninggalkan laut biru di kejauhan. Satu satu penumpang tertidur. Pesawat menyebrangi Laut Jawa menuju Pulau Kalimantan.
 Matahari sudah mulai meninggi saat pesawat Citilink mendekati jazirah Kalimantan. Daratan yang hijau kebiruan sudah nampak di depan mata. Aliran sungai-sungai nampak berwarna kemerahan dan membentuk delta-delta. Awan tipis mengapung. Tidak lama kemudian landasan bandara Balikpapan terlihat di tepi laut yang biru. Pemandangan yang indah. Pesawatpun menukik dan roda rodanya mulai menyentuh landas pacu menimbulkan suara gemuruh dan getaran yang keras. Aku merasakan dadaku bergemuruh. Akhirnya pesawat mendarat dengan sempurna tiba di landasan kemudian berputar ke apron. Penumpang bergegas turun. Sekali lagi transit selama satu jam. Bandara Supadio Balikpapan menjadi salah satu bandara yang kusuka. Letaknya di tepi pantai berlaut biru dengan buih ombak putih yang berlarian menuju pantai. Dikellilingi pepohonan hijau bandara ini nampak indah jika dilihat dari jendela pesawat. Pesawat yang take off atau landing akan melewati bibir pantai dan laut yang biru. Keindahannya nyaris menyamai Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar. Memang bandara Ngurah Rai lebih dramatik karena landasan pacunya sengaja dibuat menjorok ke laut dengan cara mereklamasi pantai. Selain itu jika hendak mendarat di Bandara Ngurah Rai pesawat harus melintasi jalan raya yang ramai dengan lalu lintas karena menghubungkan Kuta dan Nusa Dua. Setelah transit pesawat Citilink menerbangkan kami ke tujuan terakhir yaitu Tarakan. Kami tiba di bandara Tarakan pada petang hari menjelang ashar. Dari udara kota Tarakan nampak ramai. Pemukiman dan pusat perdagangan nampak padat. Kota Tarakan terletak di tepi pantai sama seperti kota Balikpapan. Begitu mendarat kami langsung menuju kantor walikota. Pak Walikota yang keturunan India menceritakan bagaimana caranya mengelola kota yang banyak didatangi pendatang dari seluruh Indonesia. Ia mengatur masalah kependudukan secara ketat karena jika tidak demikian maka daya dukung kota Tarakan yang tidak terlalu besar tentu tidak akan mampu menghidupi penduduknya. Setelah mendapat gambaran mengenai pola urbanisasi dan mobilisasi penduduk dari berbagai pulau ke Tarakan lalu menyebrang ke Malaysia, kami pun pamit. Malam itu kami berkeliling kota dan mengunjungi tempat pengeboran minyak. Tarakan adalah penghasil minyak bumi sejak zaman Belanda. Sisa-sisa pengeboran minyak masih ada dan sebagian masih berfungsi menyedot minyak dari bumi. Malam itu hujan deras dan angin kencang melanda kota Tarakan. Tiba-tiba aliran listrik terputus dan kota gelap gulita. Pelayanan listrik di Tarakan memang belum sebaik di Pulau Jawa. Jadi jika listrik byar-pet itu sudah dianggap biasa. Setelah sarapan pagi kami berangkat ke pelabuhan. Dengan menaiki sebuah ferry kami berangkat ke Nunukan. Nunukan sebuah kota paling utara di Kalimantan yang berbatasan dengan negara Malaysia. Perjalanan atau tepatnya pelayaran ke Nunukan melalui banyak pulau pulau kecil, delta, muara sungai dan laut lepas. Nyaris tidak ditemui pemukiman penduduk. Hanya ada satu dua pos keamanan yang dijaga Angkatan Laut. Selebihnya hutan. Perairan nampak berwarna kecoklatan. Sesekali ada kapal. Ada juga gelondongan kayu mengapung di permukaan laut. Setelah berlayar beberapa jam tibalah kami di dermaga pelabuhan Pulau Nunukan. Kami bertemu dengan pejabat setempat kemudian berkunjung ke beberapa tempat penampungan tenaga kerja yang menyebar di Nunukan. Ternyata para calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau BMI (Buruh Migran Indonesia) ke Malaysia berasal dari berbagai pulau di tanah air. Di Nunukan mereka dibuatkan paspor oleh para agen penyalur. Banyak yang menggunakan data yang dipalsukan seperti asal, nama dan umur. Banyak dari mereka menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan untuk menyebrang ke Malaysia. Ada yang ingin kembali namun tidak mempunyai bekal. TKI biasanya menyebrang dengan menggunakan kapal atau perahu ke Tawau meski ada juga yang melalui darat. Pada umumnya mereka bekerja di negara bagian Sabah. Banyak dari TKI yang pergi mencari kerja di Malaysia tidak menggunakan dokumen yang lengkap. Mereka dipekerjakan di perkebunan dengan gaji tidak memadai. Pada saat kami ke Nunukan, banyak TKI dipulangkan dari Malaysia. Ini menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah Nunukan, Tarakan dan Kalimantan Timur. Itu sebabnya mereka mengimbau agar pemerintah daerah di seluruh Indonesia ikut membantu dalam menyediakan anggaran bagi pemulangan TKI. Setelah berkeliling ke tempat tempat penampungan TKI, sore itu juga kami berniat kembali ke kota Tarakan. Karena jadwal pelayaran ferry untuk sore hari sudah tidak ada maka kami menelpon teman kami di Tarakan untuk mengirim kapal. Sore itu kami pergi pelabuhan Nunukan. Saat kami datang kami melihat ada ferry dari Tawau, yang membawa penumpang dari Malaysia. Di antara mereka ada buruh yang pulang atau dipulangkan dan ada juga orang-orang Malaysia. Rupanya pelayaran dari Tawau selalu dipenuhi penumpang. Kebanyakan para TKI yang mudik atau yang dipulangkan oleh pemerintah Malaysia. Ada juga mereka yang berbisnis antar negara. Kini semakin banyak orang Malaysia berbisnis di Kalimantan terutama dalam bisnis pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sore itu ada yang menarik perhatian di pelabuhan Nunukan. Saat kami berjalan ke dermaga mata kami terpaut pada sebuah kapal besar bercat putih yang sedang bersandar. Itu kapal Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia). Kapal sedang menunggu jadwal keberangkatan ke Pulau Jawa. Di pelabuhan Nunukan yang berukuran kecil dengan kapal ferry dan perahu bermotor ukuran kecil, kapal milik Pelni nampak sangat besar dan menjadi tontonan bagi penduduk setempat. Pelabuhan di luar Pulau Jawa pada umumnya tidak terpisah secara tegas dari pemukiman. Dari pelabuhan bisa menyaksikan kegiatan penduduk dan sebaliknya penduduk bisa melihat kegiatan di pelabuhan. Demikian juga dengan pelabuhan Nunukan. Sore itu cuaca cerah di pelabuhan. Saat kami menunggu dan mengopi di dermaga kami bisa melihat pemandangan ke arah daratan. Di sebrang sana ada perkampungan penduduk. Rumah panggung mereka persis di bibir pantai bahkan menjorok ke laut. Kebanyakan penduduk sedang santai di serambi rumah mereka atau di balik jendela yang terbuka lebar. Laut mulai pasang. Sekonyong-konyong nampak ada makhluk hidup keluar dari arah laut dan bergerak ke daratan berpasir. Satu -satu mereka mendekat ke arah pemukiman. Ternyata sekawanan buaya. Kami yang berada di dermaga melihatnya dengan takjub. Buaya-buaya berwarna hitam itu berkeliaran ke sana kemari di bawah rumah penduduk. Tapi nampaknya para penghuni rumah di atasnya tidak panik dan mereka membiarkan saja buaya-buaya itu muncul ke permukaan. Bagi kami yang sedang menunggu di dermaga, kemunculan buaya-buaya tersebut menjadi hiburan tersendiri. Akhirnya kapal yang kami tunggu tiba. Kami pun memasukinya satu demi satu. Tidak lama kemudian kapal meninggalkan dermaga, bertolak menuju Tarakan. Senja berganti malam. Laut nampak gelap. Hanya suara mesin kapal kami memecah keheningan. Cahaya lampu dari kapal memantulkan riak gelombang laut. Sesekali kami berjumpa dengan kapal atau perahu yang lain. Atau melihat cahaya lampu kapal di kejauhan. Di tengah perjalanan lampu padam. Mesin tak bersuara. Supir kapal terjun ke air dalam gelap memeriksa buritan. Ternyata baling-baling patah. Ia segera menggantinya. Kapal pun berlayar kembali. Tiba-tiba hujan turun. Sekali lagi mesin kapal mati. Kapal terombang ambing gelombang. Kami pun menjadi cemas. Dalam kesunyian dan kegelapan semua penumpang berdoa. Sekali lagi pengemudi kapal mencebur ke laut dan memeriksa kondisi kapal seorang diri. Agak lama ia mencoba menghidupkan mesin namun tidak berhasil. Sebuah kapal yang agak besar mendekat dan nakhodanya menawarkan bantuan. Supir kapal kami menolak dan mengatakan bisa mengatasi keadaan. Kapal itupun berlalu. Laut kembali sunyi. Gelap menyelimuti. Teman kami di Tarakan menelpon kami karena sudah selarut itu kami belum tiba. Setelah beberapa waktu, akhirnya mesin bisa dihidupkan kembali. Kapalpun bergerak menuju pelabuhan Tarakan. Menjelang tengah malam kami tiba di pelabuhan. Kami bersyukur selamat sampai tujuan. Keesokan harinya kami meninggalkan Tarakan kembali ke Bandung. Aku tidak bisa melupakan peristiwa yang kami alami selama perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar