Rabu, 30 Januari 2019

Semalam Di Kendari.

Pada kunjunganku yang ketiga Makasar, kang Dadang Naser dipanggil Danas (sekarang Bupati Bandung) mengajak kami ke Kendari. Beliau ingin mengunjungi warganya yang bermukim di sana. Kang Danas saya kenal sejak ia masih bujangan dan menjadi Ketua KNPI Kabupaten Bandung. Waktu itu kami sering bertemu di lapangan upacara Upakarti. Belakangan ia menjadi menantu Pak Obar Sobarna, Bupati Bandung. Pak Obar adalah kenalanku sejak sama-sama aktif di Komisi B DPRD Kabupaten Bandung. Ia dari Fraksi ABRI dan saya dari Fraksi PDI. Jadi aku berteman dengan mertua dan mantunya. Setelah kawan-kawan kembali ke Jakarta, maka kami pun terbang ke Kendari. Pada sore hari pesawat mendarat dengan mulus di bandara Halu Oleo. Dengan mengendarai minibus kami menuju kota. Di mesjid raya Kendari kami melaksanakan sholat dzuhur dan ashar. Mesjid raya sangat besar dan megah dan menjadi landmark kota Kendari. Usai shalat kami melanjutkan perjalanan mengarah ke pantai. Kami bersepakat menginap di pantai alih alih di pusat kota. Setelah memasuki beberapa hotel kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel Melati yang langsung menghadap ke pantai. Usai membersihkan badan dan melaksanakan shalat maghrib kami menyebrangi jalan dan tiba di pantai Kendari yang indah. Cahaya ribuan lampu dari pelabuhan dan kapal yang berlabuh di dermaga di kejauhan menerangi langit malam. Angin berembus dari sela-sela pepohonan rimbun di sepanjang pantai. Pantai ramai oleh orang-orang yang pesiar. Kami berjalan jalan sepanjang pantai berpasir lembut sebelum akhirnya memasuki sebuah tenda warung makan. Warung-warung makan di pantai Kendari menyajikan sea food dari laut setempat. Ikan cumi kepiting dan kerang direbus, digoreng atau dibakar sesuai selera. Aroma dari ikan yang dibakar memenuhi udara mengundang selera. Pemesan bisa menambahinya dengan saus atau potongan cabai, tomat dan bawang sesuai selera. Semua bahan disajikan di meja dan pemesan bisa mengiris-iris sendiri cabai bawang dan tomat itu sesuai keinginannya. Begitulah kami menikmati makan malam yang pertama di kota Kendari. Malam itu dengan menggunakan angkutan kota kami berjalan-jalan ke kota. Jaraknya beberapa kilometer saja dari pantai. Sampai di pusat kota kami memilih berjalan-jalan di trotoar menyaksikan aktivitas malam penduduk kota. Konsentrasi anak-anak muda terpusat di sebuah lapangan. Mereka bermain sepatu roda, memanjat dinding buatan dan ada pula yang bermain musik. Tempat ini awalnya disiapkan untuk penyelenggaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Setelah MTQ usai, spot-spot yang ada digunakan untuk akrivitas anak-anak muda. Menjelang tengah malam kami pulang kembali ke hotel. Esok pagi kami akan ke pelabuhan sementara Kang Dadang akan ke luar kota sejauh beberapa ratus kilometer mengunjungi sebuah pesantren. Pesantren itu didirikan dan dikelola seorang Kiyai asal Ciparay, Kabupaten Bandung. Pak Kiyai awalnya bersekolah di Universitas Kerajaan Arab Saudi dengan bea siswa pemerintah kerajaan. Setelah lulus ia sempat menjadi imam masjid di Arab Saudi. Kemudian dengan sponsor kerajaan ia mendirikan pondok pesantren di pedalaman Sulawesi Tenggara. Kini pesantren itu sudah mulai berjalan. Ini adalah kali pertama aku menginap di pantai Kendari. Kendari adalah ibukota Sulawesi Tenggara. Meski ibukota provinsi tetapi tidak begitu besar. Meskipun demikian di sini tersedia lembaga pendidikan tinggi milik negara seperti Universitas Haluoleo dan Universitas Islam Negri. Salah seorang gubernurnya yang populer bernama Lamajido, sama terkenal dengan Pak Noer di Jawa Timur atau Mang Ihin di Jawa Barat. Anak Pak Lamajido, Andy, sempat bersama-sama denganku mengikuti Sekolah Kader Partai di Bogor. Kini ia menjadi anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan. Saya dengar langsung darinya, anak bung Andy bersekolah di Pesantren Az-Zaytun di Indramayu. Pesantren Az'Zaytun adalah pesantren besar dengan ribuan santri dari seluruh Indonesia yang kebanyakan adalah anak orang kaya dan terpandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar