Selasa, 15 Januari 2019

Menjelajahi Kawasan Karst Maros

Sebelum meninggalkan Makasar kawan saya Andi Baso mengajak saya dan tiga kawan saya : Anton, Beni dan Risa berpetualang ke luar kota Makasar. Tepatnya ke Kabupaten Maros. Jaraknya berkisar sekitar 25 km dari kota Makasar. Di tengah perjalanan kami diminta turun dari mobil dan mobilnya pergi entah kemana. Saat itu hujan baru saja mengguyur bumi. Jalan raya pun nampak berair. Di sana sini becek. Andi mulai mengajak kami memasuki sebuah jalan desa. Mulanya kami masih bisa bersepatu. Dari jalan desa kami memasuki jalan setapak yang berbatu putih seperti kapur atau marmer. Kami pun meninggalkan kampung. Di kiri kanan hanya sawah yang terbentang. Tanaman padi yang menghijau subur di antara petak petak sawah yang berair jernih sungguh menyejukkan mata. Oh ternyata Andi mengajak kami menelusuri pematang sawah. Kamipun mulai melepas sepatu dan menjinjingnya. Jalan yang kami tempuh pada treking kali ini makin lama makin menyempit. Juga semakin menjauh dari pemukiman. Di depan kami beberapa tegakan batu karang menghadang. Tiba tiba saya mereka telah berdiri tegak di depan kami. Tingginya mendekati tinggi pohon kelapa. Warnanya bercampur antara hitam dan putih. Kadang ditumbuhi pepohonan perdu atau pakis-pakisan. Batu karang ini kadang berdiri tegak sendirian seolah olah muncul begitu saja dari bumi tapi kadang berhimpun dalam kerumunan. Kami pun berjalan di sela sela batu karang itu. Rasanya seperti di planet lain. Alam membentuk batu karang itu menjadi beraneka rupa. Ada yang seperti candi ada yang berbentuk gua ada pula yang menyerupai wajah makhluk hidup. Keberadaan batu batu karang di antara rimbun pepohonan dan hamparan sawah yang menghijau serta perbukitan di kejauhan serta langit biru, menjadi semacam lansekap yang indah. Kami pun terkagum kagum melihatnya dan tak kuasa untuk tidak mengabadikannya dalam kamera. Kami pun meninggalkan gundukan batu karang itu menuju dinding bukit karst di depan. Ke sanalah kami menuju. Treking kami ini menjadi semacam kampanye untuk menyelamatkan bukit karst Maros dari penghancuran oleh pabrik semen yang kilang-kilangnya sudah mulai terpasang dan beroperasi. Perjalanan kami semakin berat dan melelahkan. Pesawahan mulai kami tinggalkan. Kami berjalan di antara kolam kolam ikan yang dubuat penduduk. Meski begitu tak tampak ada pemukiman. Jalan yang licin dan becek membuat kami sesekali tergelincir dan tercebur hingga basah kuyup. Akhirnya kami mendekati perbukitan dan memasuki hutan berair yang dipenuhi pohon kirai. Pohon ini seperti pohon kelapa namun tidak terlalu tinggi. Bukit bukit karst di depan kami seperti dinding benteng yang kokoh dilapisi oleh tumbuh tumbuhan yang lebat. Kami jadi seperti makhluk kecil di tengah alam raya. Aku merasa ini adalah bagian terakhir perjalanan yang paling berat. Tak dinyana ternyata setelah melewati hutan dan rawa rawa tiba tiba di depan kami ada sebuah rumah pangung. Seperti diperintah kami berhambur ke situ. Tuan rumah menyambut kami dan mempersilakan kami naik ke rumahnya. Setelah membersihkan diri kamipun menaiki tangga rumah itu dan saat tiba di serambi depan kamipun langsung duduk lesehan beralas tikar di atas lantai kayu. Betapa senangnya. Kami saling berkenalan dan bercakap-cakap sambil menikmati minuman panas dan kudapan yang telah disediakan. Tidak lama kemudian tuan rumah mengajak kami ke dalam dan ternyata dia sudah menyiapkan makanan untuk kami santap. Bermacam-macam menu masakan dari ikan tersedia dan kami pun menikmatinya dengan lahap. Ternyata Andi Baso telah menyiapkan perjalanan ini dengan sempurna. Sayang kami tidak menginap di situ. Kamipun harus berpamitan untuk pulang. Meski tidak lama kami singgah di situ tapi sungguh sangat berkesan dan tidak pernah terlupakan. Kami meninggalkan rumah kayu panggung di tengah hutan. Terbayang olehku betapa berat perjalanan pulang yang akan kami tempuh. Untungnya kami pulang melalui jalan yang lain. Kali ini melalui sungai dengan menggunakan perahu. Perahu yang kami gunakan adalah perahu kecil yang menggunakan motor tempel dan hanya bisa ditumpangi dua orang dewasa. Karena itu diperlukan lima perahu dengan pengemudinya. Kami pun berlayar di sungai yang membelah hutan dan perbukitan karst yang berdiri megah di kanan kiri kami. Perjalanan ini ternyata lebih menegangkan. Kami seperti berada di dalam pelukan alam semesta yang amat luas dan perkasa. Aku terkagum kagum dengan apa yang kulihat. Alam yang sungguh indah dan murni. Air sungai yang bening dan deras. Jurang jurang yang menganga. Perahu yang kutumpangi kadang menerobos gua yang gelap lalu bertemu kembali dengan sinar matahari. Suara satwa seperti musik yang terindah yang ada di bumi. Aku tak kuasa untuk tak menyentuh air sungai yang jernih. Betapa dingin terasa. Tubuhkupun seperti menyatu dengan alam. Setelah berlayar mengarungi sungai akhirnya kami sampai di bawah sebuah jembatan beton. Perahu menepi. Kami naik ke jalan raya. Seperti mimpi rasanya. Pada saat itu ada beberapa mobil diparkir ditepi jalan. Ada mobil jenazah. Jenazah diturunkan dari mobil dan digotong menuruni tebing sungai di mana tadi aku naik. Jenazah itupun dinaikkan ke dalam perahu. Beberapa pengiring juga menaiki perahu. Lalu perlahan lahan perahu itu bergerak menyusuri sungai yang tadi kami lalui. Setelah beberapa lama iring iringan perahu pengantar jenazah itu pun memasuki hutan. Kami pun meninggalkan tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar