Senin, 02 Maret 2020

Selamat Tinggal Gedung Sate

Dalam tahun awal berdirinya Republik Indonesia, istilah DPRD Provinsi Jawa Barat belum digunakan. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak terdapat lembaga legislatif semacam DPRD. Pada tahun awal kemerdekaan lembaga semacam DPRD ini sesungguhnya telah juga hadir dengan nama Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) Jawa Barat. Karena itu asal-usul dari kehadiran DPRD Provinsi Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran BPRD Jawa Barat tersebut. Pada masa itu, BPRD dipimpin oleh R. Otto Iskandardinata dengan wakilnya Dr. Soeratman Erwin dan Mr. Samsudin.
Selanjutnya, pada masa transisi setelah kembalinya status Republik Indonesia Serikat ke dalam NKRI, di Jawa Barat dibentuk DPRD Sementara yang terdiri dari 60 orang anggota yang berasal dari 22 Parpol dan dipimpin oleh Djaja Rahmat (1950-1955).
Istilah DPRD Provinsi Jawa Barat baru dikenal pada tahun 1955 yaitu setelah Pemilihan Umum Pertama yang dilakukan pada 29 September 1955. Sebagai tindaklanjut dari upaya untuk mewujudkan DPRD atas dasar pemilihan itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 19/1956 yang merupakan ketentuan hukum pemilihan daerah. Setahun kemudian, untuk pertama kali dalam sejarah perkembangannya, diadakan pemilihan terhadap anggota DPRD Jawa Barat. Pada kurun waktu 1957-1960 jumlah anggota DPRD Jawa Barat sebanyak 75 orang yang berasal dari 14 Parpol dan diketuai oleh Oja Somantri.
Pada masa yang dikenal dengan Orde Lama sampai dengan 1974, Undang-undang yang menjadi landasan bagi kehadiran DPRD Jawa Barat adalah UU No. 18/1965, dan salah satu pasalnya memasung eksistensi DPRD yakni DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Selain itu, dalam UU ini juga disebutkan, bahwa keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DPRD harus mendapatkan tandatangan dari Kepala Daerah. Ini berarti kedudukan DPRD di bawah Kepala Daerah. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU No. 18/1965 mengakibatkan kekuasaan DPRD terhadap Kepala Daerah terasa sangat lemah yang pada gilirannya mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan peran legislatifnya. Pada periode 1960-1967 , DPRD Jawa Barat dikomandoi oleh Letjen. TNI.H. Mashudi dan selanjutnya pada periode 1967-1971 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Rachmat Sulaeman dengan jumlah anggota DPRD 70 orang yang berasal dari 8 Parpol.
Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 5/1974, terjadi juga perubahan dalam kedudukan DPRD. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU ini menyatakan, bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Penafsiran terhadap statement ini adalah DPRD dan Kepala Daerah dalam kedudukan yang sama tinggi. Yang membedakannya adalah bahwa Kepala Daerah merupakan pelaksana dari peraturan perundangan di daerah sedangkan DPRD melaksanakan tugas di bidang legislatif. Periode 1971-1977 DPRD Tingkat I Provinsi Jawa Barat , kembali dipimpin oleh Rahmat Sulaeman dengan anggota berjumlah 74 orang dari 4 Fraksi.
Selanjutnya, berturut-turut dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, pada tahun 1977-1982 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) H. Adjat Sudradjat, Mayjen TNI (Purn) Suratman (1982-1992), Brigjen TNI (Purn) H. Agus Muhyidin (1992-1997). Pada masa ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Jawa Barat, maka jumlah anggota legislative pun mengalami peningkatan menjadi 100 orang anggota.
Pada tahun 1997 terjadi gerakan reformasi yang pada akhirnya meruntuhkan kepemimpinan Orde Baru. Hal ini berpengaruh terhadap masa kerja DPRD provinsi Jawa Barat yang hanya berlangsung selama tiga tahun, karena pada tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi dilaksanakan Pemilu, dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) H. Abdul Nurhaman, S.Ip, S.Sos.
Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai reaksi dari gerakan reformasi, merangkum dua pikiran utama yakni penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan dosmetik kepada daerah (kecuali keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan dan keagamaan) serta penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Kebijakan desentralisasi merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah perlu dilakukan. Dalam UU 22/1999 ditentukan posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Pada periode 1999-2004 , DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai kewenangannya memlih Kepala Daerah, memilih anggota MPR dari utusan daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah dan hak DPRD meminta pertanggungjawaban Kepala daerah. Kepemimpinan DPRD pada periode ini dipimpin oleh Ir. H. Idin Rafiudin (dalam perjalanan kepemimpinannya beliau wafat) yang selanjunya digantikan oleh Drs.H. Eka Santosa.
Sejalan dengan perkembangan demokrasi, dan perbaikan kehidupan ketatanegaraan, Pemerintah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didefinisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam hubungannya dengan eksekutif, pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri atas pemerintah dan DPRD. Hal itu berarti DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.
Pemilu tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, dan yang berhasil meraih kursi di DPRD Provinsi Jawa Barat 10 Parpol yakni Golkar, PDI-P, PKS,PPP, Demokrat, PKB, PAN, PBB, PKPB, PDS, yang selanjutnya menjadi 7 fraksi. DPRD Provinsi Jawa Barat Periode 2004 - 2009 diketuai oleh Drs.H.A.M. Ruslan (Golkar), dengan para wakil ketua H. Rudi Harsatanaya (PDI-P), drh. Achmad Ru’yat, M.Sc. (PKS, setelah diambil sumpahnya menjadi wakil walikota Bogor, digantikan oleh H. Husin M. Albanjari, Dipl.Ing. dan H. Amin Suparmin,S.Hi. dari PPP.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat periode 2009-2014 keanggotaannya diresmikan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 161.32 - 556 Tahun 2009, pada tanggal 31 Agustus 2009 dalam Rapat Paripurna Istimewa Pengambilan Sumpah/Janji Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Hasil Pemilu 2009 bertempat di Gedung Merdeka Bandung. Mereka berasal dari 9 partai dengan jumlah 100 anggota yakni : Partai Demokrat 28 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 17 orang, Partai Golongan Karya 16 orang, Partai Keadilan Sejahtera 13 orang, Partai Gerakan Indonesia Raya 8 orang, Partai Persatuan Pembangunan 8 orang, Partai Amanat Nasional 5 orang, Partai Hati Nurani Rakyat 3 orang dan Partai Kebangkitan Bangsa 2 orang. Tergabung dalam 8 Fraksi yakni F. Demokrat, F.PDI-P, F. Golkar, F. PKS, F. Gerindra, F. PPP, F. PAN, F.Hanura- PKB. Dalam Rapat Paripurna Istimewa tersebut, ditetapkan Pimpinan Sementara DPRD Propinsi Jawa Barat, yang berasal dari dua partai peraih kursi terbesar, masing-masing H. Awing Asmawi, SE (Partai Demokrat) sebagai Ketua Sementara dan Drs. H. Syarif Bastaman (PDIP) sebagai Wakil Ketua Sementara.
Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2009, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 161.32-712 Tahun 2009 Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat mengucapkan sumpah/janji dalam Rapat Paripurna Istimewa dengan susunan sebagai berikut : Ketua DPRD Ir.H. Irfan Suryanagara (F. Partai Demokrat), Wakil Ketua : H.M Rudi Harsa Tanaya (F. PDIP), Drs.H.Uu Rukmana M.Si. (F. Partai Golkar), Drs.H. Nur Suprianto, MM (FPKS) dan H. Komarudin Taher, S.Ag. (FPPP). (Sejarah DPRD Provinsi Jawa Barat).
Saya menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada dua periode setelah berakhirnya era Orde Baru, yaitu periode 1999-2004 dan 2004-2009. Pada periode pertama saya mewakili daerah pemilihan Kabupaten Bandung (meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi sekarang). Pada periode kedua saya mewakili Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon.
Kantor saya ada di sayap kiri Gedung Sate. Kami tidak memiliki tempat parkir tersendiri sehingga saya biasa memarkir mobil di halaman parkir Gedung Sate baik di sayap kanan maupun kiri. Jika hari masih pagi saya kadang berolahraga mengelilingi Gedung Sate hingga Museum Pos dan bahkan ke Taman Lansia. Saya pun sering sarapan atau makan siang di kantin basement Gedung Sate bersama para karyawan Pemprov. Salat Jumat pun di hall Gedung Sate.
Pada awal menjadi anggota DPRD Jawa Barat saya ditempatkan di Komisi F (Energi)lalu di Komisi A (Pemerintahan). Pada periode kedua saya pernah di Komisi B lalu pundah ke Komisi D. Di Komisi D saya menjadi Wakil Ketua bersama kang Adi Gunawan (Ketua) dan Dadang Naser (Sekretaris). Saya juga sempat menjadi Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan dan pumpinan Badan Legislasi dan BURT. Selain itu saya sempat di Panitia Anggaran. Di luar itu saya kerapkali menjadi Ketua ataupun pimpinan Pansus (Pansus).
Menjelang akhir masa jabatan kami, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan wakilnya, Dede Yusuf mengadakan jamuan makan malam di hotel Preanger untuk para anggota DPRD Jawa Barat yang akan berakhir masa baktinya. Gubernur juga memberi piagam dan plakat sebagai kenang-kenangan. Pimpinan DPRD, kang Ruslan memberi cindera mata berupa sebuah cincin bergambar DPRD. Demikian juga dengan pimpinan Fraksi PDI Perjuangan.
Tanggal 16 Oktober 2009 menjadi hari terakhir saya menjadi anggota DPRD Jawa Barat. Pagi itu saya berjalan berdua bersama kesayangan dari Hotel Preanger dengan berpakaian resmi (PSL). Saya berjas dasi dan kopiah sementara istri berkebaya. Kami menelusuri trotoar Jl. Asia Afrika melewati kantor Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat dengan monumen mobil antik di depannya dan penanda 0 km kota Bandung, hotel Savoy Homan di seberang jalan, kantor redasi Pikiran Rakyat dan apotek Kimia Farma. Setelah menyeberangi Jl. Braga kami pun tiba di Gedung Merdeka. Suasana hiruk pikuk terasa di depan gedung penuh dengan undangan, aparat keamanan, panitia, wartawan dan anggota ormas dengan seragam mereka masing-masing.
Di dalam gedung saya menduduki tempat yang telah disediakan sementara nyonya duduk bersama rombongan IKIAD (Ikatan Istri Anggota Dewan).
Upacara pelantikan berlangsung khidmat. SK pemberhentian anggota lama dan penetapan anggota baru dibacakan oleh Sekretaris DPRD. Kemudian Gubernur melantik para anggota baru. Usai dilantik mereka menduduki kursi kami. Kami pindah ke kursi undangan. Setelah menyalami mereka yang baru dilantik, kami keluar gedung kembali ke hotel menyusuri jalan yang sama.
Setelah tiba di hotel kami makan siang sekeluarga di restoran lalu berfoto bersama beberapa kawan seperti kang Amin Suparmin, mas Rahadi Zakaria dan teh Tety Kadi. Setelah check out dari hotel kami kembali ke rumah kami di Rancaekek.
Kesibukan saya setelah tidak menjadi wakil rakyat adalah mengajar dan melanjutkan studi S3 yang sudah setengah jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar